Kamis, 25 Juni 2009

Hukum Daging Sembelihan di Negara Minoritas Muslim

Assalamualaikum Wr. Wb..
Yang terhormat bapak Fatkhurozi. Saya mau bertanya hukum makanan, terutama daging di negara yg minoritas Muslim. Di negara tempat saya tinggal sekarang daging hewan itu di potong tanpa menyebut nama Allah. Apakah saya boleh menyantap daging tersebut menurut hukum Islam (untuk orang dengan kondisi seperti saya). Memang di sini ada juga yang menjual daging / makanan berlabel halal, tetapi yang saya rasakan harganya lebih mahal, bahkan bisa 2x lipat dari harga normal di sini, dan itu saya rasakan memberatkan kantong saya..

Saya pernah membaca sebuah ayat Al-Quran (saya lupa nama suratnya), yang kalau tidak salah terjemahannya, makanan para ahli kitab adalah halal bagimu…dst (maaf saya tidak begitu ingat)..mohon penjelasan tentang maksud Ayat ini..
Demikianlah pertanyaan yang mengganjal di hati saya, mohon penjelasan dari Bapak..
.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

W - …………..

Jawaban:

Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Memang kondisi yang Saudara hadapi merupakan tantangan tersendiri bagi seorang Muslim yang hidup di negara yang minoritas Muslim. Dalam kondisi seperti itu, hal yang paling penting adalah komitmen keagamaan masing-masing orang. Bila seseorang memiliki komitmen keagamaan yang baik, maka dia akan berhati-hati dalam setiap hal, terutama dalam masalah hukum, seperti hukum makanan yang Saudara tanyakan. Inilah yang dalam agama disebut dengan istilah “wara’” (sikap berhati-hati terhadap hal yang diharamkan). Saya salut kepada Saudara, karena pertanyaan yang Saudara lontarkan itu menunjukkan bahwa Saudara memiliki sifat wara’ tersebut.
Pembahasan mengenai hukum hewan sembelihan tidak bisa lepas dari unsur terpenting yaitu unsur penyembelih.
Mengenai hal ini, Al-Qur`an telah menjelaskannya dalam Surah Al-Ma`idah (5): 5:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.”

Berdasarkan ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah beragama Islam atau Ahlul Kitab (Yahudi atau Nasrani).
Permasalahannya, apakah Yahudi dan Nasrani yang ada sekarang masih tergolong Ahlul Kitab? Memang ada sebagian ulama yang masih mengatagorikan penganut Yahudi dan Nasrani sekarang sebagai Ahlul Kitab. Tapi bagi saya pribadi, karena faktor kehati-hatian saya dalam masalah hukum, saya memandang keduanya tidak termasuk Ahlul Kitab. Hal itu disebabkan karena kitab yang mereka yakini sekarang ini sudah tidak otentik lagi, alias sudah mengalami banyak perubahan. Sehingga kemungkinan penyembelihan hewan yang mereka lakukan bukan atas nama Allah sangatlah besar. Berbeda dengan Yahudi dan Nasrani zaman dulu, yang masih mengesakan Allah. Perlu digarisbawahi bahwa yang terpenting di sini bukanlah pada faktor penyebutan nama Allah (secara lisan), melainkan pada keyakinan si penyembelih yang tidak menyembelih hewan tersebut atas nama selain Allah.
Adapun mengenai keharusan untuk menyebut nama Allah (secara lisan), terdapat pula perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ibnu Taimiyyah, Imam Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa menyebut nama Allah saat menyembelih merupakan satu keharusan. Mereka mendasarkan pendapat itu pada firman Allah swt.:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. ” (QS. Al-An’aam [6]: 121)
Sementara itu, Imam Syafi’i tidak memandang penyebutan nama Allah saat menyembelih binatang sebagai satu kewajiban. Alasannya, pada ayat yang membolehkan memakan sembelihan Ahlul Kitab (QS. Al-Ma`idah (5): 5), Allah membolehkan makanan yang disembelih oleh Ahlul Kitab, padahal pada umumnya mereka tidak menyebut nama Allah (secara lisan) saat melakukan penyembelihan. Ini berarti bahwa perintah untuk menyebut nama Allah pada ayat di atas (QS. Al-An’aam [6]: 121) hanya sebagai anjuran, bukan kewajiban. Atau, dengan kata lain, penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya penyembelihan. Karena yang terpenting adalah keyakinan si penyembelih yang tidak menyekutukan Allah.
Dalam kondisi yang Saudara hadapi, aturan hukum seperti yang telah disebutkan di atas harus tetap diikuti. Artinya, seorang Muslim yang berada dalam kondisi seperti Saudara, dia harus berusaha untuk memakan daging yang halal (dalam hal ini adalah daging yang disembelih atas nama Allah). Dia tidak boleh berpindah ke hukum lain atau dia tidak boleh memakan daging yang haram dengan alasan kondisi, alasan harga ataupun alasan yang lain. Karena menurut saya, dalam kondisi seperti itu, dia belum berada dalam kondisi darurat (adh-dharuurah) yang dapat menyebabkan sesuatu yang haram bisa menjadi halal. Sebab yang dimaksud dengan kondisi darurat adalah apabila seseorang sudah tidak ada pilihan lain, kecuali makanan yang haram. Bila dia tidak memakannya, maka keselamatan nyawanya akan terancam. Tetapi bila seseorang masih memiliki pilihan atau alternatif makanan lain yang halal, maka hukum darurat itu tidak berlaku. Wallahu A’lam…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda