Assalammualaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya dan anak diminta suami tinggal di rumah mertua di kota C, kurang lebih 3 jam dari Jakarta. Suami saya bekerja di Jakarta, sedangkan saya bekerja di kota S, kurang lebih 2 jam dari Jakarta dan 1/2 jam dari kota C. Namun, saya hanya sesekali saja ke kota S dan lebih banyak bekerja di rumah. Saya sudah berusaha untuk menuruti suami tinggal di kota C, karena suami ingin saya menemani orangtuanya dan ingin anak kami dibesarkan di lingkungan dimana suami dulu tinggal.
Namun, saya tidak betah tinggal di rumah mertua karena mertua perempuan saya sangat cerewet dan suaranya sangat keras, sehingga saya merasa tidak pernah tenang dan ikut pusing tujuh keliling mendengar semua problem yang diceritakan oleh mertua saya. Mertua saya sangat senang berbicara karena beliau guru bahasa. Bahkan, beliau hampir tidak pernah diam. Saat membaca majalah atau koran pun, beliau melakukannya dengan suara keras agar orang lain dapat mendengar.
Sementara itu, pekerjaan saya sangat membutuhkan ketenangan, karena saya harus membaca banyak buku dan literatur, lalu menuliskannya kembali dalam bentuk makalah atau penelitian. Mertua laki-laki saya suaranya juga sangat keras dan orangnya galak. Mertua laki-laki sering meminta uang ke istrinya yang juga bekerja. Anehnya, kalau marah, dia seringkali menyemprot istrinya dengan air pada saat sedang tidur malam hari..Mohon petunjuknya Ustadz. Syukron.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
T - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebelumnya saya mohon maaf karena nampaknya pertanyaan ini sudah cukup lama disampaikan. Namun, saya baru memberikan jawaban karena saya baru mengecek kembali email-email yang masuk. Walaupun terlambat, mudah-mudahan jawaban yang diberikan masih bermanfaat, amin.
Saudariku, untuk mewujudkan satu tujuan, dibutuhkan adanya komitmen dan tekad yang kuat, yang dengannya seseorang akan mampu mengatasi berbagai masalah baik rintangan, hambatan, cobaan ataupun godaan. Bila komitmen seseorang kuat, maka dia akan mampu untuk menghadapi setiap masalah yang menghadangnya, sebesar apapun masalah tersebut. Sebaliknya, bila komitmennya lemah, maka dia tidak akan mampu untuk menghadapi setiap masalah yang muncul, sekecil apapun masalah tersebut.
Dalam kasus Anda ini, Anda dan suami harus mempertegas kembali dua tujuan, yaitu tujuan Anda menikah dan tujuan Anda diminta suami untuk tinggal di rumah mertua. Bila Anda berdua telah sepakat untuk mencapai kedua tujuan tersebut, maka kuatkanlah komitmen untuk mewujudkannya. Bila komitmen Anda berdua kuat, saya yakin, masalah yang sedang Anda hadapi sekarang tidak akan menjadi masalah serius yang dapat menjadi batu sandungan (rintangan) bagi Anda berdua dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah.
Dari penjelasan Anda di atas, saya melihat bahwa tujuan Anda tinggal di rumah mertua adalah karena suami ingin agar Anda dan anak Anda menemani kedua orangtuanya yang –nampaknya- tinggal hanya berdua saja. Pada saat Anda mengiyakan atau menyetujui permintaan suami tersebut, berarti Anda dituntut untuk berusaha mewujudkan tujuan yang diinginkan suami. Saya yakin bila komitmen Anda tinggi, maka seperti apapun sikap mertua Anda, Anda akan mampu untuk menghadapinya. Apalagi bila Anda menyadari betul bahwa orangtua suami Anda adalah orangtua Anda juga yang harus Anda terima apa adanya dan harus selalu Anda hormati, walaupun terkadang ada sikapnya yang kurang menyenangkan. Mungkin awalnya agak sedikit berat, tapi semua tergantung niat dan kebiasaan. Bila Anda mau membiasakan diri untuk bersabar dalam menghadapi sikap mertua yang mungkin kurang cocok di hati Anda, maka lambat laun Anda akan menganggapnya sebagai hal biasa.
Jadi saran saya, cobalah untuk menghadapi sikap mertua dengan penuh kesabaran. Anggaplah dan perlakukanlah dia seperti orangtua Anda sendiri. Berusahalah semaksimal mungkin untuk menerima kekurangan atau kelemahan yang ada pada dirinya. Carilah cara agar Anda merasa nyaman tinggal di tempat mertua. Sebagai contoh, bila Anda merasa terganggu saat Anda sedang bekerja di rumah, cobalah untuk bekerja di kamar. Kemudian tutuplah telinga Anda dengan kapas atau headphone agar Anda tidak terlalu terganggu dengan suara keras mertua Anda. Saya yakin bila komitmen Anda kuat dalam mewujudkan tujuan tersebut, pasti ada cara untuk mengatasi masalah yang sedang Anda hadapi sekarang.
Namun perlu diingat, bila Anda telah berusaha maksimal, tetapi ternyata Anda tidak berhasil juga sehingga Anda masih kurang nyaman tinggal di rumah mertua, maka kembalilah ke tujuan utama Anda, yaitu membangun rumah tangga yang sakinah serta penuh mawaddah dan rahmah. Jangan sampai tujuan kedua (menemani orangtua suami) yang merupakan tujuan sekunder dalam kehidupan rumah tangga Anda itu mengganggu upaya Anda berdua dalam mewujudkan tujuan utama yang merupakan tujuan primer. Jangan sampai gara-gara masalah yang Anda hadapi sekarang, keutuhan biduk rumah tangga Anda berdua terancam. Bila ada indikasi ke sana, bicarakanlah baik-baik dengan suami. Tapi ingat, hindari emosi! Saya yakin ada solusi terbaik!
Sebagai penutup, saya kutipkan firman ALLAH swt. yang menggambarkan tujuan utama pernikahan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri ddari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum [30]: 21)
Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan rumah tangga Anda berdua senantiasa diberkahi ALLAH swt., amin. Wallaahu A’lam….
Sabtu, 26 Juni 2010
Sabtu, 19 Juni 2010
Hukum Mengecat Rambut
Hukum Mengecat Rambut
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga Ustadz dan keluarga senantiasa sehat dan dilindungi ALLAH swt., amin. Ustadz, saya mau menanyakan apakah boleh (sah) sholatnya seorang Muslimah yang mengecat rambutnya?
Saya pernah membaca, kalau tidak salah, kita dilarang mengecat rambut dengan warna hitam, apa itu benar? Kalau benar, apakah hal itu berarti bahwa selain warna hitam diperbolehkan?
Satu lagi Ustadz, bagaimana hukumnya bila saya mengecat
rambut dengan tujuan untuk menyenangkan hati suami, karena kebetulah saya adalah wanita berjilbab sehingga hanya suami yang akan melihat rambut saya?
Mohon penjelasannya Ustadz, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E-……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Terima kasih sebelumnya atas doa yang Anda panjatkan untuk kami. Semoga Anda dan keluarga juga selalu dalam bimbingan dan lindungan ALLAH swt., amin.
Saudariku yang terhormat, shalat seseorang tidak sah bila saat berwudhu atau melakukan mandi wajib, ada hal-hal yang menghalangi masuknya air ke bagian yang harus dibasuh, termasuk cat, lem ataupun pewarna rambut. Dengan demikian, maka bila Anda ingin mengecat rambut sebelum berwudhu atau mandi wajib, sebaiknya dengan menggunakan bahan yang tidak menghalangi masuknya air ke bagian yang harus dibasuh, seperti pohon inai dan katam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam.” (HR. Tirmizi dan Ashabussunan)
Tetapi bila Anda ingin memakai cat rambut dengan bahan yang dapat menghalangi masuknya air, maka sebaiknya dilakukan setelah berwudhu atau mandi wajib, agar tidak menghalangi sahnya shalat.
Saudariku, sebenarnya larangan untuk menggunakan cat rambut berwarna hitam ditujukan bagi orang tua yang sudah beruban, dimana ubannya sudah merata. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abu Bakar pernah membawa ayahnya, Abu Quhafah, menghadap Nabi saw.. Hal itu terjadi pada hari penaklukkan kota Mekkah. Maka, Nabi pun bersabda: “Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim)
Dari sini, dapat difahami bahwa bagi orang yang belum beruban seperti Abu Quhafah, dibolehkan untuk menggunakan warna hitam, seperti yang dikatakan oleh Az-Zuhri: “Saat wajah kami masih terlihat muda, kami menyemir rambut dengan warna hitam. Tetapi setelah wajah kami terlihat mengerut dan gigi kami sudah tidak utuh, kami menghindari warna hitam.”
Dalam kaitannya dengan hukum mengecat rambut dengan warna hitam tersebut, ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Berikut saya sebutkan pendapat-pendapat tersebut:
• Imam Hanbali, Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mengecat rambut dengan warna hitam makruh hukumnya kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma’ (kesepakatan ulama) yang menyatakan kebolehannya.
• Imam Abu Yusuf (dari madzhab Hanafi) berpendapat bahwa mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi saw.: “Sebaik-baik warna yang digunakan untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena ia lebih menarik bagi istri-istri kalian dan (dengannya) kalian terlihat lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian.” (Tuhfatul Ahwadzi, 5/436)
• Sedangkan Imam Syafi’i mengharamkan pemakaian warna hitam kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Pendapatnya itu didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Pada pada akhir zaman nanti, akan ada orang-orang yang mengecat rambut mereka dengan warna hitam. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Mengenai pertanyaan terakhir Anda, bila memang niat Anda adalah untuk menyenangkan suami, dan memang suami sangat menyukainya, maka –menurut saya- hal itu sangat mulia di mata ALLAH selama hal itu bukan termasuk hal yang diharamkan-Nya. Di sini, ada satu hal yang ingin saya tekankan. Pada zaman sekarang ini, sudah semakin jarang wanita yang memiliki niat mulia seperti itu. Kebanyakan wanita berdandan agar keindahan wajah dan kemolekan tubuhnya dilihat oleh orang lain, bukan khusus untuk suaminya sendiri. Buktinya, banyak wanita yang lebih senang berdandan saat akan keluar rumah, baik untuk berbelanja ataupun untuk keperluan-keperluan lainnya. Bahkan tidak jarang yang berdandan secara berlebihan hingga terkesan menor atau seksi. Sementara saat berada di rumah atau saat berada di hadapan sang suami, mereka tidak mau berdandan. Alhasil, yang menikmati kecantikan wajahnya, keindahan dirinya dan bau wangi parfumnya justru orang lain, bukan suaminya sendiri. Suaminya hanya kebagian bau bawang atau bau jengkol yang dimakannya….Wallaahu A’lam….
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga Ustadz dan keluarga senantiasa sehat dan dilindungi ALLAH swt., amin. Ustadz, saya mau menanyakan apakah boleh (sah) sholatnya seorang Muslimah yang mengecat rambutnya?
Saya pernah membaca, kalau tidak salah, kita dilarang mengecat rambut dengan warna hitam, apa itu benar? Kalau benar, apakah hal itu berarti bahwa selain warna hitam diperbolehkan?
Satu lagi Ustadz, bagaimana hukumnya bila saya mengecat
rambut dengan tujuan untuk menyenangkan hati suami, karena kebetulah saya adalah wanita berjilbab sehingga hanya suami yang akan melihat rambut saya?
Mohon penjelasannya Ustadz, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E-……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Terima kasih sebelumnya atas doa yang Anda panjatkan untuk kami. Semoga Anda dan keluarga juga selalu dalam bimbingan dan lindungan ALLAH swt., amin.
Saudariku yang terhormat, shalat seseorang tidak sah bila saat berwudhu atau melakukan mandi wajib, ada hal-hal yang menghalangi masuknya air ke bagian yang harus dibasuh, termasuk cat, lem ataupun pewarna rambut. Dengan demikian, maka bila Anda ingin mengecat rambut sebelum berwudhu atau mandi wajib, sebaiknya dengan menggunakan bahan yang tidak menghalangi masuknya air ke bagian yang harus dibasuh, seperti pohon inai dan katam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam.” (HR. Tirmizi dan Ashabussunan)
Tetapi bila Anda ingin memakai cat rambut dengan bahan yang dapat menghalangi masuknya air, maka sebaiknya dilakukan setelah berwudhu atau mandi wajib, agar tidak menghalangi sahnya shalat.
Saudariku, sebenarnya larangan untuk menggunakan cat rambut berwarna hitam ditujukan bagi orang tua yang sudah beruban, dimana ubannya sudah merata. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abu Bakar pernah membawa ayahnya, Abu Quhafah, menghadap Nabi saw.. Hal itu terjadi pada hari penaklukkan kota Mekkah. Maka, Nabi pun bersabda: “Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim)
Dari sini, dapat difahami bahwa bagi orang yang belum beruban seperti Abu Quhafah, dibolehkan untuk menggunakan warna hitam, seperti yang dikatakan oleh Az-Zuhri: “Saat wajah kami masih terlihat muda, kami menyemir rambut dengan warna hitam. Tetapi setelah wajah kami terlihat mengerut dan gigi kami sudah tidak utuh, kami menghindari warna hitam.”
Dalam kaitannya dengan hukum mengecat rambut dengan warna hitam tersebut, ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Berikut saya sebutkan pendapat-pendapat tersebut:
• Imam Hanbali, Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mengecat rambut dengan warna hitam makruh hukumnya kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma’ (kesepakatan ulama) yang menyatakan kebolehannya.
• Imam Abu Yusuf (dari madzhab Hanafi) berpendapat bahwa mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi saw.: “Sebaik-baik warna yang digunakan untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena ia lebih menarik bagi istri-istri kalian dan (dengannya) kalian terlihat lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian.” (Tuhfatul Ahwadzi, 5/436)
• Sedangkan Imam Syafi’i mengharamkan pemakaian warna hitam kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Pendapatnya itu didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Pada pada akhir zaman nanti, akan ada orang-orang yang mengecat rambut mereka dengan warna hitam. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Mengenai pertanyaan terakhir Anda, bila memang niat Anda adalah untuk menyenangkan suami, dan memang suami sangat menyukainya, maka –menurut saya- hal itu sangat mulia di mata ALLAH selama hal itu bukan termasuk hal yang diharamkan-Nya. Di sini, ada satu hal yang ingin saya tekankan. Pada zaman sekarang ini, sudah semakin jarang wanita yang memiliki niat mulia seperti itu. Kebanyakan wanita berdandan agar keindahan wajah dan kemolekan tubuhnya dilihat oleh orang lain, bukan khusus untuk suaminya sendiri. Buktinya, banyak wanita yang lebih senang berdandan saat akan keluar rumah, baik untuk berbelanja ataupun untuk keperluan-keperluan lainnya. Bahkan tidak jarang yang berdandan secara berlebihan hingga terkesan menor atau seksi. Sementara saat berada di rumah atau saat berada di hadapan sang suami, mereka tidak mau berdandan. Alhasil, yang menikmati kecantikan wajahnya, keindahan dirinya dan bau wangi parfumnya justru orang lain, bukan suaminya sendiri. Suaminya hanya kebagian bau bawang atau bau jengkol yang dimakannya….Wallaahu A’lam….
Sabtu, 12 Juni 2010
Cara Menghitung Zakat Profesi
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau tanya tentang hukum zakat penghasilan (profesi):
1) Apa benar setiap bulan kita harus mengeluarkan zakat penghasilan kita?
2) Bagaimana perhitungannya? Apakah 2,5% dihitung dari penghasilan kotor/bersih.
3) Kepada siapa harus diberikan?
4) Apakah harus dibayarkan setiap bulan ataukah boleh dikumpulkan dulu? Bagaimana sebaiknya dan apa hukumnya?
Terima kasih atas perhatian dan jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
H-…..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, kajian mengenai zakat profesi atau penghasilan merupakan kajian baru yang muncul seiring dengan perkembangan sistem perekonomian masyarakat. Baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits, tidak ada nash (teks) yang secara spesifik menjelaskan tentang zakat profesi ini, tidak seperti zakat pertanian, peternakan dan perdagangan. Mengenai zakat profesi ini, yang ada hanyalah isyarat yang terkandung dalam beberapa ayat ataupun hadits, seperti dalam firman ALLAH swt.: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 267)
Kemudian dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap orang muslim wajib mengeluarkan zakat.” Para sahabat pun bertanya: “Hai Nabiyullah, apa yang dapat kami lakukan bila kami tidak mampu?” Nabi saw. menjawab: “Bekerjalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, kemudian bersedekahlah.” Mereka bertanya lagi: “Apa yang dapat kami lakukan bila kami tidak mampu?” Nabi saw. menjawab: “Berilah pertolongan kepada orang-orang yang memerlukan bantuanmu.”
Dari sini, maka para ulama pun berpendapat bahwa penghasilan seseorang yang diperoleh dari profesi yang ditekuninya wajib dikeluarkan zakatnya, sama seperti penghasilan yang diperoleh dari pertanian, perkebunan, perdagangan dan lain-lain. Secara umum, ada dua penghasilan atau pendapatan yang termasuk dalam kategori zakat profesi ini:
a) Pendapatan dari hasil kerja pada sebuah instansi, baik pemerintah (pegawai negeri sipil) maupun swasta (perusahaan swasta). Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan seperti ini biasanya bersifat aktif atau dengan kata lain relatif ada pemasukan/pendapatan pasti dengan jumlah yang relatif sama diterima secara periodik (biasanya perbulan).
b) Pendapatan dari hasil kerja profesional pada bidang pendidikan, keterampilan dan kejuruan tertentu, dimana si pekerja mengandalkan kemampuan/keterampilan pribadinya, seperti: dokter, pengacara, tukang cukur, artis, perancang busana, tukang jahit, presenter, musisi dan sebagainya. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan seperti ini biasanya bersifat pasif, tidak ada ketentuan pasti penerimaan pendapatan pada setiap periode tertentu. Pendapatan dari hasil kerja profesi adalah buah dari hasil kerja menguras otak dan keringat yang dilakukan oleh setiap orang.
Adapun mengenai teknis atau cara mengeluarkan zakat profesi ini, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu:
1. Pertanyaan pertama Anda ini berkaitan dengan waktu pengeluaran zakat profesi. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat:
a) Imam Syafi'i dan Imam Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat.
b) Imam Hanafi, Imam Malik dan sejumlah ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
c) Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan Umar bin Abdul Aziz tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.
Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat yang mensyaratkan haul. Artinya –menurut saya-, seorang pekerja atau pegawai pada akhir masa haul harus menghitung sisa dari seluruh penghasilannya. Apabila jumlahnya telah melampaui nisab (85 gram emas atau 200 dirham perak), maka ia wajib menunaikan zakat sebanyak 2,5%. Sebagai contoh, penghasilan Ahmad sebagai karyawan adalah Rp. 1.500.000,- per bulan. Karena tinggal di daerah yang biaya hidupnya tidak mahal, uang yang dikeluarkan Ahmad setiap bulan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan keluarganya kurang lebih Rp. 625.000. Jadi, saldo rata-rata perbulan= Rp. 1.500.000 - Rp. 625.000 = Rp. 975.00,- Dengan demikian, maka, harta yang dikumpulkan Ahmad dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00,- Jumlah ini sudah melebihi nisab. Karena itu, di akhir tahun, Ahmad harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari jumlah tersebut.
Namun karena alasan kehati-hatian agar tidak lupa ataupun karena alasan-alasan lainnya, Ahmad boleh saja mengeluarkan zakat penghasilannya pada saat menerima penghasilan tersebut setiap bulannya. Atau dengan kata lain, dia boleh mencicil atau mempercepat waktu pembayaran zakatnya, dengan membayar 2,5% dari saldo bulanan. Bila hal ini dilakukan, maka dia tidak perlu lagi membayarkan zakatnya pada akhir masa haul, agar tidak terjadi duoble pembayaran dalam mengeluarkan zakat.
2. Secara umum, cara perhitungan zakat profesi yang didasarkan pada pendapat yang saya pilih tersebut adalah sebagai berikut:
a) Untuk zakat pendapatan aktif (pendapatan tetap), volume prosentase zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari sisa aset simpanan dan telah mencapai nisab pada akhir masa haul.
b) Untuk zakat pendapatan pasif (penghasilan tidak tetap) dari hasil kerja profesi, prosentase zakat yang dikeluarkan adalah 2.5% dari hasil total pendapatan setelah dipotong pengeluaran untuk kebutuhan primer & oprasional.
3. Pertanyaan ketiga Anda berkaitan dengan delapan golongan penerima zakat yang disebutkan Allah swt. dalam firman-Nya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60)
4. Sesuai penjelasan untuk pertanyaan no. 1, maka Anda dapat membayarnya setiap bulan, tetapi dengan catatan 2,5% dari saldo bulanan, dan tentunya bila saldo tahunannya telah mencapai nisab. Artinya, bila ternyata saldo tahunannya tidak mencapai nisab, maka Anda belum dikenai kewajiban membayar zakat profesi. Sedangkan bila Anda ingin membayarnya di akhir tahun, maka 2,5% itu diambil dari saldo tahunan.
Demikian yang bisa saya jelaskan. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam…..
Pak Ustadz, saya mau tanya tentang hukum zakat penghasilan (profesi):
1) Apa benar setiap bulan kita harus mengeluarkan zakat penghasilan kita?
2) Bagaimana perhitungannya? Apakah 2,5% dihitung dari penghasilan kotor/bersih.
3) Kepada siapa harus diberikan?
4) Apakah harus dibayarkan setiap bulan ataukah boleh dikumpulkan dulu? Bagaimana sebaiknya dan apa hukumnya?
Terima kasih atas perhatian dan jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
H-…..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, kajian mengenai zakat profesi atau penghasilan merupakan kajian baru yang muncul seiring dengan perkembangan sistem perekonomian masyarakat. Baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits, tidak ada nash (teks) yang secara spesifik menjelaskan tentang zakat profesi ini, tidak seperti zakat pertanian, peternakan dan perdagangan. Mengenai zakat profesi ini, yang ada hanyalah isyarat yang terkandung dalam beberapa ayat ataupun hadits, seperti dalam firman ALLAH swt.: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 267)
Kemudian dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap orang muslim wajib mengeluarkan zakat.” Para sahabat pun bertanya: “Hai Nabiyullah, apa yang dapat kami lakukan bila kami tidak mampu?” Nabi saw. menjawab: “Bekerjalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, kemudian bersedekahlah.” Mereka bertanya lagi: “Apa yang dapat kami lakukan bila kami tidak mampu?” Nabi saw. menjawab: “Berilah pertolongan kepada orang-orang yang memerlukan bantuanmu.”
Dari sini, maka para ulama pun berpendapat bahwa penghasilan seseorang yang diperoleh dari profesi yang ditekuninya wajib dikeluarkan zakatnya, sama seperti penghasilan yang diperoleh dari pertanian, perkebunan, perdagangan dan lain-lain. Secara umum, ada dua penghasilan atau pendapatan yang termasuk dalam kategori zakat profesi ini:
a) Pendapatan dari hasil kerja pada sebuah instansi, baik pemerintah (pegawai negeri sipil) maupun swasta (perusahaan swasta). Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan seperti ini biasanya bersifat aktif atau dengan kata lain relatif ada pemasukan/pendapatan pasti dengan jumlah yang relatif sama diterima secara periodik (biasanya perbulan).
b) Pendapatan dari hasil kerja profesional pada bidang pendidikan, keterampilan dan kejuruan tertentu, dimana si pekerja mengandalkan kemampuan/keterampilan pribadinya, seperti: dokter, pengacara, tukang cukur, artis, perancang busana, tukang jahit, presenter, musisi dan sebagainya. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan seperti ini biasanya bersifat pasif, tidak ada ketentuan pasti penerimaan pendapatan pada setiap periode tertentu. Pendapatan dari hasil kerja profesi adalah buah dari hasil kerja menguras otak dan keringat yang dilakukan oleh setiap orang.
Adapun mengenai teknis atau cara mengeluarkan zakat profesi ini, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu:
1. Pertanyaan pertama Anda ini berkaitan dengan waktu pengeluaran zakat profesi. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat:
a) Imam Syafi'i dan Imam Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat.
b) Imam Hanafi, Imam Malik dan sejumlah ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
c) Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan Umar bin Abdul Aziz tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.
Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat yang mensyaratkan haul. Artinya –menurut saya-, seorang pekerja atau pegawai pada akhir masa haul harus menghitung sisa dari seluruh penghasilannya. Apabila jumlahnya telah melampaui nisab (85 gram emas atau 200 dirham perak), maka ia wajib menunaikan zakat sebanyak 2,5%. Sebagai contoh, penghasilan Ahmad sebagai karyawan adalah Rp. 1.500.000,- per bulan. Karena tinggal di daerah yang biaya hidupnya tidak mahal, uang yang dikeluarkan Ahmad setiap bulan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan keluarganya kurang lebih Rp. 625.000. Jadi, saldo rata-rata perbulan= Rp. 1.500.000 - Rp. 625.000 = Rp. 975.00,- Dengan demikian, maka, harta yang dikumpulkan Ahmad dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00,- Jumlah ini sudah melebihi nisab. Karena itu, di akhir tahun, Ahmad harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari jumlah tersebut.
Namun karena alasan kehati-hatian agar tidak lupa ataupun karena alasan-alasan lainnya, Ahmad boleh saja mengeluarkan zakat penghasilannya pada saat menerima penghasilan tersebut setiap bulannya. Atau dengan kata lain, dia boleh mencicil atau mempercepat waktu pembayaran zakatnya, dengan membayar 2,5% dari saldo bulanan. Bila hal ini dilakukan, maka dia tidak perlu lagi membayarkan zakatnya pada akhir masa haul, agar tidak terjadi duoble pembayaran dalam mengeluarkan zakat.
2. Secara umum, cara perhitungan zakat profesi yang didasarkan pada pendapat yang saya pilih tersebut adalah sebagai berikut:
a) Untuk zakat pendapatan aktif (pendapatan tetap), volume prosentase zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari sisa aset simpanan dan telah mencapai nisab pada akhir masa haul.
b) Untuk zakat pendapatan pasif (penghasilan tidak tetap) dari hasil kerja profesi, prosentase zakat yang dikeluarkan adalah 2.5% dari hasil total pendapatan setelah dipotong pengeluaran untuk kebutuhan primer & oprasional.
3. Pertanyaan ketiga Anda berkaitan dengan delapan golongan penerima zakat yang disebutkan Allah swt. dalam firman-Nya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60)
4. Sesuai penjelasan untuk pertanyaan no. 1, maka Anda dapat membayarnya setiap bulan, tetapi dengan catatan 2,5% dari saldo bulanan, dan tentunya bila saldo tahunannya telah mencapai nisab. Artinya, bila ternyata saldo tahunannya tidak mencapai nisab, maka Anda belum dikenai kewajiban membayar zakat profesi. Sedangkan bila Anda ingin membayarnya di akhir tahun, maka 2,5% itu diambil dari saldo tahunan.
Demikian yang bisa saya jelaskan. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam…..
Sabtu, 05 Juni 2010
Sikap Kurang Adil Suami Terhadap Ibu Mertua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bismillaahir-Rohmaanir-Rohiim. Semoga kita semua berada dalam lindungan ALLAH swt., amin. Ustadz, maaf saya terpaksa harus curhat di sini. Saya punya masalah dengan suami saya mengenai sikap adil terhadap orangtua kami masing-masing.
Begini ceritanya, Ustadz. Seandainya kelak kami diberikan kemampuan oleh ALLAH swt., kami ingin membantu orangtua kami (ibu saya dan mama suami). Namun, kami menemukan perbedaan pendapat atau keinginan. Keinginan saya adalah jika kami mampu, kami nanti ingin membantu ibu saya dan mama mertua 50-50 secara adil. Tapi suami tidak setuju. Katanya, mamanya lebih berhak untuk mendapat jatah lebih banyak, yaitu 80%, sementara ibu saya hanya 20%. Menurutnya, hal itu disebabkan karena ibu saya punya banyak anak yang mungkin bisa membantunya dan juga masih punya suami. Sementara mamanya sudah janda, walaupun dia juga punya 2 anak yang lain, yang mungkin juga bisa membantu.
Sikap tidak adil suami saya itu benar-benar membuat saya terzhalimi. Saya hanya minta suami bersikap adil saja. Walaupun penghasilan saya hampir 80% lebih besar daripada penghasilan suami, namun saya tidak mempermasalahkannya. Sikap tidak adil suami saya itu membuat saya merasa seperti “KERBAU” yang dimanfaatkan pihak lain. Saya sudah capek-capek kerja keras, tapi sebagian besar hasilnya dialokasikan untuk kesejahteraan mamanya saja. Sungguh batin saya merasa tersiksa terus dengan sikap suami saya tersebut. Mohon solusinya. Syukran….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
L -…..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, saya sangat respect kepada Anda dan suami yang memiliki niat yang sangat mulia, yaitu niat untuk terus membantu orangtua Anda berdua, tentunya sebagai upaya untuk berbakti kepada mereka. Mudah-mudahan apa yang ingin Anda berdua lakukan itu dicatat oleh ALLAH swt. sebagai amal kebajikan yang akan mendatangkan ridha-Nya., karena ridha ALLAH sangat bergantung pada ridha kedua orangtua, sebagai sabda Nabi saw.: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Bukhari)
Dalam masalah ini, saya melihat Anda dan suami memiliki titik kesamaan, yaitu sama-sama memiliki keinginan untuk membantu orangtua. Hanya saja, ada perbedaan pendapat mengenai kadar atau prosentase bagian yang akan diberikan kepada mereka. Suami Anda menuntut jatah untuk ibunya lebih besar daripada jatah untuk ibu Anda, sementara Anda menginginkan pembagian yang sama besarnya.
Saudariku, saya juga respect terhadap sikap Anda yang mau berbagi dengan keluarga suami Anda. Bahkan, Anda setuju bila orangtua Anda berdua masing-masing mendapat 50%. Dengan kesediaan Anda seperti itu, semestinya tidak perlu ada masalah seperti ini, tentunya bila suami Anda memahami dengan baik hak dan kewajiban suami-isteri.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada beberapa poin penting yang ingin saya jelaskan di sini:
Pertama: Kewajiban menafkahi keluarga merupakan kewajiban laki-laki, tentunya sesuai batas kemampuannya. ALLAH swt. berfirman: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)
Kewajiban memberi nafkah inilah yang menyebabkan kedudukan laki-laki (suami) berada satu tingkat di atas perempuan (isteri). ALLAH swt. berfirman: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada isterinya. Dan ALLAH Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Dari sini, maka sebenarnya tidak ada kewajiban bagi seorang isteri untuk ikut mencari nafkah. Namun, bukan berarti hal itu tidak dibolehkan. Boleh-boleh saja, apalagi bila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan harian keluarga atau untuk membantu orangtuanya yang sudah tua. Dalam hal ini, penghasilan yang didapat oleh seorang isteri dari pekerjaannya merupakan hak dia sepenuhnya. Dia berhak membelanjakannya sesuai dengan keinginannya. Suami tidak boleh terlalu intervensi di dalamnya. Dia hanya dibolehkan untuk memberikan saran, masukan atau pertimbangan.
Tetapi perlu diingat, karena dengan kerelaan hatinya, suami mau mengizinkan isterinya untuk bekerja, maka sang isteri tidak boleh bersikap egois dengan menggunakan hasil jerih payahnya itu untuk kepentingan pribadinya semata tanpa mau berusaha untuk meringankan beban suami dalam menutupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Dalam kasus ini, saya melihat bahwa Anda telah menunjukkan komitmen untuk memberikan kompensasi seperti itu, yaitu dengan membantu suami dalam menutupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga, bahkan untuk membantu orangtua suami dan juga orangtua Anda yang sebenarnya masih menjadi tanggung jawab suami.
Saya yakin bila Anda melakukannya dengan ikhlas, maka hal itu akan dianggap ALLAH swt. sebagai shadaqah yang dapat mendatangkan pahala dari-Nya. Bahkan, bila kondisi suami memang benar-benar tidak mampu untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, maka shadaqah seperti itu lebih baik daripada shadaqah kepada orang lain. Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa Zaenab, isteri Ibnu Mas’ud ra., pernah dating kepada Rasulullah saw.. Saat dia meminta izin untuk masuk, dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ini Zainab.” Rasulullah bertanya: “Zainab yang mana?” Dijawab: “Isterinya Ibnu Mas’ud.” Rasulullah saw. pun bersabda: “Ya, silahkan!” Setelah diizinkan untuk masuk, Zainab berkata: “Wahai Nabi ALLAH, pada hari ini engkau memerintahkan (kami) untuk bersedekah. Aku mempunyai perhiasan dan aku ingin menyedekahkannya, tapi aku melihat Ibnu Mas’ud dan anaknya lebih berhak untuk menerima sedekahku.” Nabi saw. pun bersabda: “Ibnu Mas’ud (suamimu) dan anak lelakimu lebih berhak untuk menerima sedekah.” (HR. Bukhari)
Kedua: Masalah apapun yang muncul dalam rumah tangga tidak dapat diselesaikan bila kedua belah pihak sama-sama mempertahankan egonya masing-masing, termasuk masalah yang sedang Anda hadapi sekarang. Mau ga mau, salah satu pihak harus mengalah. Bila tidak, maka masalah semakin runyam dan akan melebar kemana-mana. Masalah yang kecil pun bisa menjadi besar, bahkan bisa berujung di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk membicarakannya dari hati ke hati, secara dewasa atau tidak dengan emosi. Carilah waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan suami, bila perlu setelah Anda men-servis-nya terlebih dahulu. Gunakanlah kata-kata yang halus dan hindarilah kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya. Setelah itu, ajukanlah tawaran semula Anda, yaitu 50:50. Bila dia sulit untuk menerimanya, cobalah alternatif lain yang pada hakekatnya sama tetapi kemasannya berbeda, seperti: 80:20 tetapi secara bergantian. Bulan ini mama suami mendapat 80% dan ibu Anda 20%, tetapi bulan depan dibalik, dan demikian pula seterusnya.
Satu hal yang ingin saya tekankan di sini, menurut saya, masalah Anda ini bukanlah masalah yang besar. Jangan jadikan masalah yang kecil menjadi besar hanya gara-gara komunikasi yang kurang baik atau karena masing-masing menggunakan emosi. Selamat mencoba. Wallaahu A’lam…..
Bismillaahir-Rohmaanir-Rohiim. Semoga kita semua berada dalam lindungan ALLAH swt., amin. Ustadz, maaf saya terpaksa harus curhat di sini. Saya punya masalah dengan suami saya mengenai sikap adil terhadap orangtua kami masing-masing.
Begini ceritanya, Ustadz. Seandainya kelak kami diberikan kemampuan oleh ALLAH swt., kami ingin membantu orangtua kami (ibu saya dan mama suami). Namun, kami menemukan perbedaan pendapat atau keinginan. Keinginan saya adalah jika kami mampu, kami nanti ingin membantu ibu saya dan mama mertua 50-50 secara adil. Tapi suami tidak setuju. Katanya, mamanya lebih berhak untuk mendapat jatah lebih banyak, yaitu 80%, sementara ibu saya hanya 20%. Menurutnya, hal itu disebabkan karena ibu saya punya banyak anak yang mungkin bisa membantunya dan juga masih punya suami. Sementara mamanya sudah janda, walaupun dia juga punya 2 anak yang lain, yang mungkin juga bisa membantu.
Sikap tidak adil suami saya itu benar-benar membuat saya terzhalimi. Saya hanya minta suami bersikap adil saja. Walaupun penghasilan saya hampir 80% lebih besar daripada penghasilan suami, namun saya tidak mempermasalahkannya. Sikap tidak adil suami saya itu membuat saya merasa seperti “KERBAU” yang dimanfaatkan pihak lain. Saya sudah capek-capek kerja keras, tapi sebagian besar hasilnya dialokasikan untuk kesejahteraan mamanya saja. Sungguh batin saya merasa tersiksa terus dengan sikap suami saya tersebut. Mohon solusinya. Syukran….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
L -…..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, saya sangat respect kepada Anda dan suami yang memiliki niat yang sangat mulia, yaitu niat untuk terus membantu orangtua Anda berdua, tentunya sebagai upaya untuk berbakti kepada mereka. Mudah-mudahan apa yang ingin Anda berdua lakukan itu dicatat oleh ALLAH swt. sebagai amal kebajikan yang akan mendatangkan ridha-Nya., karena ridha ALLAH sangat bergantung pada ridha kedua orangtua, sebagai sabda Nabi saw.: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Bukhari)
Dalam masalah ini, saya melihat Anda dan suami memiliki titik kesamaan, yaitu sama-sama memiliki keinginan untuk membantu orangtua. Hanya saja, ada perbedaan pendapat mengenai kadar atau prosentase bagian yang akan diberikan kepada mereka. Suami Anda menuntut jatah untuk ibunya lebih besar daripada jatah untuk ibu Anda, sementara Anda menginginkan pembagian yang sama besarnya.
Saudariku, saya juga respect terhadap sikap Anda yang mau berbagi dengan keluarga suami Anda. Bahkan, Anda setuju bila orangtua Anda berdua masing-masing mendapat 50%. Dengan kesediaan Anda seperti itu, semestinya tidak perlu ada masalah seperti ini, tentunya bila suami Anda memahami dengan baik hak dan kewajiban suami-isteri.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada beberapa poin penting yang ingin saya jelaskan di sini:
Pertama: Kewajiban menafkahi keluarga merupakan kewajiban laki-laki, tentunya sesuai batas kemampuannya. ALLAH swt. berfirman: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)
Kewajiban memberi nafkah inilah yang menyebabkan kedudukan laki-laki (suami) berada satu tingkat di atas perempuan (isteri). ALLAH swt. berfirman: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada isterinya. Dan ALLAH Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Dari sini, maka sebenarnya tidak ada kewajiban bagi seorang isteri untuk ikut mencari nafkah. Namun, bukan berarti hal itu tidak dibolehkan. Boleh-boleh saja, apalagi bila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan harian keluarga atau untuk membantu orangtuanya yang sudah tua. Dalam hal ini, penghasilan yang didapat oleh seorang isteri dari pekerjaannya merupakan hak dia sepenuhnya. Dia berhak membelanjakannya sesuai dengan keinginannya. Suami tidak boleh terlalu intervensi di dalamnya. Dia hanya dibolehkan untuk memberikan saran, masukan atau pertimbangan.
Tetapi perlu diingat, karena dengan kerelaan hatinya, suami mau mengizinkan isterinya untuk bekerja, maka sang isteri tidak boleh bersikap egois dengan menggunakan hasil jerih payahnya itu untuk kepentingan pribadinya semata tanpa mau berusaha untuk meringankan beban suami dalam menutupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Dalam kasus ini, saya melihat bahwa Anda telah menunjukkan komitmen untuk memberikan kompensasi seperti itu, yaitu dengan membantu suami dalam menutupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga, bahkan untuk membantu orangtua suami dan juga orangtua Anda yang sebenarnya masih menjadi tanggung jawab suami.
Saya yakin bila Anda melakukannya dengan ikhlas, maka hal itu akan dianggap ALLAH swt. sebagai shadaqah yang dapat mendatangkan pahala dari-Nya. Bahkan, bila kondisi suami memang benar-benar tidak mampu untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, maka shadaqah seperti itu lebih baik daripada shadaqah kepada orang lain. Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa Zaenab, isteri Ibnu Mas’ud ra., pernah dating kepada Rasulullah saw.. Saat dia meminta izin untuk masuk, dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ini Zainab.” Rasulullah bertanya: “Zainab yang mana?” Dijawab: “Isterinya Ibnu Mas’ud.” Rasulullah saw. pun bersabda: “Ya, silahkan!” Setelah diizinkan untuk masuk, Zainab berkata: “Wahai Nabi ALLAH, pada hari ini engkau memerintahkan (kami) untuk bersedekah. Aku mempunyai perhiasan dan aku ingin menyedekahkannya, tapi aku melihat Ibnu Mas’ud dan anaknya lebih berhak untuk menerima sedekahku.” Nabi saw. pun bersabda: “Ibnu Mas’ud (suamimu) dan anak lelakimu lebih berhak untuk menerima sedekah.” (HR. Bukhari)
Kedua: Masalah apapun yang muncul dalam rumah tangga tidak dapat diselesaikan bila kedua belah pihak sama-sama mempertahankan egonya masing-masing, termasuk masalah yang sedang Anda hadapi sekarang. Mau ga mau, salah satu pihak harus mengalah. Bila tidak, maka masalah semakin runyam dan akan melebar kemana-mana. Masalah yang kecil pun bisa menjadi besar, bahkan bisa berujung di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk membicarakannya dari hati ke hati, secara dewasa atau tidak dengan emosi. Carilah waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan suami, bila perlu setelah Anda men-servis-nya terlebih dahulu. Gunakanlah kata-kata yang halus dan hindarilah kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya. Setelah itu, ajukanlah tawaran semula Anda, yaitu 50:50. Bila dia sulit untuk menerimanya, cobalah alternatif lain yang pada hakekatnya sama tetapi kemasannya berbeda, seperti: 80:20 tetapi secara bergantian. Bulan ini mama suami mendapat 80% dan ibu Anda 20%, tetapi bulan depan dibalik, dan demikian pula seterusnya.
Satu hal yang ingin saya tekankan di sini, menurut saya, masalah Anda ini bukanlah masalah yang besar. Jangan jadikan masalah yang kecil menjadi besar hanya gara-gara komunikasi yang kurang baik atau karena masing-masing menggunakan emosi. Selamat mencoba. Wallaahu A’lam…..
Langganan:
Postingan (Atom)