Pada suatu hari, Umar keluar dalam keadaan marah sambil memegang sebilah pedang. Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang lelaki dari Bani Zuhrah (paman-paman Nabi dari pihak ibunya).
Lelaki tersebut bertanya kepada Umar, “Hendak pergi kemana kamu, wahai Umar?”
“Pergi ke Muhammad untuk membunuhnya,” jawab Umar.
“Bagaimana kamu bisa aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika kamu membunuh Muhammad?” tanya sang lelaki.
“Tampaknya kamu juga telah meninggalkan agama kaummu dan mengikuti Muhammad!” kata Umar.
“Wahai Umar, yang mengherankan adalah saudara perempuanmu, Fatimah, dan suaminya, Said bin Zaid, karena mereka telah masuk Islam dan mengikuti Muhammad,” ujar laki-laki itu.
Umar segera berjalan menuju ke rumah saudara perempuannya itu. Saat itu, mereka sedang bersama seorang sahahat agung bernama Khabab bin Al-Art. Ketika Khabab bin Al-Art mendengar suara Umar, dia langsung berlari dan bersembunyi di dalam rumah tersebut. Umar berkata, “Suara apa yang aku dengar dari kalian ini!”
“Suara perbincangan di antara kami,” kata Fatimah.
“Apakah kalian berdua telah meninggalkan agama ayah-ayah dan kakek-kakek kalian?”, hardik Umar.
“Wahai Umar, bagaimana jika kebenaran berada di luar agamamu?”, sahut Said.
Umar berdiri dan menuju ke arah Sa’id, lalu dia memukul Sa’id hingga Sa’id pun jatuh ke tanah. Melihat itu, Fatimah berdiri guna membela suaminya. Namun Umar menamparnya dengan kuat hingga darah mengalir dari wajahnya.
Fatimah pun berkata dengan nada marah, “Wahai Umar, kebenaran itu berada pada agama lain selain agamamu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah!”
Ketika Umar melihat darah mengalir dari wajah saudara perempuannya itu, hatinya berubah menjadi lunak. Lalu dia berkata, “Berikan kitab yang ada pada kalian itu!” Saat itu, di tangan mereka berdua terdapat sebuah kitab yang di dalamnya tertulis surat Thaahaa.
Saudara perempuannya berkata, “Sesungguhnya kamu itu najis, dan sesungguhnya al-Qur`an itu tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci. Maka, berdirilah dan mandilah!”
Umar pun bergegas, lalu dia mandi dan kembali lagi kepada keduanya. Umar adalah orang yang dapat membaca dan menulis. Maka, ia mulai membaca ayat-ayat Allah, “Thaha. Kami tidak menurunkan al-Qur`an ini kepadamu agar kamu menjadi susah,” (Thaahaa: 1-2) sampai ayat, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaahaa: 14)
Umar merasakan keindahan dan keagungan al-Qur`an, dan telah jelas baginya kebenaran dakwah Nabi Muhammad saw. Maka, ia berkata, “Antarkanlah aku kepada Muhammad!”
Setelah Khabab mendengar perkataan Umar ini, ia segera keluar untuk menemui Umar, lalu dia berkata, “Bergembiralah kamu, wahai Umar. Sungguh aku telah mendengar Rasulullah saw pernah berdoa dengan mengucapkan, ‘Ya Allah, muliakanlah Islam melalui salah satu dari kedua Umar ini: Umar bin Khathab dan Amr bin Hisyam.’ Maka, aku berharap kepada Allah agar yang dimaksud salah satu dari kedua Umar itu adalah engkau, wahai Umar.”
Mereka semua keluar untuk menemui Rasulullah saw, hingga akhirnya mereka sampai di Darul Arqam. Saat itu, Hamzah bin Abdul Muthalib, asadullah wa Rasulihi (singa Allah dan Rasul-Nya), sedang di pintu Darul Arqam dengan ditemani oleh sejumlah sahabat. Hamzah adalah orang yang sangat kuat yang kekuatannya sebanding dengan kekuatan Umar ra.
Sebagian sahabat berkata, “Itu Umar!” Setelah mengetahui teman-temannya ketakutan, Hamzah berkata, “Ya, itu adalah Umar. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri Umar, maka dia akan masuk Islam dan mengikuti Nabi Muhammad saw. Tetapi jika tidak, maka kita akan membunuhnya.” Umar pun masuk untuk menemui Rasulullah. Ketika itu pula, Rasulullah berdiri dan langsung memegang baju Umar seraya bersabda, “Apakah kamu akan masuk Islam, wahai Umar? Ya Allah, muliakanlah Islam melalui Umar bin Khathab.”
Umar bin Khathab berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Kaum muslimin serempak membaca takbir hingga bacaan takbir mereka itu terdengar oleh penduduk Mekkah. Saat itu, Jibril as turun dari langit, lalu ia berkata, “Wahai Muhammad, para penghuni langit bergembira dengan Keislaman Umar ini.” Keislaman Umar ini benar-benar merupakan sebuah kemenangan dan kemuliaan bagi kaum muslimin.
Ketika Umar mengucapkan dua kalimat syahadat, dia mengetahui dari lubuk hatinya yang paling dalam bahwa agama ini adalah agama yang paling kuat, dan bahwa orang yang telah masuk Islam harus menjadi orang yang perkasa, kuat, serta tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah swt. Setelah itu, dia berkata Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada dalam kebenaran jika kita mati ataupun hidup?”
Rasulullah saw menjawab, “Ya, demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya kalian akan selalu berada dalam kebenaran, jika kalian mati ataupun hidup.”
Umar berkata, “Jika demikian, maka mengapa engkau harus bersembunyi, wahai Rasulullah? Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh kita akan keluar kepada mereka (orang-orang kafir)!”
Orang-orang Islam keluar dalam dua barisan. Barisan pertama dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Muthalib, sedangkan barisan kedua dipimpin oleh Umar bin Khathab. Ketika orang-orang musyrik melihat parade ini, dada-dada mereka pun menjadi sesak sementara kesedihan terlihat jelas di wajah mereka. Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu untuk berdiri guna menghadapi kedua barisan yang di dalam salah satu barisan terdapat Umar, sedangkan di barisan lainnya terdapat Hamzah. Sebuah nama baru pun diberikan kepada Umar, yaitu sebuah nama yang mudah diucapkan oleh lidah semua orang. Sungguh Rasulullah saw telah menamainya dengan “al-Faruq”, yang berarti orang yang membedakan antara yang hak dan yang batil.
Orang-orang Islam, kemudian, bertawaf di Ka’bah dengan dikomandoi oleh al-Faruq, Umar bin Khathab, seorang yang dirinya telah dirubah oleh Islam dan telah dijadikan sebagai salah seorang tokoh yang terpandang dan dikenal dalam sejarah.
Selasa, 30 Juni 2009
Senin, 29 Juni 2009
Ad-Dars As-Saabi' (Pelajaran Ketujuh)
Pada pelajaran ketujuh ini, kita akan belajar tentang kata ”lianna” (karena). Kita akan mencoba mempraktekkan kata tersebut dalam conversation. Lalu dalam bagian grammer, kita akan mencoba mempraktekkan perubahannya. Bila Anda ingin mengetik dalam bahasa Arab, tetapi di komputer Anda tidak ada program Arab, buka saja link berikut ini: http://www.arabic-keyboard.org
Untuk mendownload pelajaran ketujuh ini, klik judul tulisan
Untuk mendownload pelajaran ketujuh ini, klik judul tulisan
Sabtu, 27 Juni 2009
Kisah Pendeta Yang Masuk Islam
Diriwayatkan dari Wahab bin Munabbih, bahwa dia berkata: “Aku pernah melihat Uskup Qisariyyah sedang thawaf (di Baitullah), maka aku pun menanyakan kepadanya tentang alasan mengapa dia masuk Islam. Dia menjawab: ‘Aku pernah naik sebuah perahu bersama sejumlah orang, karena aku ingin pergi ke sebagian kota. (Di tengah perjalanan) kapal yang kami tumpangi pecah, dan (pada saat itu) aku berpegangan pada sebuah kayu yang terus membawaku mengikuti arus ombak hingga tiga hari tiga malam. Akhirnya, ombak laut menghempaskanku ke sebuah hutan yang di dalamnya terdapat pohon-pohon yang buahnya seperti buah pohon bidara. Di dalam hutan itu juga terdapat sebuah sungai yang lurus. Aku pun meminum air (dari sungai itu) dan memakan buah-buahan tersebut. Ketika malam telah gelap, muncullah sosok yang berbadan besar dari air sungai itu. Di sekeliling orang itu ada sekelompok orang yang rupanya tidak pernah aku lihat sebelumnya. Orang itu berteriak dengan suaranya yang paling keras:
‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Sang Raja Yang Maha Perkasa. Muhammad adalah utusan Allah, Sang Nabi pilihan. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang menemani Nabi dalam gua (Hira). Umar bin Khaththab adalah kunci pembuka (bagi penaklukan) sejumlah daerah (negeri). Utsman bin Affan adalah tetangga yang paling baik. Ali bin Abi Thalib adalah orang yang membinasakan orang-orang kafir. Semoga orang-orang yang membenci mereka semua akan mendapatkan laknat dari Allah, dan sesungguhnya tempat kembali bagi orang-orang seperti itu adalah neraka Jahannam, padahal neraka Jahannam adalah seburuk-buruk tempat tinggal.’ Setelah mengucapkan perkataan itu, sosok itu pun menghilang. Tetapi ketika aku telah melewati sebagian besar waktu malam, sosok itu kembali muncul bersama rekan-rekannya. Dia kembali berteriak (dengan suara keras):
‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Dzat Yang Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa. Muhammad adalah utusan Allah, Sang Nabi yang merupakan kekasih Allah. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang sangat menaruh perhatian (kepada Nabi) dan teman sejati beliau. Umar bin Khaththab adalah (seperti) tiang yang (terbuat) dari besi. Utsman bin Affan adalah seorang yang sangat pemalu dan bijaksana. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang pemurah dan istiqamah (teguh pendiriannya).’
Kemudian salah seorang di antara mereka melihatku. Dia pun mendekatiku, lalu dia berkata: ‘Kamu berasal dari golongan jin ataukah manusia?’ Aku menjawab: ‘Manusia.’ Dia bertanya lagi: ‘Apa agamamu?’ Aku menjawab: ‘Nashrani.’ Dia berkata: ‘Masuklah kamu ke dalam agama Islam, niscaya kamu akan selamat! Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam?’ Aku pun bertanya kepadanya: ‘Siapa orang yang berbadan besar dan berseru itu?’ Dia menjawab: ‘Dia adalah At-Tayyar, malaikat penjaga laut. Itu adalah kebiasaan yang dilakukannya setiap hari di laut.’
Dia berkata lagi: ‘Besok, akan lewat ke hadapanmu sejumlah orang yang berkendaraan. Berteriaklah kamu kepada mereka atau berilah isyarat kepada mereka agar mereka mau membawamu ke negeri yang penduduknya beragama Islam!’ Esok harinya, lewatlah ke hadapanku sejumlah orang yang berkendaraan. Aku pun memberi isyarat kepada mereka. Mereka adalah orang-orang Nashrani, maka mereka pun membawaku. (Di tengah perjalanan) aku menceritakan kepada mereka tentang kisah yang aku alami. Maka, mereka semua pun masuk Islam sebagaimana aku juga masuk Islam. Aku berjanji kepada Allah swt. untuk tidak menyembunyikan peristiwa itu.’”
‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Sang Raja Yang Maha Perkasa. Muhammad adalah utusan Allah, Sang Nabi pilihan. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang menemani Nabi dalam gua (Hira). Umar bin Khaththab adalah kunci pembuka (bagi penaklukan) sejumlah daerah (negeri). Utsman bin Affan adalah tetangga yang paling baik. Ali bin Abi Thalib adalah orang yang membinasakan orang-orang kafir. Semoga orang-orang yang membenci mereka semua akan mendapatkan laknat dari Allah, dan sesungguhnya tempat kembali bagi orang-orang seperti itu adalah neraka Jahannam, padahal neraka Jahannam adalah seburuk-buruk tempat tinggal.’ Setelah mengucapkan perkataan itu, sosok itu pun menghilang. Tetapi ketika aku telah melewati sebagian besar waktu malam, sosok itu kembali muncul bersama rekan-rekannya. Dia kembali berteriak (dengan suara keras):
‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Dzat Yang Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa. Muhammad adalah utusan Allah, Sang Nabi yang merupakan kekasih Allah. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang sangat menaruh perhatian (kepada Nabi) dan teman sejati beliau. Umar bin Khaththab adalah (seperti) tiang yang (terbuat) dari besi. Utsman bin Affan adalah seorang yang sangat pemalu dan bijaksana. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang pemurah dan istiqamah (teguh pendiriannya).’
Kemudian salah seorang di antara mereka melihatku. Dia pun mendekatiku, lalu dia berkata: ‘Kamu berasal dari golongan jin ataukah manusia?’ Aku menjawab: ‘Manusia.’ Dia bertanya lagi: ‘Apa agamamu?’ Aku menjawab: ‘Nashrani.’ Dia berkata: ‘Masuklah kamu ke dalam agama Islam, niscaya kamu akan selamat! Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam?’ Aku pun bertanya kepadanya: ‘Siapa orang yang berbadan besar dan berseru itu?’ Dia menjawab: ‘Dia adalah At-Tayyar, malaikat penjaga laut. Itu adalah kebiasaan yang dilakukannya setiap hari di laut.’
Dia berkata lagi: ‘Besok, akan lewat ke hadapanmu sejumlah orang yang berkendaraan. Berteriaklah kamu kepada mereka atau berilah isyarat kepada mereka agar mereka mau membawamu ke negeri yang penduduknya beragama Islam!’ Esok harinya, lewatlah ke hadapanku sejumlah orang yang berkendaraan. Aku pun memberi isyarat kepada mereka. Mereka adalah orang-orang Nashrani, maka mereka pun membawaku. (Di tengah perjalanan) aku menceritakan kepada mereka tentang kisah yang aku alami. Maka, mereka semua pun masuk Islam sebagaimana aku juga masuk Islam. Aku berjanji kepada Allah swt. untuk tidak menyembunyikan peristiwa itu.’”
Kamis, 25 Juni 2009
Hukum Daging Sembelihan di Negara Minoritas Muslim
Assalamualaikum Wr. Wb..
Yang terhormat bapak Fatkhurozi. Saya mau bertanya hukum makanan, terutama daging di negara yg minoritas Muslim. Di negara tempat saya tinggal sekarang daging hewan itu di potong tanpa menyebut nama Allah. Apakah saya boleh menyantap daging tersebut menurut hukum Islam (untuk orang dengan kondisi seperti saya). Memang di sini ada juga yang menjual daging / makanan berlabel halal, tetapi yang saya rasakan harganya lebih mahal, bahkan bisa 2x lipat dari harga normal di sini, dan itu saya rasakan memberatkan kantong saya..
Saya pernah membaca sebuah ayat Al-Quran (saya lupa nama suratnya), yang kalau tidak salah terjemahannya, makanan para ahli kitab adalah halal bagimu…dst (maaf saya tidak begitu ingat)..mohon penjelasan tentang maksud Ayat ini..
Demikianlah pertanyaan yang mengganjal di hati saya, mohon penjelasan dari Bapak..
.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
W - …………..
Jawaban:
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Memang kondisi yang Saudara hadapi merupakan tantangan tersendiri bagi seorang Muslim yang hidup di negara yang minoritas Muslim. Dalam kondisi seperti itu, hal yang paling penting adalah komitmen keagamaan masing-masing orang. Bila seseorang memiliki komitmen keagamaan yang baik, maka dia akan berhati-hati dalam setiap hal, terutama dalam masalah hukum, seperti hukum makanan yang Saudara tanyakan. Inilah yang dalam agama disebut dengan istilah “wara’” (sikap berhati-hati terhadap hal yang diharamkan). Saya salut kepada Saudara, karena pertanyaan yang Saudara lontarkan itu menunjukkan bahwa Saudara memiliki sifat wara’ tersebut.
Pembahasan mengenai hukum hewan sembelihan tidak bisa lepas dari unsur terpenting yaitu unsur penyembelih.
Mengenai hal ini, Al-Qur`an telah menjelaskannya dalam Surah Al-Ma`idah (5): 5:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.”
Berdasarkan ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah beragama Islam atau Ahlul Kitab (Yahudi atau Nasrani).
Permasalahannya, apakah Yahudi dan Nasrani yang ada sekarang masih tergolong Ahlul Kitab? Memang ada sebagian ulama yang masih mengatagorikan penganut Yahudi dan Nasrani sekarang sebagai Ahlul Kitab. Tapi bagi saya pribadi, karena faktor kehati-hatian saya dalam masalah hukum, saya memandang keduanya tidak termasuk Ahlul Kitab. Hal itu disebabkan karena kitab yang mereka yakini sekarang ini sudah tidak otentik lagi, alias sudah mengalami banyak perubahan. Sehingga kemungkinan penyembelihan hewan yang mereka lakukan bukan atas nama Allah sangatlah besar. Berbeda dengan Yahudi dan Nasrani zaman dulu, yang masih mengesakan Allah. Perlu digarisbawahi bahwa yang terpenting di sini bukanlah pada faktor penyebutan nama Allah (secara lisan), melainkan pada keyakinan si penyembelih yang tidak menyembelih hewan tersebut atas nama selain Allah.
Adapun mengenai keharusan untuk menyebut nama Allah (secara lisan), terdapat pula perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ibnu Taimiyyah, Imam Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa menyebut nama Allah saat menyembelih merupakan satu keharusan. Mereka mendasarkan pendapat itu pada firman Allah swt.:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. ” (QS. Al-An’aam [6]: 121)
Sementara itu, Imam Syafi’i tidak memandang penyebutan nama Allah saat menyembelih binatang sebagai satu kewajiban. Alasannya, pada ayat yang membolehkan memakan sembelihan Ahlul Kitab (QS. Al-Ma`idah (5): 5), Allah membolehkan makanan yang disembelih oleh Ahlul Kitab, padahal pada umumnya mereka tidak menyebut nama Allah (secara lisan) saat melakukan penyembelihan. Ini berarti bahwa perintah untuk menyebut nama Allah pada ayat di atas (QS. Al-An’aam [6]: 121) hanya sebagai anjuran, bukan kewajiban. Atau, dengan kata lain, penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya penyembelihan. Karena yang terpenting adalah keyakinan si penyembelih yang tidak menyekutukan Allah.
Dalam kondisi yang Saudara hadapi, aturan hukum seperti yang telah disebutkan di atas harus tetap diikuti. Artinya, seorang Muslim yang berada dalam kondisi seperti Saudara, dia harus berusaha untuk memakan daging yang halal (dalam hal ini adalah daging yang disembelih atas nama Allah). Dia tidak boleh berpindah ke hukum lain atau dia tidak boleh memakan daging yang haram dengan alasan kondisi, alasan harga ataupun alasan yang lain. Karena menurut saya, dalam kondisi seperti itu, dia belum berada dalam kondisi darurat (adh-dharuurah) yang dapat menyebabkan sesuatu yang haram bisa menjadi halal. Sebab yang dimaksud dengan kondisi darurat adalah apabila seseorang sudah tidak ada pilihan lain, kecuali makanan yang haram. Bila dia tidak memakannya, maka keselamatan nyawanya akan terancam. Tetapi bila seseorang masih memiliki pilihan atau alternatif makanan lain yang halal, maka hukum darurat itu tidak berlaku. Wallahu A’lam…..
Yang terhormat bapak Fatkhurozi. Saya mau bertanya hukum makanan, terutama daging di negara yg minoritas Muslim. Di negara tempat saya tinggal sekarang daging hewan itu di potong tanpa menyebut nama Allah. Apakah saya boleh menyantap daging tersebut menurut hukum Islam (untuk orang dengan kondisi seperti saya). Memang di sini ada juga yang menjual daging / makanan berlabel halal, tetapi yang saya rasakan harganya lebih mahal, bahkan bisa 2x lipat dari harga normal di sini, dan itu saya rasakan memberatkan kantong saya..
Saya pernah membaca sebuah ayat Al-Quran (saya lupa nama suratnya), yang kalau tidak salah terjemahannya, makanan para ahli kitab adalah halal bagimu…dst (maaf saya tidak begitu ingat)..mohon penjelasan tentang maksud Ayat ini..
Demikianlah pertanyaan yang mengganjal di hati saya, mohon penjelasan dari Bapak..
.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
W - …………..
Jawaban:
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Memang kondisi yang Saudara hadapi merupakan tantangan tersendiri bagi seorang Muslim yang hidup di negara yang minoritas Muslim. Dalam kondisi seperti itu, hal yang paling penting adalah komitmen keagamaan masing-masing orang. Bila seseorang memiliki komitmen keagamaan yang baik, maka dia akan berhati-hati dalam setiap hal, terutama dalam masalah hukum, seperti hukum makanan yang Saudara tanyakan. Inilah yang dalam agama disebut dengan istilah “wara’” (sikap berhati-hati terhadap hal yang diharamkan). Saya salut kepada Saudara, karena pertanyaan yang Saudara lontarkan itu menunjukkan bahwa Saudara memiliki sifat wara’ tersebut.
Pembahasan mengenai hukum hewan sembelihan tidak bisa lepas dari unsur terpenting yaitu unsur penyembelih.
Mengenai hal ini, Al-Qur`an telah menjelaskannya dalam Surah Al-Ma`idah (5): 5:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.”
Berdasarkan ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah beragama Islam atau Ahlul Kitab (Yahudi atau Nasrani).
Permasalahannya, apakah Yahudi dan Nasrani yang ada sekarang masih tergolong Ahlul Kitab? Memang ada sebagian ulama yang masih mengatagorikan penganut Yahudi dan Nasrani sekarang sebagai Ahlul Kitab. Tapi bagi saya pribadi, karena faktor kehati-hatian saya dalam masalah hukum, saya memandang keduanya tidak termasuk Ahlul Kitab. Hal itu disebabkan karena kitab yang mereka yakini sekarang ini sudah tidak otentik lagi, alias sudah mengalami banyak perubahan. Sehingga kemungkinan penyembelihan hewan yang mereka lakukan bukan atas nama Allah sangatlah besar. Berbeda dengan Yahudi dan Nasrani zaman dulu, yang masih mengesakan Allah. Perlu digarisbawahi bahwa yang terpenting di sini bukanlah pada faktor penyebutan nama Allah (secara lisan), melainkan pada keyakinan si penyembelih yang tidak menyembelih hewan tersebut atas nama selain Allah.
Adapun mengenai keharusan untuk menyebut nama Allah (secara lisan), terdapat pula perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ibnu Taimiyyah, Imam Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa menyebut nama Allah saat menyembelih merupakan satu keharusan. Mereka mendasarkan pendapat itu pada firman Allah swt.:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. ” (QS. Al-An’aam [6]: 121)
Sementara itu, Imam Syafi’i tidak memandang penyebutan nama Allah saat menyembelih binatang sebagai satu kewajiban. Alasannya, pada ayat yang membolehkan memakan sembelihan Ahlul Kitab (QS. Al-Ma`idah (5): 5), Allah membolehkan makanan yang disembelih oleh Ahlul Kitab, padahal pada umumnya mereka tidak menyebut nama Allah (secara lisan) saat melakukan penyembelihan. Ini berarti bahwa perintah untuk menyebut nama Allah pada ayat di atas (QS. Al-An’aam [6]: 121) hanya sebagai anjuran, bukan kewajiban. Atau, dengan kata lain, penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya penyembelihan. Karena yang terpenting adalah keyakinan si penyembelih yang tidak menyekutukan Allah.
Dalam kondisi yang Saudara hadapi, aturan hukum seperti yang telah disebutkan di atas harus tetap diikuti. Artinya, seorang Muslim yang berada dalam kondisi seperti Saudara, dia harus berusaha untuk memakan daging yang halal (dalam hal ini adalah daging yang disembelih atas nama Allah). Dia tidak boleh berpindah ke hukum lain atau dia tidak boleh memakan daging yang haram dengan alasan kondisi, alasan harga ataupun alasan yang lain. Karena menurut saya, dalam kondisi seperti itu, dia belum berada dalam kondisi darurat (adh-dharuurah) yang dapat menyebabkan sesuatu yang haram bisa menjadi halal. Sebab yang dimaksud dengan kondisi darurat adalah apabila seseorang sudah tidak ada pilihan lain, kecuali makanan yang haram. Bila dia tidak memakannya, maka keselamatan nyawanya akan terancam. Tetapi bila seseorang masih memiliki pilihan atau alternatif makanan lain yang halal, maka hukum darurat itu tidak berlaku. Wallahu A’lam…..
Selasa, 23 Juni 2009
Taubat Nasuhan
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya pengen curhat dan minta sarannya.
Saya berpacaran hampir 4 tahun lebih, tapi sekarang pacar saya telah pergi bersama dengan cewek lain yang baru dia kenal. Dia mencampakkan saya dengan mengatakan bahwa cewek barunya itu lebih baik dari saya. Saya sangat menyesal karena selama 4 tahun berpacaran dengan dia, saya telah berbuat maksiat di antaranya, berpegangan, berpelukan, berciuman, bahkan –maaf- kami pernah saling memegang alat kelamin masing-masing. Kami juga pernah tidur bersama, tapi demi Allah kami tidak melakukan hubungan suami-istri.
Astaghfirullahaladzim….. . .
Saya sadar bahwa apa yang saya lakukan adalah salah dan telah membuat Tuhan murka. Tapi selama saya berhubungan dengan dia, saya tidak bisa menolak ajakannya karena saya sangat sayang kepadanya. Dia juga pernah berjanji akan tetap setia dan akan menikahi saya, tapi kenyataan sekarang malah sebaliknya...
Jujur, hati saya sangat hancur, bahkan hidup saya terasa kiamat.
Guna menebus dosa, sekarang saya selalu melakukan tadarus al-Qur'an, shalat malam, dan berpuasa selagi saya masih mampu.
Saya ingin bertanya, apakah Allah masih mau mengampuni dosa-dosa saya? Apakah Dia masih mau memberi jodoh yang lebih baik? Apakah Dia masih mau menggolongkan saya ke dalam umat-Nya yg dicintai-Nya?
Apa yang harus saya perbuat agar saya dapat melupakan mantan pacar saya itu dan melupakan semua yang pernah saya perbuat dengan dia dan mlakukan taubatan nasukha??
Apakah saya juga harus menjauhi mantan pacar saya itu??
Lalu apakah wanita yang sedang haid boleh memegang dan membaca al-Qur`an?
Mohon jawabannya untuk menolong hati saya yang sedang kalut ini. . .
Terima kasih
Wassalamu’alaikumm Wr. Wb
S – Indonesia
Jawaban:
Wa'alaikumsalam wr. wb.
Sebelumnya, saya ucapkan selamat kepada ukhti yang sudah mulai berhijrah dari kegelapan menuju jalan yang terang...
Tentunya semua itu berkat hidayah dari Allah dan merupakan nikmat yang patut disyukuri. Jadi, ukhti tidak perlu menyesal bila sekarang ukhti ditinggalkan oleh sang kekasih. Yakinlah bahwa apa yang terjadi pada diri ukhti sekarang, itulah yang terbaik bagi ukhti dalam pandangan Allah, dan yakinlah bahwa suatu saat nanti, ukhti akan menemukan jodoh yang lebih baik daripada mantan pacar ukhti. Serahkan semuanya kepada Allah, dan banyak-banyaklah berdoa kepada-Nya.
Mengenai taubat ukhti, Allah swt. akan menerima taubat hamba-Nya selama taubat itu dilakukan dengan sungguh-sungguh (taubatan nasukha). Maksudnya, bila hamba itu mau menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan, meninggalkan perbuatan tersebut dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Hal ini seperti difirmankan dalam banyak ayat Al-Qur`an, diantaranya QS. at-Tahriim ayat 8, an-Nisaa ayat 48 dan lain sebagainya.
Sebaiknya, ukhti lupakan saja cowok itu, agar niatan untuk melakukan taubatan nasukhan benar-benar tercapai...Soal jodoh tidak perlu khawatir, asalkan ukhti rajin memohon kepada Dzat Yang Maha Kuasa, insya Allah, jodoh yang terbaik bagi ukhti akan datang.
Adapun wanita yang sedang haidh, tidak dibolehkan untuk membaca Al-Qur`an, bahkan memegang Mushhaf Al-Qur`an pun tidak dibenarkan. Inilah pendapat Imam Syafi'i...
Wallahu A'lam
Saya pengen curhat dan minta sarannya.
Saya berpacaran hampir 4 tahun lebih, tapi sekarang pacar saya telah pergi bersama dengan cewek lain yang baru dia kenal. Dia mencampakkan saya dengan mengatakan bahwa cewek barunya itu lebih baik dari saya. Saya sangat menyesal karena selama 4 tahun berpacaran dengan dia, saya telah berbuat maksiat di antaranya, berpegangan, berpelukan, berciuman, bahkan –maaf- kami pernah saling memegang alat kelamin masing-masing. Kami juga pernah tidur bersama, tapi demi Allah kami tidak melakukan hubungan suami-istri.
Astaghfirullahaladzim….. . .
Saya sadar bahwa apa yang saya lakukan adalah salah dan telah membuat Tuhan murka. Tapi selama saya berhubungan dengan dia, saya tidak bisa menolak ajakannya karena saya sangat sayang kepadanya. Dia juga pernah berjanji akan tetap setia dan akan menikahi saya, tapi kenyataan sekarang malah sebaliknya...
Jujur, hati saya sangat hancur, bahkan hidup saya terasa kiamat.
Guna menebus dosa, sekarang saya selalu melakukan tadarus al-Qur'an, shalat malam, dan berpuasa selagi saya masih mampu.
Saya ingin bertanya, apakah Allah masih mau mengampuni dosa-dosa saya? Apakah Dia masih mau memberi jodoh yang lebih baik? Apakah Dia masih mau menggolongkan saya ke dalam umat-Nya yg dicintai-Nya?
Apa yang harus saya perbuat agar saya dapat melupakan mantan pacar saya itu dan melupakan semua yang pernah saya perbuat dengan dia dan mlakukan taubatan nasukha??
Apakah saya juga harus menjauhi mantan pacar saya itu??
Lalu apakah wanita yang sedang haid boleh memegang dan membaca al-Qur`an?
Mohon jawabannya untuk menolong hati saya yang sedang kalut ini. . .
Terima kasih
Wassalamu’alaikumm Wr. Wb
S – Indonesia
Jawaban:
Wa'alaikumsalam wr. wb.
Sebelumnya, saya ucapkan selamat kepada ukhti yang sudah mulai berhijrah dari kegelapan menuju jalan yang terang...
Tentunya semua itu berkat hidayah dari Allah dan merupakan nikmat yang patut disyukuri. Jadi, ukhti tidak perlu menyesal bila sekarang ukhti ditinggalkan oleh sang kekasih. Yakinlah bahwa apa yang terjadi pada diri ukhti sekarang, itulah yang terbaik bagi ukhti dalam pandangan Allah, dan yakinlah bahwa suatu saat nanti, ukhti akan menemukan jodoh yang lebih baik daripada mantan pacar ukhti. Serahkan semuanya kepada Allah, dan banyak-banyaklah berdoa kepada-Nya.
Mengenai taubat ukhti, Allah swt. akan menerima taubat hamba-Nya selama taubat itu dilakukan dengan sungguh-sungguh (taubatan nasukha). Maksudnya, bila hamba itu mau menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan, meninggalkan perbuatan tersebut dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Hal ini seperti difirmankan dalam banyak ayat Al-Qur`an, diantaranya QS. at-Tahriim ayat 8, an-Nisaa ayat 48 dan lain sebagainya.
Sebaiknya, ukhti lupakan saja cowok itu, agar niatan untuk melakukan taubatan nasukhan benar-benar tercapai...Soal jodoh tidak perlu khawatir, asalkan ukhti rajin memohon kepada Dzat Yang Maha Kuasa, insya Allah, jodoh yang terbaik bagi ukhti akan datang.
Adapun wanita yang sedang haidh, tidak dibolehkan untuk membaca Al-Qur`an, bahkan memegang Mushhaf Al-Qur`an pun tidak dibenarkan. Inilah pendapat Imam Syafi'i...
Wallahu A'lam
Minggu, 21 Juni 2009
Ad-Dars As-Saadis (Pelajaran Keenam)
Pada pertemuan kali ini, kita akan belajar tentang kata ganti milik. Anda dapat melatih perubahan kata ganti tersebut melalui tabel yang tersedia. Mohon perhatikan pula perubahan kata ganti tersebut pada bagian conversation dan juga translation terutama ketika Anda sedang menerjemahkan soal-soal yang ada. Sekedar info, bila Anda tidak memiliki program arabic di komputer Anda dan Anda juga tidak memiliki keyboard Arab, tetapi Anda ingin mengetik dalam bahasa Arab, Anda cukup mengklik http://www.arabic-keyboard.org
Untuk mendownload pelajaran keenam, klik judul tulisan
Untuk mendownload pelajaran keenam, klik judul tulisan
Selasa, 16 Juni 2009
Urgensi Al-Qur`an Bagi Kehidupan Manusia
Kehidupan manusia di dunia bukanlah perjalanan yang tak bertujuan, melainkan perjalanan menuju satu titik tujuan, yaitu meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perjalanan manusia di dunia harus lurus ke arah tujuan yang hendak dicapai dan tidak boleh menyimpang darinya. Sebagaimana seorang musafir membutuhkan petunjuk jalan agar dirinya dapat sampai di tempat tujuan, manusia pun memerlukan adanya petunjuk jalan yang akan membimbingnya dalam menggapai dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan sementara di dunia dan kebahagiaan yang hakiki di akhirat nanti. Dengan petunjuk tersebut, kehidupan manusia akan terarah sehingga dirinya akan sampai di satu titik yang menjadi tujuannya itu dengan selamat.
Sebaliknya, tanpa petunjuk tersebut, dia akan menjadi seperti musafir yang berjalan tanpa tahu arah dan tujuan. Orang seperti ini akan tersesat dan akan terombang-ambing oleh derasnya “ombak” kehidupan dunia hingga tak tahu lagi ke mana dia harus menepi. Akhirnya, dia pun tenggelam ke dalam “lautan” kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana. Hidupnya hanya sekedar untuk mencari kenikmatan dan kesenangan duniawi yang bersifat fana`, sehingga meskipun hidupnya penuh dengan berbagai macam kenikmatan atau kesenangan duniawi, akan tetapi dia belum tentu bahagia. Andaikata dengan kenikmatan dan kesenangan duniawi itu dia memang dapat meraih kebahagiaan di dunia, tapi apakah dia dapat meraih kebahagiaan di akhirat? Yang terpikir dalam benaknya hanyalah bagaimana dia dapat hidup senang, meskipun terkadang kesenangan itu diperoleh dengan cara merugikan orang lain atau membuatnya sengsara.
Orang-orang seperti ini sudah tidak sulit dijumpai pada zaman kita sekarang. Hari demi hari, makin banyak orang yang hanya mencari kenikmatan dan kesenangan duniawi semata. Akibatnya, kejahatan semakin marak, korupsi semakin merajalela, tindakan asusila ada di mana-mana, dan moral masyarakat semakin bobrok. Ironisnya, hal itu juga terjadi di negara kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan dapat dikatakan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Semua itu terjadi karena mereka sudah tidak lagi memperhatikan dan mengikuti petunjuk Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sebagai muslim, kita meyakini bahwa sesuatu yang harus kita jadikan sebagai petunjuk atau pedoman dalam kehidupan di dunia ini adalah al-Qur`an, kitab suci yang diturunkan Allah kepada baginda Nabi Muhammad saw.. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu`min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. al-Israa` [17]: 9-10)
Sebagai petunjuk, al-Qur`an memuat hal-hal yang dibutuhkan manusia guna meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, baik berupa berita tentang kisah umat-umat terdahulu yang dapat dijadikan pelajaran, kabar tentang hal-hal yang akan terjadi di masa-masa mendatang, ataupun hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia. Bila seseorang memperhatikan dengan baik hal-hal tersebut, kemudian dia mengikuti petunjuk-petunjuk al-Qur`an yang berkaitan dengannya, maka dia dijamin tidak akan sesat. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
“Di dalamnya (al-Qur`an) terdapat berita tentang hal-hal yang terjadi sebelum (masa) kalian, kabar tentang hal-hal yang akan terjadi setelah (masa) kalian, dan hukum-hukum yang diterapkan di antara kalian. Al-Qur`an merupakan perkataan yang tegas (penuh arti) dan bukan perkataan omong kosong. Barangsiapa yang meninggalkannya karena perasaan sombong yang ada dalam dirinya, maka Allah akan memusuhinya. Barangsiapa yang mencari petunjuk lain selain al-Qur`an, maka Allah akan menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi dan al-Darimi)
Al-Qur`an merupakan penawar bagi hati yang resah, hukum yang adil untuk memecahkan pelbagai persoalan, serta merupakan kata-putus yang tegas yang sama sekali tidak mengandung unsur sendau-gurau. Ia bagaikan pelita yang cahayanya tak kenal pudar, bintang kejora yang kilauan sinarnya tak pernah padam, dan samudera luas yang kedalamannya tak terjajaki.
Sebagai kitab suci yang bersumber dari Dzat Yang Maha Mengetahui, al-Qur`an telah disusun dengan susunan yang sangat rapi, penghubungan antara bagian-bagian awal dengan bagian-bagian akhirnya begitu indah, isyarat-isyaratnya amat cemerlang, dan perpindahannya dari penyampaian kisah-kisah yang menarik menuju pemberian peringatan dan teguran kepada umat manusia sangat menakjubkan. Ia telah dirancang sedemikian rupa sehingga ia memuat dasar-dasar, pokok-pokok atau prinsip-prinsip yang memang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Bahkan, ada sebagian ulama yang beranggapan bahwa al-Qur`an merupakan sumber segala ilmu, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Anggapan mereka itu didasarkan pada firman Allah swt. yang berbunyi:
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab (al-Qur`an).” (QS. al-An’aam [6]: 38)
Mungkin anggapan mereka itu tidaklah berlebihan, karena dalam al-Qur`an memang terdapat penjelasan-penjelasan atau isyarat-isyarat yang berkaitan dengan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa al-Qur`an diturunkan bukan untuk menjadi kitab (buku) ilmu pengetahuan, melainkan sebagai buku petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah [2]: 2). Al-Qur`an-lah yang dapat membimbing manusia ke jalan yang lurus, yang tidak menyimpang, dan yang sesuai dengan arah tujuan. Al-Qur`an-lah yang memberitahukan kepada manusia; mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, dan lain sebagainya. Al-Qur`an-lah yang memerintahkan manusia untuk mengikuti sosok teladan bagi umat manusia, Nabi Muhammad saw., serta untuk menjauhi langkah-langkah setan yang merupakan musuh yang nyata bagi mereka.
Untuk dapat menjadikan al-Qur`an sebagai petunjuk, tentunya perlu ada upaya perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur`an, pemahaman terhadap makna-maknanya, serta pengungkapan terhadap rahasia-rahasia atau mutiara-mutiara yang terkandung di dalamnya. Untuk itulah, Allah swt. pun memerintahkan manusia untuk merenungi ayat-ayat al-Qur`an dan memahami makna-maknanya. Dia berfirman:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24)
Pada ayat lain, Allah juga berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad [38]: 29)
Perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur`an dan pemahaman terhadap makna-maknanya ini perlu dilakukan secara menyeluruh dan tidak sepotong-potong, karena terkadang ada satu ayat yang dijelaskan oleh ayat lain. Perenungan dan pemahaman itu juga harus dilakukan dari berbagai sudut pandang, dengan harapan output yang dihasilkan –paling tidak- dapat mendekati maksud yang dikehendaki Allah swt.. Mengingat al-Qur`an diturunkan dalam bahasa Arab dengan gaya bahasa yang mengandung unsur sastra tinggi, maka untuk dapat memahami al-Qur`an dengan baik, seseorang membutuhkan adanya bantuan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu bahasa, asbabun nuzul, qawa`id tafsir, fikih, dan lain sebagainya. Bahkan terkadang diperlukan bantuan ilmu-ilmu umum, seperti psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya, tentunya sesuai dengan tema ayat yang akan dibahas. Untuk itu, di kalangan umat Islam ini, harus ada orang-orang tertentu yang memfokuskan perhatiannya pada upaya perenungan dan pemahaman terhadap makna ayat-ayat al-Qur`an. Orang-orang seperti ini diharapkan dapat membantu umat Islam lainnya dalam memahami al-Qur`an, sehingga mereka semua dapat menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan petunjuk al-Qur`an. Wallahu a’lam….
Sebaliknya, tanpa petunjuk tersebut, dia akan menjadi seperti musafir yang berjalan tanpa tahu arah dan tujuan. Orang seperti ini akan tersesat dan akan terombang-ambing oleh derasnya “ombak” kehidupan dunia hingga tak tahu lagi ke mana dia harus menepi. Akhirnya, dia pun tenggelam ke dalam “lautan” kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana. Hidupnya hanya sekedar untuk mencari kenikmatan dan kesenangan duniawi yang bersifat fana`, sehingga meskipun hidupnya penuh dengan berbagai macam kenikmatan atau kesenangan duniawi, akan tetapi dia belum tentu bahagia. Andaikata dengan kenikmatan dan kesenangan duniawi itu dia memang dapat meraih kebahagiaan di dunia, tapi apakah dia dapat meraih kebahagiaan di akhirat? Yang terpikir dalam benaknya hanyalah bagaimana dia dapat hidup senang, meskipun terkadang kesenangan itu diperoleh dengan cara merugikan orang lain atau membuatnya sengsara.
Orang-orang seperti ini sudah tidak sulit dijumpai pada zaman kita sekarang. Hari demi hari, makin banyak orang yang hanya mencari kenikmatan dan kesenangan duniawi semata. Akibatnya, kejahatan semakin marak, korupsi semakin merajalela, tindakan asusila ada di mana-mana, dan moral masyarakat semakin bobrok. Ironisnya, hal itu juga terjadi di negara kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan dapat dikatakan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Semua itu terjadi karena mereka sudah tidak lagi memperhatikan dan mengikuti petunjuk Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sebagai muslim, kita meyakini bahwa sesuatu yang harus kita jadikan sebagai petunjuk atau pedoman dalam kehidupan di dunia ini adalah al-Qur`an, kitab suci yang diturunkan Allah kepada baginda Nabi Muhammad saw.. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu`min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. al-Israa` [17]: 9-10)
Sebagai petunjuk, al-Qur`an memuat hal-hal yang dibutuhkan manusia guna meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, baik berupa berita tentang kisah umat-umat terdahulu yang dapat dijadikan pelajaran, kabar tentang hal-hal yang akan terjadi di masa-masa mendatang, ataupun hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia. Bila seseorang memperhatikan dengan baik hal-hal tersebut, kemudian dia mengikuti petunjuk-petunjuk al-Qur`an yang berkaitan dengannya, maka dia dijamin tidak akan sesat. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
“Di dalamnya (al-Qur`an) terdapat berita tentang hal-hal yang terjadi sebelum (masa) kalian, kabar tentang hal-hal yang akan terjadi setelah (masa) kalian, dan hukum-hukum yang diterapkan di antara kalian. Al-Qur`an merupakan perkataan yang tegas (penuh arti) dan bukan perkataan omong kosong. Barangsiapa yang meninggalkannya karena perasaan sombong yang ada dalam dirinya, maka Allah akan memusuhinya. Barangsiapa yang mencari petunjuk lain selain al-Qur`an, maka Allah akan menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi dan al-Darimi)
Al-Qur`an merupakan penawar bagi hati yang resah, hukum yang adil untuk memecahkan pelbagai persoalan, serta merupakan kata-putus yang tegas yang sama sekali tidak mengandung unsur sendau-gurau. Ia bagaikan pelita yang cahayanya tak kenal pudar, bintang kejora yang kilauan sinarnya tak pernah padam, dan samudera luas yang kedalamannya tak terjajaki.
Sebagai kitab suci yang bersumber dari Dzat Yang Maha Mengetahui, al-Qur`an telah disusun dengan susunan yang sangat rapi, penghubungan antara bagian-bagian awal dengan bagian-bagian akhirnya begitu indah, isyarat-isyaratnya amat cemerlang, dan perpindahannya dari penyampaian kisah-kisah yang menarik menuju pemberian peringatan dan teguran kepada umat manusia sangat menakjubkan. Ia telah dirancang sedemikian rupa sehingga ia memuat dasar-dasar, pokok-pokok atau prinsip-prinsip yang memang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Bahkan, ada sebagian ulama yang beranggapan bahwa al-Qur`an merupakan sumber segala ilmu, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Anggapan mereka itu didasarkan pada firman Allah swt. yang berbunyi:
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab (al-Qur`an).” (QS. al-An’aam [6]: 38)
Mungkin anggapan mereka itu tidaklah berlebihan, karena dalam al-Qur`an memang terdapat penjelasan-penjelasan atau isyarat-isyarat yang berkaitan dengan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa al-Qur`an diturunkan bukan untuk menjadi kitab (buku) ilmu pengetahuan, melainkan sebagai buku petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah [2]: 2). Al-Qur`an-lah yang dapat membimbing manusia ke jalan yang lurus, yang tidak menyimpang, dan yang sesuai dengan arah tujuan. Al-Qur`an-lah yang memberitahukan kepada manusia; mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, dan lain sebagainya. Al-Qur`an-lah yang memerintahkan manusia untuk mengikuti sosok teladan bagi umat manusia, Nabi Muhammad saw., serta untuk menjauhi langkah-langkah setan yang merupakan musuh yang nyata bagi mereka.
Untuk dapat menjadikan al-Qur`an sebagai petunjuk, tentunya perlu ada upaya perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur`an, pemahaman terhadap makna-maknanya, serta pengungkapan terhadap rahasia-rahasia atau mutiara-mutiara yang terkandung di dalamnya. Untuk itulah, Allah swt. pun memerintahkan manusia untuk merenungi ayat-ayat al-Qur`an dan memahami makna-maknanya. Dia berfirman:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24)
Pada ayat lain, Allah juga berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad [38]: 29)
Perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur`an dan pemahaman terhadap makna-maknanya ini perlu dilakukan secara menyeluruh dan tidak sepotong-potong, karena terkadang ada satu ayat yang dijelaskan oleh ayat lain. Perenungan dan pemahaman itu juga harus dilakukan dari berbagai sudut pandang, dengan harapan output yang dihasilkan –paling tidak- dapat mendekati maksud yang dikehendaki Allah swt.. Mengingat al-Qur`an diturunkan dalam bahasa Arab dengan gaya bahasa yang mengandung unsur sastra tinggi, maka untuk dapat memahami al-Qur`an dengan baik, seseorang membutuhkan adanya bantuan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu bahasa, asbabun nuzul, qawa`id tafsir, fikih, dan lain sebagainya. Bahkan terkadang diperlukan bantuan ilmu-ilmu umum, seperti psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya, tentunya sesuai dengan tema ayat yang akan dibahas. Untuk itu, di kalangan umat Islam ini, harus ada orang-orang tertentu yang memfokuskan perhatiannya pada upaya perenungan dan pemahaman terhadap makna ayat-ayat al-Qur`an. Orang-orang seperti ini diharapkan dapat membantu umat Islam lainnya dalam memahami al-Qur`an, sehingga mereka semua dapat menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan petunjuk al-Qur`an. Wallahu a’lam….
Minggu, 14 Juni 2009
Tadriibaat (Latihan) - Bahasa Arab
Pada pertemuan kali ini, kita akan mengadakan latihan. Latihan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pilihan (multiple choise), percakapan (conversation) dan terjemah (translation). Khusus untuk conversation, bila Anda memiliki lawan bicara, maka sebaiknya salah satunya membaca pertanyaan yang ada, sementara yang lain menjawabnya. Bila Anda menemukan kesulitan dalam mengerjakan latihan ini, Anda dapat menghubungi saya melalui email. Bila Anda telah mengerjakan latihan ini, kemudian Anda ingin mengetahui apakah jawaban Anda benar atau tidak, Anda dapat mengirim hasil jawaban Anda ke email saya: fatkhurozi@gmail.com. Untuk mendownload file tadriibaat ini, klik judul tulisan
Sabtu, 13 Juni 2009
Akrablah Dengan Al-Qur`an (2)
Keprihatinan Yayasan Wakaf Al Qur’an akan masih kurangnya al Quran untuk memenuhi kebutuhan madrasah, masjid dan pondok pesantren nampaknya tidak sendirian, ternyata suatu Yayasan penyedia al Qur’an braille juga mengkhawatirkan kurangnya perhatian umat terhadap kebutuhan kira-kira 1,5 juta ikhwan muslim tuna netra yang tercatat di seantero Nusantara. Mereka memerlukan dan mendambakan hadirnya al Qur’an braille dalam kehidupan mereka dan dalam upaya mereka untuk memperdalam ilmu yang terkandung dalam al Qur’an. Semangat ikhwan tuna netra ini patut kita teladani. Dari sini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa amat besar perhatian berbagai kalangan terhadap al-Qur’an, dan hal itu tercermin dari upaya-upaya mulia mereka melalui badan-badan sosial seperti yayasan tersebut. Upaya-upaya itu berkontribusi dalam melestarikan keberadaan al Qur’an di masyarakat. Kecenderungan ini pastilah didasari oleh suatu alasan yang kuat bahwa al Qur’an dapat membentuk dan menjaga kepribadian seseorang menjadi insan yang berakhlakul kharimah. Semua perilaku manusia dengan berbagai perbedaan perangai itu dapat dibina melalui pengetahuannya yang tammah terhadap kandungan al Qur’an karena sejatinya semua aspek kehidupan yang dijalani manusia diatur dengan seksama di dalam al Qur’an.
Apabila kita takar kadar keimanan dan pengetahuan tentang tauhid maka akan terdapat korelasi antara pemahaman kandungan al Qur’an dengan perilaku seseorang di dalam masyarakat. Sekarang, marilah kita lihat peta pemahaman al Qur’an di masyarakat. Rasulullah saw telah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه
“Setiap anak yang dilahirkan, berada dalam keadaan suci (Islam), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud)
Mayoritas umat Islam terlahir sebagai muslim sejak lahir. Peranan orang tua atau keluarga sangat besar dalam membentuk ke-Islam-an seseorang. Dewasa ini hampir dapat dipastikan populasi umat muslim yang paham akan kandungan al Qur’an sangat sedikit yaitu berbanding lurus dengan akses yang terbatas dalam menempuh pendidikan. Amat boleh jadi semula berawal dari faktor kemiskinan. Kemiskinan hampir tidak menyisakan peluang untuk mengenyam pendidikan, lebih jauh lagi adalah pendidikan Islam. Nilai-nilai agama berupa tauhid dan keimanan yang melahirkan takwa kepada seseorang hanya didapat dari kegiatan ritual dasar seperti shalat dan puasa belaka. Kiranya kadar keimanan seperti itu tidak cukup untuk melawan godaan yang berlaku di masyarakat materialistis seperti yang dijumpai sekarang. Tayangan tv telah masuk ke ruang-ruang keluarga dan memamerkan gemerlapnya pesta-pesta musik, mobil mewah, rumah-rumah mewah yang dipertontonkan dalam sinetron membentuk pola pikir konsumerisme. Bagaimana apabila yang menonton adalah keluarga yang kurang berkecukupan? Apa yang dipertontonkan setiap hari amat mudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar yang mungkin dapat mendorong seseorang untuk untuk korupsi, merampok dan hal-hal negatif lainnya yang bisa dipikirkan manusia.
Kebobrokan perangai manusia berkembang misalnya dalam bentuk-bentuk pembunuhan yang disertai mutilasi, pembunuhan berantai, penganiyaan, dan lain sebagainya yang kita dijumpai sehari-hari dalam kehidupan yang konon beranjak modern ini. Belum terhitung aliran2 sesat yang diindoktrinasikan kepada umat yang kurang pengetahuan tentang Islam. Keadaan ini menjadi teramat kompleks apabila tidak segera ditangani dengan cara-cara Islami. Yang bisa menolong keadaan ini hanyalah adanya sarana bagi mereka terhadap pemahaman al Qur’an yang bisa membentengi iman terhadap goda’an dunia. Dan percayalah, selalu saja pasti keadaan ini dapat diatasi asal saja dilandasi dengan keimanan terhadap al Qur’an.
Al Qur’an mengatur seluruh perilaku dan tata kehidupan sosial manusia agar selalu berada lurus dalam hidayah-Nya antara lain seperti hal-hal berikut ini;
Mengenai Keimanan kepada Allah al Khaliq Surah al-Anbiya 21:30; mengenai Perkawinan Surah Al-Baqarah QS 2:221; mengenai Ilmu Pengetahuan Surah ar-Rahman 55:19-20; mengenai Adab Silaturahim Surah an-Nur QS 24:27; Surah al Hujurat QS 4-5; mengenai Utang Piutang Surah al Baqarah 2:282; mengenai Riba Surah al Baqarah 2:275; mengenai Makanan Surah al Maidah QS 5:3 dan juga Surah al An-am QS 6:145 dan mengenai semua aspek kehidupan manusia.
Sedikit gambaran tentang pergeseran penganut Islam. Dari sebuah millis diwartakan bahwa penganut Islam di Eropa dalam kurun waktu 1934-1984 berkembang naik menjadi 235%. Agama Nasrani sudah semakin tidak menarik di negeri-negeri maju, bahkan gereja yang dijual bisa jadi karena kurangnya pengunjung. Sebagian besar dari mereka bisa jadi beralih ke agama Islam. Kecenderungan pergeseran penganut Nasrani ke Islam juga bisa jadi disebabkan kemajuan cara berpikir dan pendidikan di negeri-negeri maju. Orang non-Islam yang berpendidikan tinggi yang secara serius, rendah hati dan tulus mencari kebenaran akhirnya menghadapi dilema dimana Kristen dan Katolik tidak bisa menjawab pencarian mereka.
Namun hal sebaliknya telah terjadi di Indonesia. Hasil riset Yayasan Al Atsar Al-Islam (Magelang) menunjukkan bahwa mulai tahun 1999-2000 Kristen dan Khatolik di Jateng telah meningkat dari 1-5 % diawal tahun 1990, kini naik drastis 20-25% dari total jumlah penduduk Indonesia. Laporan Riset Majelis Agama Waligereja Indonesia, mengatakan bahwa sejak tahun 1980-an setiap tahunnya laju pertumbuhan umat Khatolik: 4,6%, Protestan 4,5%, Hindu 3,3%, Budha 3,1% dan ISLAM HANYA 2,75%. Dan data Global Evangelization Movement mencatat pertumbuhan umat Kristen di Indonesia telah mencapai lebih 19 % dari total 210 jumlah penduduk Indonesia.
Beberapa kemungkinan penyebab berkembang pesatnya Nasrani di Indonesia masih menurut riset ini adalah hasil kerja keras para misionaris yang melakukan kegiatannya dengan dukungan dana yang besar serta bantuan internasional. Mereka tidak lagi mampu ‘menjual’ agama mereka di negerinya sendiri. Namun kemungkinan lain bisa jadi kemiskinan dan kebodohan membuat umat Islam mudah menjadi Kufur / Kafir, seperti disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits. Pemurtadan umumnya sukses terjadi di kantong-kantong penduduk miskin yang terdapat baik di pedesaan maupun di perkotaan. Ditempat-tempat seperti inilah maka tuntunan terhadap para dhuafa dan awam dalam agama Islam akan perlunya akrab dengan al Qur’an patut menjadi prioritas dalam upaya mensyi’arkan Islam, artinya mengantarkan umat Muslim menjadi umat yang rahmatan lil alamin. Bayangkan berapa banyak al qur’an perlu disiapkan? Kerja besar.
Dalam sebuah harian, Menteri Agama mengatakan ”Dewasa ini dirasakan jumlah ulama semakin berkurang padahal tantangan yang dihadapi umat kian meningkat. Saat ini Indonesia sedang mangalami krisis ulama.” (Republika, 04-04-09). Alhasil keadaan dekadensi moral telah dibarengi pula dengan krisis ulama. Maka semakin nyata perlunya pemahaman al Qur’an untuk lapisan masyarakat awam dalam bentuk program yang secara sistematis mampu mendekatkan al Qur’an kedalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan akan mampu menahan laju dekadensi moral yang terjadi di masyarakat
Menjadi riil bagi mereka yang kini memiliki akses kepada keberadaan al Qur’an di tangannya untuk menyegerakan diri akrab dengan al Qur’an dan mengikuti anjuran mensyi’arkan Islam sebagaimana hadits Rasulullah saw untuk menyampaikan kepada saudara muslimnya walaupun cuma satu ayat. Bisa dimulai dengan pemahaman dari diri kita sendiri dan kemudian mendakwahkan satu ayat maka alangkah indahnya persaudaraan muslim ini jadinya.
(Ditulis oleh: H. D. Hidajat al Bantaniy)
Apabila kita takar kadar keimanan dan pengetahuan tentang tauhid maka akan terdapat korelasi antara pemahaman kandungan al Qur’an dengan perilaku seseorang di dalam masyarakat. Sekarang, marilah kita lihat peta pemahaman al Qur’an di masyarakat. Rasulullah saw telah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه
“Setiap anak yang dilahirkan, berada dalam keadaan suci (Islam), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud)
Mayoritas umat Islam terlahir sebagai muslim sejak lahir. Peranan orang tua atau keluarga sangat besar dalam membentuk ke-Islam-an seseorang. Dewasa ini hampir dapat dipastikan populasi umat muslim yang paham akan kandungan al Qur’an sangat sedikit yaitu berbanding lurus dengan akses yang terbatas dalam menempuh pendidikan. Amat boleh jadi semula berawal dari faktor kemiskinan. Kemiskinan hampir tidak menyisakan peluang untuk mengenyam pendidikan, lebih jauh lagi adalah pendidikan Islam. Nilai-nilai agama berupa tauhid dan keimanan yang melahirkan takwa kepada seseorang hanya didapat dari kegiatan ritual dasar seperti shalat dan puasa belaka. Kiranya kadar keimanan seperti itu tidak cukup untuk melawan godaan yang berlaku di masyarakat materialistis seperti yang dijumpai sekarang. Tayangan tv telah masuk ke ruang-ruang keluarga dan memamerkan gemerlapnya pesta-pesta musik, mobil mewah, rumah-rumah mewah yang dipertontonkan dalam sinetron membentuk pola pikir konsumerisme. Bagaimana apabila yang menonton adalah keluarga yang kurang berkecukupan? Apa yang dipertontonkan setiap hari amat mudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar yang mungkin dapat mendorong seseorang untuk untuk korupsi, merampok dan hal-hal negatif lainnya yang bisa dipikirkan manusia.
Kebobrokan perangai manusia berkembang misalnya dalam bentuk-bentuk pembunuhan yang disertai mutilasi, pembunuhan berantai, penganiyaan, dan lain sebagainya yang kita dijumpai sehari-hari dalam kehidupan yang konon beranjak modern ini. Belum terhitung aliran2 sesat yang diindoktrinasikan kepada umat yang kurang pengetahuan tentang Islam. Keadaan ini menjadi teramat kompleks apabila tidak segera ditangani dengan cara-cara Islami. Yang bisa menolong keadaan ini hanyalah adanya sarana bagi mereka terhadap pemahaman al Qur’an yang bisa membentengi iman terhadap goda’an dunia. Dan percayalah, selalu saja pasti keadaan ini dapat diatasi asal saja dilandasi dengan keimanan terhadap al Qur’an.
Al Qur’an mengatur seluruh perilaku dan tata kehidupan sosial manusia agar selalu berada lurus dalam hidayah-Nya antara lain seperti hal-hal berikut ini;
Mengenai Keimanan kepada Allah al Khaliq Surah al-Anbiya 21:30; mengenai Perkawinan Surah Al-Baqarah QS 2:221; mengenai Ilmu Pengetahuan Surah ar-Rahman 55:19-20; mengenai Adab Silaturahim Surah an-Nur QS 24:27; Surah al Hujurat QS 4-5; mengenai Utang Piutang Surah al Baqarah 2:282; mengenai Riba Surah al Baqarah 2:275; mengenai Makanan Surah al Maidah QS 5:3 dan juga Surah al An-am QS 6:145 dan mengenai semua aspek kehidupan manusia.
Sedikit gambaran tentang pergeseran penganut Islam. Dari sebuah millis diwartakan bahwa penganut Islam di Eropa dalam kurun waktu 1934-1984 berkembang naik menjadi 235%. Agama Nasrani sudah semakin tidak menarik di negeri-negeri maju, bahkan gereja yang dijual bisa jadi karena kurangnya pengunjung. Sebagian besar dari mereka bisa jadi beralih ke agama Islam. Kecenderungan pergeseran penganut Nasrani ke Islam juga bisa jadi disebabkan kemajuan cara berpikir dan pendidikan di negeri-negeri maju. Orang non-Islam yang berpendidikan tinggi yang secara serius, rendah hati dan tulus mencari kebenaran akhirnya menghadapi dilema dimana Kristen dan Katolik tidak bisa menjawab pencarian mereka.
Namun hal sebaliknya telah terjadi di Indonesia. Hasil riset Yayasan Al Atsar Al-Islam (Magelang) menunjukkan bahwa mulai tahun 1999-2000 Kristen dan Khatolik di Jateng telah meningkat dari 1-5 % diawal tahun 1990, kini naik drastis 20-25% dari total jumlah penduduk Indonesia. Laporan Riset Majelis Agama Waligereja Indonesia, mengatakan bahwa sejak tahun 1980-an setiap tahunnya laju pertumbuhan umat Khatolik: 4,6%, Protestan 4,5%, Hindu 3,3%, Budha 3,1% dan ISLAM HANYA 2,75%. Dan data Global Evangelization Movement mencatat pertumbuhan umat Kristen di Indonesia telah mencapai lebih 19 % dari total 210 jumlah penduduk Indonesia.
Beberapa kemungkinan penyebab berkembang pesatnya Nasrani di Indonesia masih menurut riset ini adalah hasil kerja keras para misionaris yang melakukan kegiatannya dengan dukungan dana yang besar serta bantuan internasional. Mereka tidak lagi mampu ‘menjual’ agama mereka di negerinya sendiri. Namun kemungkinan lain bisa jadi kemiskinan dan kebodohan membuat umat Islam mudah menjadi Kufur / Kafir, seperti disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits. Pemurtadan umumnya sukses terjadi di kantong-kantong penduduk miskin yang terdapat baik di pedesaan maupun di perkotaan. Ditempat-tempat seperti inilah maka tuntunan terhadap para dhuafa dan awam dalam agama Islam akan perlunya akrab dengan al Qur’an patut menjadi prioritas dalam upaya mensyi’arkan Islam, artinya mengantarkan umat Muslim menjadi umat yang rahmatan lil alamin. Bayangkan berapa banyak al qur’an perlu disiapkan? Kerja besar.
Dalam sebuah harian, Menteri Agama mengatakan ”Dewasa ini dirasakan jumlah ulama semakin berkurang padahal tantangan yang dihadapi umat kian meningkat. Saat ini Indonesia sedang mangalami krisis ulama.” (Republika, 04-04-09). Alhasil keadaan dekadensi moral telah dibarengi pula dengan krisis ulama. Maka semakin nyata perlunya pemahaman al Qur’an untuk lapisan masyarakat awam dalam bentuk program yang secara sistematis mampu mendekatkan al Qur’an kedalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan akan mampu menahan laju dekadensi moral yang terjadi di masyarakat
Menjadi riil bagi mereka yang kini memiliki akses kepada keberadaan al Qur’an di tangannya untuk menyegerakan diri akrab dengan al Qur’an dan mengikuti anjuran mensyi’arkan Islam sebagaimana hadits Rasulullah saw untuk menyampaikan kepada saudara muslimnya walaupun cuma satu ayat. Bisa dimulai dengan pemahaman dari diri kita sendiri dan kemudian mendakwahkan satu ayat maka alangkah indahnya persaudaraan muslim ini jadinya.
(Ditulis oleh: H. D. Hidajat al Bantaniy)
Selasa, 09 Juni 2009
Ad-Dars Al-Khaamis (Pelajaran Kelima)
Pada bagian conversation kali ini, kita akan belajar cara menanyakan kepada seseorang apa yang dia inginkan, seperti mau minum apa?? Pada bagian grammer kita juga akan menggunakan kata “ingin” dalam bahasa Arab dengan berbagai perubahannya.
Untuk mendownload pelajaran kelima, klik judul tulisan
Untuk mendownload pelajaran kelima, klik judul tulisan
Langganan:
Postingan (Atom)