Mengambil Hak Anak Yatim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bagaimana keadaan Pak Ustadz dan keluarga? Semoga dalam keadaan sehat wal’afiat, amin.
Pak Ustadz, saya mau bertanya. Sudah dua tahun ayah saya meninggal dunia. Beliau meninggalkan warisan untuk saya, serta adik-adik dan ibu saya. Tapi setelah 6 bulan kepergian ayah, pihak keluarga ayah saya (yaitu orangtua dan adik ayah saya) berebut untuk menjual warisan itu. Sampai saat ini, tidak ada 1 sen pun yang tersisa untuk kami.
Saya hanya ingin menanyakan, apa betul mereka berdosa karena telah mengambil hak anak yatim, Pak Ustadz? Bila kami sekeluarga ikhlas, apa perbuatan mereka bisa diampuni ALLAH swt.. Terima kasih, Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D-....
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Alhamdulillah sampai saat ini, saya dan keluarga masih dikaruniai oleh ALLAH swt. dua nikmat besar yang tak ternilai harganya, yaitu nikmat hidup dan nikmat sehat. Mudah-mudahan kami bisa mensyukuri kedua nikmat tersebut dengan cara memanfaatkannya untuk melakukan hal-hal yang diridhai-Nya, dan semoga ukhti juga dalam keadaan yang sama, amin ya Robbal-‘alamiin....
Saudariku, berbicara mengenai harta warisan adalah berbicara mengenai hak, dimana masing-masing ahli waris harus mendapatkan haknya secara sempurna sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, tidak boleh dikurangi, apalagi ditiadakan sama sekali. Dalam hal ini, Anda dan adik-adik berhak mendapatkan warisan dalam kedudukannya sebagai anak, sesuai firman ALLAH swt.: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 11)
Sedangkan ibu Anda berhak mendapatkan warisan karena dia adalah isteri dari ayah Anda, sesuai firman ALLAH swt.: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 12)
Islam sangat menghormati dan menjaga hak. Bahkan, Islam menuntut setiap Muslim untuk memberikan setiap hak kepada orang yang berhak menerimanya. Nabi saw. bersabda: “dan berikanlah hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.”
Dalam masalah pembagian harta waris, upaya Islam untuk memberikan hak kepada pemiliknya dapat dilihat secara jelas dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan warisan. Setelah menyebutkan bagian untuk masing-masing ahli waris, ayat tersebut ditutup dengan statemen yang menegaskan bahwa aturan waris ini merupakan ketentuan ALLAH swt. yang tidak boleh dilanggar. Pada QS. An-Nisaa` (4): 11, digunakan redaksi: “ini adalah ketetapan ALLAH”. Pada ayat ke-12, digunakan redaksi: “Demikianlah ketentuan ALLAH”. Kemudian pada ayat ke-13, ALLAH swt. berfirman: “Itulah batas-batas (hukum) ALLAH. Barangsiapa taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.”
Saudariku, redaksi-redaksi seperti itu mengisyaratkan bahwa aturan waris yang disebutkan sebelumnya merupakan ketentuan ALLAH yang harus dipatuhi oleh setiap Muslim, sebagai sebuah kewajiban dari-Nya. Atau dapat difahami pula, hak-hak ahli waris yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat tersebut harus dipenuhi. Bila ada orang yang mengambil hak ahli waris dengan cara yang batil, maka sudah barang tentu dia dianggap telah melakukan kezhaliman yang akan mendatangkan dosa baginya. Apalagi, bila hak yang diambil adalah hak anak yatim yang belum bisa mengelola sendiri hartanya. ALLAH swt. berfirman: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa` [4]: 2)
Pada ayat lain, ALLAH swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisaa` [4]: 10)
Tapi ingat Saudariku, meskipun Anda berhak untuk menuntut, tetapi sikap memaafkan adalah lebih mulia di mata ALLAH swt., bahkan lebih mendekatkan Anda kepada ketakwaan, sesuai firman-Nya: “dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 237) Hal serupa juga ditegaskan dalam firman-Nya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 133-134)
Apalagi, ternyata orang yang mengambil hak Anda itu adalah orangtua dan adik ayah Anda, yang notabene masih termasuk orangtua Anda juga yang sudah seharusnya dimaafkan bila mereka melakukan kesalahan, maka sangatlah tepat bila Anda mau memaafkan mereka. Sebab, dosa seorang hamba yang disebabkan karena perbuatan menzhalimi orang lain, dapat dimaafkan ALLAH bila dia telah mendapatkan maaf dari orang yang dizhaliminya. Tentunya setelah dia juga bertaubat kepada ALLAH swt.. Setelah Anda memaafkan mereka, bantulah mereka dengan berdoa agar ALLAH benar-benar mengampuni mereka. Yakinlah bahwa ALLAH swt. adalah Maha Pengampun, dan yakinlah bahwa bila Anda bersikap ikhlas seperti itu, maka ALLAH akan membuka pintu-pintu rezeki-Nya untuk Anda. Wallaahu A’lam.....Fatkhurozi
Kamis, 27 Mei 2010
Kamis, 20 Mei 2010
Apakah Orang Seperti Saya Tidak Pantas Di Surga?
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Afwan Ustad, saya mau curhat. ustad, saya sedang merasa dizhalimi oleh salah seorang akhwat. Dia seorang yang faham ilmu agama, hafidz al-Qur'an, dan keturunan ulama besar di Jawa.
Kami pernah terlibat perselisihan dalam urusan dunia yang cukup rumit. Dulu, suami saya adalah calon suami wanita tersebut. Sampai sekarang, dia merasa sakit hati karena suami lebih memilih saya daripada dia. Alasan suami tidak memilih dia adalah karena pernah dihina oleh orangtuanya yang merasa mereka adalah keluarga ulama besar, sementara suami hanya dari keturunan ulama kampung. Keluarganya mengatakan bahwa mereka tidak mungkin jadi keluarga karena ada perbedaan strata sosial. Karena itulah, suami saya memilih untuk mundur dan meminang saya.
Ustadz, saya hanyalah wanita umum yang tidak faham agama dengan baik, bukan penghafal al-Qur'an dan bukan pula lulusan pesantren. Terus terang, saya sangat tersanjung karena suami telah memilih saya. Namun, masalah terus berlanjut. Wanita tersebut tidak terima karena suami saya telah meninggalkan dia. Dia selalu menyindir saya dan selalu mengganggu suami lewat sms dan telpon. Bahkan, dia pernah mengajak suami saya untuk bertemu di satu tempat tertentu tanpa sepengetahuan saya. Sebenarnya saya sakit hati terhadap wanita tersebut, tapi saya berusaha untuk tidak membencinya. Ironisnya lagi, dia malah menceritakan hal bohong kepada orang lain dan memfitnah saya.
Ustadz, apakah neraka itu hanya untuk orang-orang seperti saya yang bukan penghafal al-Qur'an? Apakah orang seperti saya tidak pantas di surga?
Apakah orang-orang seperti saya tidak boleh berdoa kebaikan dan kebahagiaan?
Tolong Ustadz, beri saya pencerahan. Terima kasih Ustadz.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
X-…….
Jawaban:
Wa'alaikumsalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada Anda dan suami yang belum lama melangsungkan pernikahan. Mudah-mudahan suami bisa menjadi pemimpin yg baik hingga kalian berdua pun dapat mewujudkan rumah tangga yg sakinah, penuh mawaddah dan rahmah, dan pada akhirnya kebahagiaan di dunia dan akhirat pun dapat terwujud, amin Ya Robbal-‘aalamiin.
Saudariku, apa yang Anda alami itu memang sering terjadi di kalangan masyarakat kita. Menurut saya, hal itu disebabkan karena kurangnya pemahaman yang baik tentang ajaran-ajaran al-Qur'an dan hadits serta kurangnya komitmen untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-sehari, mulai dari hal yang terkecil. Saya yakin bahwa wanita yang Anda ceritakan itu pasti mengetahui bahwa kemuliaan seseorang di mata ALLAH bukan diukur berdasarkan status sosial, ras, jabatan ataupun ilmu agamanya, tetapi diukur berdasarkan ketakwaannya. Sebanyak apapun ilmu agama yang dimiliki seseorang, tapi kalau tidak diamalkan, maka hal itu tidak akan menambah kemuliaannya di mata ALLAH. Hal itu justru malah menambah hina di mata-Nya. Tidak sedikit dalil yang menunjukkan hal itu, di antaranya:
1. Firman Allah swt.: “Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi ALLAH ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 13)
2. Hadits Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan rupa kalian, tapi yang Dia lihat adalah hati kalian.” (HR. Muslim) Pada riwayat lain disebutkan: “hati dan amal kalian.”
3. Hadits Nabi saw.: “Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya seberapa jauh ia amalkan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia belanjakan/nafkahkan, dan tentang badannya untuk apa ia rusakkan (manfaatkan).” (HR Tirmidzi) Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu akan dimintai pertanggungjawaban oleh ALLAH atas ilmunya, apakah diamalkan atau tidak. Dari sini, dapat difahami bahwa bila ilmu tersebut diamalkan, maka kemuliaannya di mata ALLAH akan bertambah. Tetapi bila tidak diamalkan, maka kemuliaannya justru akan berkurang.
Lalu, kenapa hal seperti itu bisa terjadi pada diri wanita tersebut, padahal dia adalah orang yang tahu agama, bahkan hafal al-Qur`an? Menurut saya, hal itu disebabkan karena kurangnya komitmen yang baik untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Karena itu, Anda tidak perlu cemas, stres, apalagi sampai putus asa terhadap rahmat ALLAH! Yakinlah bahwa kemuliaan seseorang di mata ALLAH diukur berdasarkan ketakwaannya, seperti yang ditegaskan ALLAH dalam surah al-Hujuraat tersebut. Jadi, kemuliaan seseorang bukan diukur berdasarkan banyak tidaknya ilmu agama yang dimiliki. Ketakwaan itu sendiri sangat ditentukan oleh komitmen seseorang untuk mengamalkan apa yang dia ketahui, bukan oleh banyaknya ilmu yang dia miliki.
Saudariku, ketahui pula bahwa surga itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, bukan orang-orang yang berilmu. ALLAH swt. berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 133-135)
Sekarang hadapi masalah Anda dengan hati dan pikiran yg jernih. Lakukan dua pendekatan: pendekatan horisontal, yaitu dengan membicarakan masalah ini dengan suami. Tentunya sebisa mungkin hindari emosi, karena emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Emosi justru akan menambah runyam masalah. Yang kedua adalah pendekatan vertikal, yaitu dengan cara berdoa kepada ALLAH swt.. Memohonlah kepada-Nya agar Anda diberi ketabahan dalam menyelesaikan masalah ini, semoga suami bisa menghadapi masalah ini secara dewasa, dan semoga wanita tadi diberi hidayah oleh ALLAH swt. Selamat mencoba! Wallaahu A’lam….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Afwan Ustad, saya mau curhat. ustad, saya sedang merasa dizhalimi oleh salah seorang akhwat. Dia seorang yang faham ilmu agama, hafidz al-Qur'an, dan keturunan ulama besar di Jawa.
Kami pernah terlibat perselisihan dalam urusan dunia yang cukup rumit. Dulu, suami saya adalah calon suami wanita tersebut. Sampai sekarang, dia merasa sakit hati karena suami lebih memilih saya daripada dia. Alasan suami tidak memilih dia adalah karena pernah dihina oleh orangtuanya yang merasa mereka adalah keluarga ulama besar, sementara suami hanya dari keturunan ulama kampung. Keluarganya mengatakan bahwa mereka tidak mungkin jadi keluarga karena ada perbedaan strata sosial. Karena itulah, suami saya memilih untuk mundur dan meminang saya.
Ustadz, saya hanyalah wanita umum yang tidak faham agama dengan baik, bukan penghafal al-Qur'an dan bukan pula lulusan pesantren. Terus terang, saya sangat tersanjung karena suami telah memilih saya. Namun, masalah terus berlanjut. Wanita tersebut tidak terima karena suami saya telah meninggalkan dia. Dia selalu menyindir saya dan selalu mengganggu suami lewat sms dan telpon. Bahkan, dia pernah mengajak suami saya untuk bertemu di satu tempat tertentu tanpa sepengetahuan saya. Sebenarnya saya sakit hati terhadap wanita tersebut, tapi saya berusaha untuk tidak membencinya. Ironisnya lagi, dia malah menceritakan hal bohong kepada orang lain dan memfitnah saya.
Ustadz, apakah neraka itu hanya untuk orang-orang seperti saya yang bukan penghafal al-Qur'an? Apakah orang seperti saya tidak pantas di surga?
Apakah orang-orang seperti saya tidak boleh berdoa kebaikan dan kebahagiaan?
Tolong Ustadz, beri saya pencerahan. Terima kasih Ustadz.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
X-…….
Jawaban:
Wa'alaikumsalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada Anda dan suami yang belum lama melangsungkan pernikahan. Mudah-mudahan suami bisa menjadi pemimpin yg baik hingga kalian berdua pun dapat mewujudkan rumah tangga yg sakinah, penuh mawaddah dan rahmah, dan pada akhirnya kebahagiaan di dunia dan akhirat pun dapat terwujud, amin Ya Robbal-‘aalamiin.
Saudariku, apa yang Anda alami itu memang sering terjadi di kalangan masyarakat kita. Menurut saya, hal itu disebabkan karena kurangnya pemahaman yang baik tentang ajaran-ajaran al-Qur'an dan hadits serta kurangnya komitmen untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-sehari, mulai dari hal yang terkecil. Saya yakin bahwa wanita yang Anda ceritakan itu pasti mengetahui bahwa kemuliaan seseorang di mata ALLAH bukan diukur berdasarkan status sosial, ras, jabatan ataupun ilmu agamanya, tetapi diukur berdasarkan ketakwaannya. Sebanyak apapun ilmu agama yang dimiliki seseorang, tapi kalau tidak diamalkan, maka hal itu tidak akan menambah kemuliaannya di mata ALLAH. Hal itu justru malah menambah hina di mata-Nya. Tidak sedikit dalil yang menunjukkan hal itu, di antaranya:
1. Firman Allah swt.: “Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi ALLAH ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 13)
2. Hadits Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan rupa kalian, tapi yang Dia lihat adalah hati kalian.” (HR. Muslim) Pada riwayat lain disebutkan: “hati dan amal kalian.”
3. Hadits Nabi saw.: “Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya seberapa jauh ia amalkan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia belanjakan/nafkahkan, dan tentang badannya untuk apa ia rusakkan (manfaatkan).” (HR Tirmidzi) Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu akan dimintai pertanggungjawaban oleh ALLAH atas ilmunya, apakah diamalkan atau tidak. Dari sini, dapat difahami bahwa bila ilmu tersebut diamalkan, maka kemuliaannya di mata ALLAH akan bertambah. Tetapi bila tidak diamalkan, maka kemuliaannya justru akan berkurang.
Lalu, kenapa hal seperti itu bisa terjadi pada diri wanita tersebut, padahal dia adalah orang yang tahu agama, bahkan hafal al-Qur`an? Menurut saya, hal itu disebabkan karena kurangnya komitmen yang baik untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Karena itu, Anda tidak perlu cemas, stres, apalagi sampai putus asa terhadap rahmat ALLAH! Yakinlah bahwa kemuliaan seseorang di mata ALLAH diukur berdasarkan ketakwaannya, seperti yang ditegaskan ALLAH dalam surah al-Hujuraat tersebut. Jadi, kemuliaan seseorang bukan diukur berdasarkan banyak tidaknya ilmu agama yang dimiliki. Ketakwaan itu sendiri sangat ditentukan oleh komitmen seseorang untuk mengamalkan apa yang dia ketahui, bukan oleh banyaknya ilmu yang dia miliki.
Saudariku, ketahui pula bahwa surga itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, bukan orang-orang yang berilmu. ALLAH swt. berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 133-135)
Sekarang hadapi masalah Anda dengan hati dan pikiran yg jernih. Lakukan dua pendekatan: pendekatan horisontal, yaitu dengan membicarakan masalah ini dengan suami. Tentunya sebisa mungkin hindari emosi, karena emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Emosi justru akan menambah runyam masalah. Yang kedua adalah pendekatan vertikal, yaitu dengan cara berdoa kepada ALLAH swt.. Memohonlah kepada-Nya agar Anda diberi ketabahan dalam menyelesaikan masalah ini, semoga suami bisa menghadapi masalah ini secara dewasa, dan semoga wanita tadi diberi hidayah oleh ALLAH swt. Selamat mencoba! Wallaahu A’lam….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Kamis, 13 Mei 2010
Bila Ayah Tiri Lepas Tanggung Jawab, Apa Dapat Warisan?
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau menanyakan sesuatu. Begini ceritanya, ibu saya sudah meninggal sekitar 3 bulan yang lalu. Sekarang ayah tiri saya mengutak-atik harta warisan yang ditinggalkan ibu saya. Bahkan, sebenarnya hal itu sudah dia lakukan sebelum ibu meninggal dunia.
Sebenarnya pokok permasalahan bukan terletak pada tata cara bagi waris (fara’idh) yang sudah disepakati oleh semua ahli waris. Tapi pokok permasalahan terletak pada kewajiban dan tanggung jawab ayah tiri saya selama ibu masih hidup. Sebagai contoh, sejak dia menikah dengan ibu saya, ternyata ibu saya-lah yang menafkahi keluarga hingga punya berbagai macam harta. Ayah tiri saya hanya enak-enakan saja dan tidak kerja sama sekali.
Waktu ibu sakit, dia juga tidak mengambil alih fungsinya sebagai seorang suami. Akhirnya, saya bawa ibu ke rumah saya dan saya urus beliau hingga beliau dipanggil ALLAH swt.. Tidak hanya itu, setiap kali diajak berembug soal biaya pengobatan ibu yang sedang sakit, dia selalu mengatakan “tidak tahu” dan “tidak punya uang”. Padahal, semua harta yang diperoleh ibu saya melalui usahanya sendiri, telah dikuasai oleh ayah tiri saya. Saat kami minta untuk menjualnya guna membiayai pengobatan ibu, dia selalu melarang. Bahkan karena kami telah menjual harta bawaan ibu yang sudah dihibahkan kepada kami (anak-anaknya), dia pun menggugat kami ke Pengadilan Agama.
Anehnya lagi, setiap kali saya mengadakan pengajian di rumah guna mendoakan kesembuhan ibu, dia malah melarangnya. Begitu juga, saat ada dokter teraphist yang datang untuk mengobati ibu saya, dia malah menyuruhnya pulang lagi. Seakan-akan dia menginginkan agar ibu saya cepat meninggal.
Yang ingin saya tanyakan, bagaimana saya harus menghadapi masalah ini? Saya merasa tidak ada keadilan dalam masalah ini. Sebab menurut saya, ayah tiri saya telah meninggalkan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai suami, tapi mengapa dia mengejar-ngejar haknya untuk mendapatkan warisan dari ibu saya? Harta bawaan yang sudah dihibahkan kepada kami pun ikut dituntutnya. Malahan sebagian warisan tersebut sudah dia jual untuk kepentingan pribadinya tanpa seizin empat orang ahli waris lainnya, termasuk dua anaknya alias adik-adik saya lain ayah yang sekarang semuanya ikut saya. Mereka ikut saya karena tidak tahan melihat tingkah laku ayahnya yang kurang biadab. Terima kasih atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E-.....
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya ibunda tercinta. Semoga seluruh amal baiknya semasa hidup diterima di sisi-Nya dan dosa-dosanya juga diampuni oleh-Nya.
Saudaraku yang terhormat, apa yang telah dilakukan oleh ayah tiri Anda memang tidak baik dan bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Namun, hal itu belum bisa dianggap sebagai faktor yang dapat menyebabkan dirinya terhalang dari haknya sebagai ahli waris dari isterinya sendiri (ibu Anda). Sebab, walaupun terkesan dia menginginkan kematian ibunda, namun secara hukum dia tidak terbukti melakukan tindakan pembunuhan terhadap ibunda.
Perlu diketahui bahwa, ada dua faktor yang dapat menyebabkan hilangnya hak seseorang sebagai ahli waris:
1. Orang kafir: Orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Muslim, demikian pula sebaliknya, walaupun keduanya memiliki hubungan darah atau hubungan pernikahan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Orang Muslim tidak dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang Muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pembunuh: Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuhnya, sesuai sabda Nabi saw.: “Pembunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuh sedikitpun.” (HR. Abu Daud)
Dalam kasus ayah tiri Anda, saya tidak melihat adanya salah satu dari kedua faktor tersebut. Karena itu, dia pun masih berhak untuk mendapatkan bagian dari harta waris, sesuai ketentuan syariah.
Adapun mengenai harta waris yang sudah diambil dan dijualnya, itu merupakan hak semua ahli waris. Selama harta itu belum dibagi secara sah sesuai ketentuan ilmu fara’idh, maka secara hukum harta itu masih milik bersama (semua ahli waris), sehingga ayah tiri Anda tidak berhak untuk menjualnya tanpa izin dari ahli waris yang lain. Bila hal itu dia lakukan, berarti dia telah menzhalimi orang lain. Dalam hal ini, dia dituntut untuk mengembalikan harta tersebut, atau -paling tidak- mengembalikan nilainya, atau bisa juga dikurangi dari bagiannya nanti.
Saudaraku yang terhormat, masalah sikap ayah tiri Anda yang terkesan melalaikan tanggung jawabnya sebagai suami dan terkesan menginginkan kematian ibunda, pasrahkan dan serahkan sepenuhnya kepada ALLAH swt.. Biarlah ALLAH yang memberi balasan yang setimpal untuknya. Yakinlah bahwa setiap keburukan, sekecil apapun, akan dibalas oleh-Nya. ALLAH swt. berfirman: “Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 8) Bahkan, bisa jadi balasan itu akan diberikan ALLAH di dunia, mungkin dalam bentuk kehidupannya yang sulit atau tidak berkah.
Jadi, Anda tidak perlu merasa risau dan bertanya-tanya mengapa dia tetap memperoleh bagian warisan. Sebab dalam masalah warisan ini, yang bisa diintervensi oleh hukum adalah bila seorang ahli waris beragama lain (kafir) atau terbukti melakukan pembunuhan terhadap si mayit. Bila kedua hal itu tidak ada, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum waris (fara’idh) seperti biasa. Sekarang ikuti saja ketentuan tersebut dan pasrahkan sepenuhnya kepada ALLAH bila dia memang benar-benar ingin menggugat Anda dalam kaitannya dengan harta bawaan yang sudah dihibahkan ibunda kepada Anda dan adik-adik.
Saudaraku, terkadang sikap buruk seseorang terhadap kita atau terhadap orang yang kita cintai memang seringkali membuat kita emosi atau merasa kesal, dan itu sangat manusiawi. Namun sebagai umat Nabi MUHAMMAD saw., kita dituntut untuk mengikuti tauladan yang beliau contohkan kepada kita, termasuk dalam menyikapi sikap tidak menyenangkan dari orang lain. Lihatlah bagaimana beliau selalu legowo dan selalu memaafkan kesalahan orang lain, bahkan terhadap orang yang jelas-jelas akan membunuh beliau. Itulah puncak ketinggian akhlak seorang manusia yang dipilih oleh ALLAH swt. sebagai panutan bagi seluruh manusia.
Jadi, berusahalah untuk ikhlas terhadap apa yang telah terjadi, syukur-syukur Anda bisa sampai pada tahap memaafkan kesalahan ayah tiri Anda. Yakinlah bahwa bila Anda ikhlas, maka ALLAH akan membukakan untuk Anda pintu-pintu rezeki dan pintu-pintu keberkahan-Nya. Ingat, rezeki ALLAH tidak hanya memiliki satu pintu saja, tetapi memiliki pintu-pintu yang sangat banyak. Jangan sampai kita berusaha mati-matian untuk membuka pintu yang satu itu saja, sementara pintu-pintu yang lain tertutup. Padahal, bisa jadi pintu-pintu lain itulah yang justru mengandung banyak keberkahan. Wallaahu A’lam.....Fatkhurozi
Pak Ustadz, saya mau menanyakan sesuatu. Begini ceritanya, ibu saya sudah meninggal sekitar 3 bulan yang lalu. Sekarang ayah tiri saya mengutak-atik harta warisan yang ditinggalkan ibu saya. Bahkan, sebenarnya hal itu sudah dia lakukan sebelum ibu meninggal dunia.
Sebenarnya pokok permasalahan bukan terletak pada tata cara bagi waris (fara’idh) yang sudah disepakati oleh semua ahli waris. Tapi pokok permasalahan terletak pada kewajiban dan tanggung jawab ayah tiri saya selama ibu masih hidup. Sebagai contoh, sejak dia menikah dengan ibu saya, ternyata ibu saya-lah yang menafkahi keluarga hingga punya berbagai macam harta. Ayah tiri saya hanya enak-enakan saja dan tidak kerja sama sekali.
Waktu ibu sakit, dia juga tidak mengambil alih fungsinya sebagai seorang suami. Akhirnya, saya bawa ibu ke rumah saya dan saya urus beliau hingga beliau dipanggil ALLAH swt.. Tidak hanya itu, setiap kali diajak berembug soal biaya pengobatan ibu yang sedang sakit, dia selalu mengatakan “tidak tahu” dan “tidak punya uang”. Padahal, semua harta yang diperoleh ibu saya melalui usahanya sendiri, telah dikuasai oleh ayah tiri saya. Saat kami minta untuk menjualnya guna membiayai pengobatan ibu, dia selalu melarang. Bahkan karena kami telah menjual harta bawaan ibu yang sudah dihibahkan kepada kami (anak-anaknya), dia pun menggugat kami ke Pengadilan Agama.
Anehnya lagi, setiap kali saya mengadakan pengajian di rumah guna mendoakan kesembuhan ibu, dia malah melarangnya. Begitu juga, saat ada dokter teraphist yang datang untuk mengobati ibu saya, dia malah menyuruhnya pulang lagi. Seakan-akan dia menginginkan agar ibu saya cepat meninggal.
Yang ingin saya tanyakan, bagaimana saya harus menghadapi masalah ini? Saya merasa tidak ada keadilan dalam masalah ini. Sebab menurut saya, ayah tiri saya telah meninggalkan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai suami, tapi mengapa dia mengejar-ngejar haknya untuk mendapatkan warisan dari ibu saya? Harta bawaan yang sudah dihibahkan kepada kami pun ikut dituntutnya. Malahan sebagian warisan tersebut sudah dia jual untuk kepentingan pribadinya tanpa seizin empat orang ahli waris lainnya, termasuk dua anaknya alias adik-adik saya lain ayah yang sekarang semuanya ikut saya. Mereka ikut saya karena tidak tahan melihat tingkah laku ayahnya yang kurang biadab. Terima kasih atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E-.....
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya ibunda tercinta. Semoga seluruh amal baiknya semasa hidup diterima di sisi-Nya dan dosa-dosanya juga diampuni oleh-Nya.
Saudaraku yang terhormat, apa yang telah dilakukan oleh ayah tiri Anda memang tidak baik dan bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Namun, hal itu belum bisa dianggap sebagai faktor yang dapat menyebabkan dirinya terhalang dari haknya sebagai ahli waris dari isterinya sendiri (ibu Anda). Sebab, walaupun terkesan dia menginginkan kematian ibunda, namun secara hukum dia tidak terbukti melakukan tindakan pembunuhan terhadap ibunda.
Perlu diketahui bahwa, ada dua faktor yang dapat menyebabkan hilangnya hak seseorang sebagai ahli waris:
1. Orang kafir: Orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Muslim, demikian pula sebaliknya, walaupun keduanya memiliki hubungan darah atau hubungan pernikahan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Orang Muslim tidak dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang Muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pembunuh: Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuhnya, sesuai sabda Nabi saw.: “Pembunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuh sedikitpun.” (HR. Abu Daud)
Dalam kasus ayah tiri Anda, saya tidak melihat adanya salah satu dari kedua faktor tersebut. Karena itu, dia pun masih berhak untuk mendapatkan bagian dari harta waris, sesuai ketentuan syariah.
Adapun mengenai harta waris yang sudah diambil dan dijualnya, itu merupakan hak semua ahli waris. Selama harta itu belum dibagi secara sah sesuai ketentuan ilmu fara’idh, maka secara hukum harta itu masih milik bersama (semua ahli waris), sehingga ayah tiri Anda tidak berhak untuk menjualnya tanpa izin dari ahli waris yang lain. Bila hal itu dia lakukan, berarti dia telah menzhalimi orang lain. Dalam hal ini, dia dituntut untuk mengembalikan harta tersebut, atau -paling tidak- mengembalikan nilainya, atau bisa juga dikurangi dari bagiannya nanti.
Saudaraku yang terhormat, masalah sikap ayah tiri Anda yang terkesan melalaikan tanggung jawabnya sebagai suami dan terkesan menginginkan kematian ibunda, pasrahkan dan serahkan sepenuhnya kepada ALLAH swt.. Biarlah ALLAH yang memberi balasan yang setimpal untuknya. Yakinlah bahwa setiap keburukan, sekecil apapun, akan dibalas oleh-Nya. ALLAH swt. berfirman: “Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 8) Bahkan, bisa jadi balasan itu akan diberikan ALLAH di dunia, mungkin dalam bentuk kehidupannya yang sulit atau tidak berkah.
Jadi, Anda tidak perlu merasa risau dan bertanya-tanya mengapa dia tetap memperoleh bagian warisan. Sebab dalam masalah warisan ini, yang bisa diintervensi oleh hukum adalah bila seorang ahli waris beragama lain (kafir) atau terbukti melakukan pembunuhan terhadap si mayit. Bila kedua hal itu tidak ada, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum waris (fara’idh) seperti biasa. Sekarang ikuti saja ketentuan tersebut dan pasrahkan sepenuhnya kepada ALLAH bila dia memang benar-benar ingin menggugat Anda dalam kaitannya dengan harta bawaan yang sudah dihibahkan ibunda kepada Anda dan adik-adik.
Saudaraku, terkadang sikap buruk seseorang terhadap kita atau terhadap orang yang kita cintai memang seringkali membuat kita emosi atau merasa kesal, dan itu sangat manusiawi. Namun sebagai umat Nabi MUHAMMAD saw., kita dituntut untuk mengikuti tauladan yang beliau contohkan kepada kita, termasuk dalam menyikapi sikap tidak menyenangkan dari orang lain. Lihatlah bagaimana beliau selalu legowo dan selalu memaafkan kesalahan orang lain, bahkan terhadap orang yang jelas-jelas akan membunuh beliau. Itulah puncak ketinggian akhlak seorang manusia yang dipilih oleh ALLAH swt. sebagai panutan bagi seluruh manusia.
Jadi, berusahalah untuk ikhlas terhadap apa yang telah terjadi, syukur-syukur Anda bisa sampai pada tahap memaafkan kesalahan ayah tiri Anda. Yakinlah bahwa bila Anda ikhlas, maka ALLAH akan membukakan untuk Anda pintu-pintu rezeki dan pintu-pintu keberkahan-Nya. Ingat, rezeki ALLAH tidak hanya memiliki satu pintu saja, tetapi memiliki pintu-pintu yang sangat banyak. Jangan sampai kita berusaha mati-matian untuk membuka pintu yang satu itu saja, sementara pintu-pintu yang lain tertutup. Padahal, bisa jadi pintu-pintu lain itulah yang justru mengandung banyak keberkahan. Wallaahu A’lam.....Fatkhurozi
Kamis, 06 Mei 2010
Masih Ada Hutang, Bagaimana Nasib Almarhum Ayah Kami?
Assalamualaikum Wr. Wb.
Apa kabar Ustadz? Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam lindungan Allah swt.. Ustadz, saya ingin memohon bantuan Ustadz untuk masalah yang sedang dihadapi keluarga kami yang sebenarnya sudah cukup lama terjadi namun hingga sekarang masih mengganjal di hati kami.
Sebenarnya saya agak bingung mau mulai dari mana. Begini Ustadz, almarhum ayah saya kira2 tahun 1995 (tidak terlalu yakin) menjual tanah milik beliau kepada 3 orang pembeli. Karena berdasarkan rencana tata kota, tanah tersebut akan dijadikan jalan by pass dan batas DMJ jalan (istilahnya konsilidiasi), maka masih ada kelebihan tanah. Sebenarnya ayah saya ingin menjual seluruh tanah tersebut, tapi salah satu pembeli (si O) yang membeli tanah di posisi pinggir jalan yang sebenarnya juga berminat membeli seluruhnya, tidak mau mengambil tanah tersebut, dengan alasan takut nanti tanah yang dibelinya akan banyak terpakai untuk rencana tata kota tersebut. Karena itulah dibuat perjanjian di atas segel antara ayah dan si O tersebut,
bahwa si O akan membeli sisa tanah tersebut setelah selesai masalah konsilidiasi rencana tata kota tersebut dengan harga yang sama saat si O membeli tanah yang telah dibeli sebelumnya yaitu dengan harga Rp. 40.000/m2, (perjanjian ini kami ketahui setelah ayah tiada). Padahal harga tanah saat konsilidasi selesai melonjak menjadi 10 kali lipat.
Kira-kira tahun 1997/1998, ayah saya sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit ibu kota provinsi tempat saya tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Karena tidak ingin terlalu merepotkan kami, anak2 beliau, tanpa sepengetahuan kami, ternyata ayah meminjam uang untuk tambahan biaya rumah sakit kepada si O yang
diantarkan beliau saat menjenguk ayah di rumah sakit. Pada saat itu si O menyerahkan kwitansi tanda terima uang sebesar
Rp. 2.000.000,- yang ditanda tangani oleh ayah saya sebagai tanda terima uang pinjaman. Waktu itu kami sekeluarga benar2
berlinangan air mata, karena tidak menyangka ayah akan berbuat seperti itu, dan kami benar2 tidak merasa enak kepada ayah.
April 1999, ayah kami berpulang ke Rahmatullah. Tentu sebagai ahli waris Alharmahum, kami pun berkewajiban untuk menyelesaikan
utang piutang Almarhum yang masih ada, termasuk masalah uang pinjaman ayah kepada si O. Pada saat kami mendatangi Si O untuk membayar utang ayah, si O tidak mau menerima uang itu dengan 2 alasan:
1. Si O ingin membeli sisa tanah yang ia beli dulu dengan utang Almarhum ayah dengan harga sama, yaitu Rp 40.000,
dengan alasan ayah kami dulu telah berjanji dan janji ayah adalah merupakan utang. Sebagai ahli waris kami merasa
keberatan, apalagi bagaimana si O menghargai tanah tersebut. Kami pun memutuskan untuk tidak akan menjual tanah tersebut.
2. Si O mengatakan bahwa uang yang dipinjamkan kepada ayah kami adalah merupakan hasil penjualan kalung emasnya, dan si O pun ingin kami menggantinya dengan emas sebanyak yang ia jual dulu. Hal ini tidak disebutkan dalam perjanjian sebelumnya, bahkan tidak dicantumkan dalam kwitansi. Tapi demi lunasnya utang ayah, kami bersedia membayarnya dengan emas. Pada saat itu kami pergi ke toko emas guna menanyakan: "Dengan uang 2 juta rupiah di tahun 1997, berapa gram emaskah
yang didapat pada saat itu?" Sesuai dengan informasi itulah, akhirnya kami membeli perhiasan emas dengan harga di tahun 1999
(harganya lebih dari 2 kali lipat).
Tapi walaupun telah kami belikan perhiasan emas, namun si O tetap tidak mau menerimanya. Dia tetap bersikeras ingin dikompensasikan ke sisa tanah warisan ayah kami dengan harga Rp 40.000 per meter, dan kurang lebihnya akan diperhitungkan kemudian. Yang ingin saya tanyakan:
1. Dengan tidak maunya kami menjual tanah tersebut, apakah berarti almarhum ayah kami masih terikat utang?
2. Dengan tidak bersedianya si O menerima piutangnya, bagaimanakah nasib ayah kami di mata Allah berkaitan dengan utang tersebut?
Ustadz, kami mohon bantuan bagaimana jalan keluar dari masalah kami ini, agar ayah kami tenang. Karena tepat bulan April tahun ini,
telah 11 tahun ayah pergi meninggalkan kami. Kami ingin Mendiang tenang di alam sana. Atas perhatian dan jawabannya, kami haturkan
ribuan terima kasih....
Wassalamualaikum Wr. Wb.
R-....
Jawaban:
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Ibu R yang saya hormati, setelah menganalisa masalah yang dialami keluarga Anda dan -tentunya- setelah memohon petunjuk ALLAH swt.,
akhirnya saya beranikan diri untuk menjawabnya. Di antara kewajiban seorang anak terhadap orangtuanya setelah orangtua meninggal dunia
adalah melaksanakan janji-janji yang belum dipenuhinya dan melunasi hutang-hutangnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu 'Usaid Malik bin Rabi'ah As-Sa'idi ra., bahwa Abu 'Usaid berkata: "Ketika kami sedang berada di dekat Rasulullah, tiba-tiba seorang lelaki dari Bani Salamah datang kepada beliau, lalu dia
berkata: 'Wahai Rasulullah, masih adakah (kewajiban) berbakti kepada kedua orangtuaku setelah keduanya meninggal dunia?'
Rasulullah saw. pun menjawab: 'Ya (masih ada), yaitu mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan
janji keduanya setelah keduanya meninggal dunia, membina silaturahim dengan saudara-saudaranya dan memuliakan sahabat keduanya."
(HR. Abu Daud)
Hadits ini jelas menegaskan bahwa upaya untuk melaksanakan janji-janji yang pernah diucapkan oleh orangtua semasa hidupnya
namun belum sempat dilaksanakannya hingga ajal menjemputnya, merupakan kewajiban anaknya, bahkan dikatagorikan sebagai
upaya untuk berbakti kepada orangtua setelah dia meninggal dunia. Termasuk ke dalam katagori melaksanakan janji orangtua tersebut
adalah melunasi hutang-hutangnya. Ini merupakan satu hal yang sangat penting karena menyangkut nasib orangtua di akhirat,
seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi berjudul: "Meninggal Tapi Masih Punya Hutang". Dalam konsultasi tersebut, saya menyebutkan beberapa hadits, antara lain:
1. Dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah disebutkan bahwa suatu ketika, ada jenazah seorang laki-laki yang dibawa ke hadapan
Rasulullah saw. untuk dishalatkan. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian saja yang menyalatkan sahabat kalian itu, sebab dia masih memiliki hutang.” Mendengar itu, Abu Qatadah berkata: “Hutang itu aku yang menanggungnya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya: “Apakah sampai lunas?” Abu Qatadah menjawab: “Ya, sampai lunas.” Rasulullah saw. pun menyalatkan jenazah tersebut.
2. Pada riwayat yang lain, Rasulullah saw. bersabda: “Jiwa (ruh) seorang Mukmin akan tergantung (terkatung-katung) selama
dia masih memiliki hutang.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Berdasarkan hadits-hadits ini, maka dalam prosesi pengurusan jenazah, biasanya pihak keluarga si mayyit mengatakan:
"Apabila ada masalah hutang piutang yang berkaitan dengan almarhum, maka mohon segera disampaikan kepada kami, pihak keluarga."
Hal ini dimaksudkan agar di mata ALLAH, si mayit bisa terbebas dari berbagai macam tanggungan, termasuk hutang piutang.
Bahkan bila tidak ada pihak keluarga yang siap menanggungnya, maka dianjurkan kepada siapapun yang memiliki kemampuan,
untuk menanggungnya. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Abu Qatadah.
Berdasarkan hal ini, maka ibu tidak perlu khawatir akan nasib ayahanda. Sebab, seperti yang ibu katakan tadi, ibu dan ahli waris
lainnya siap untuk menanggung semua hutang dan janji yang belum dilaksanakan oleh ayahanda. Dengan demikian, maka ayahanda
pun terbebas dari segala macam tanggungan duniawi (hutang piutang). Sekarang tinggal doakan saja ayahanda agar dosa-dosanya
diampuni ALLAH swt. dan amal kebajikannya diterima oleh-Nya, kemudian selesaikanlah semua tanggungan dan janji yang masih ada.
Namun, melihat apa yang pernah terjadi antara ayahanda dengan si O, ada beberapa hal penting yang ingin saya jelaskan agar
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Anda dan keluarga dalam menyelesaikan masalah hutang piutang dan janji ayahanda.
1. Masalah janji yang dilakukan antara ayahanda dengan si O mengenai jual beli tanah, dari segi hukum janji tersebut batal (tidak sah).
Setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor penyebab batalnya perjanjian tersebut:
Pertama: Perjanjian tersebut merupakan perjanjian jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi). Sebab, kedua belah pihak
(terutama pembeli) tidak tahu persis kondisi barang yang akan dibeli, baik menyangkut kuantitas ataupun nilai jualnya pasca terjadinya konsolidasi tersebut. Bisa jadi tanah itu lebih sedikit dari harapan sehingga dapat merugikan pihak pembeli, atau malah harganya yang melonjak tinggi seperti kenyataan yang terjadi sehingga dapat merugikan pihak penjual.
Apalagi dengan kondisi seperti itu, harga sudah ditetapkan terlebih dahulu, bukan disesuaikan dengan kondisi yang akan datang.
Jual beli seperti ini dilarang karena dapat merugikan salah satu pihak, padahal Islam sangat menjaga hak pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi (akad). Sebagai dalil mengenai diharamkannya jual beli yang mengandung unsur gharar ini, saya kutipkan sabda Nabi saw. sebagai berikut:
"Jangan kamu membeli ikan yang masih berada di dalam air, karena jual beli seperti itu adalah jual beli tipuan." (HR. Ahmad,
Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi). Jual beli ikan seperti ini dianggap mengandung gharar karena belum diketahui pasti sifat-sifat
ikan tersebut, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Kedua: Jual beli tersebut dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli: "Saya jual kereta ini bulan depan,
setelah gajian." Menurut jumhur (mayoritas) ulama, jual beli seperti ini batal karena mengandung unsur ketidakpastian.
Dari kedua alasan tersebut, maka meskipun telah terjadi perjanjian antara ayahanda dengan si O untuk menjual tanah tersebut pasca konsolidasi, menurut saya pribadi isi perjanjian itu sudah batal sejak awal sehingga tidak perlu dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan hadits lain yang menyatakan bahwa persyaratan yang ditetapkan (dalam suatu akad) akan batal bila bertentangan dengan ketentuan syariat. Nabi saw. bersabda:
“Seorang muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi, Daruquthni, Baihaqi dan Ibnu Majah)
2. Mengenai hutang yang akan dibayarkan kepada si O, menurut hukum Islam, apa yang dilakukan oleh si O sama sekali tidak
benar. Andaikata dia memang memberikan pinjaman uang itu setelah menjual emasnya, maka yang seharusnya diserahterimakan
kepada ayahanda adalah emas. Adapun permasalahan penjualan emas itu atas perintah ayahanda, tidak termasuk ke dalam akad tersebut. Dengan demikian, bila yang diserahkan emas, maka harus diganti dengan emas (atau nilainya dari emas tersebut). Tapi bila yang diserahkan uang,
maka harus diganti pula dengan uang. Kecuali, bila memang ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa pada saat itu si O tidak
memiliki uang, hanya emas. Kemudian hasil penjualan emas itulah yang diserahkan kepada ayahanda sebagai pinjaman untuknya.
Menanggapi sikap si O pada kedua masalah di atas, ada satu hal yang ingin kembali saya tekankan di sini, dengan tujuan agar dapat menjadi
pelajaran yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim. Yaitu, bahwa Islam memerintahkan kepada kita untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan ketika kita hendak melakukan penuntutan hak, termasuk dalam masalah hutang piutang. Artinya, kita harus memperhatikan kondisi orang yang akan kita tuntut dan juga harus memberikan keringanan, bukan malah mempersulitnya. Sebab, walau bagaimanapun, orang yang meminjam uang itu (bila Muslim), maka dia juga merupakan saudara kita. Allah swt. berfirman: “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: "Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".
Ini mengisyaratkan bahwa apabila kita masih diberi kelonggaran oleh ALLAH, maka kita dianjurkan untuk menyedekahkan piutang kita. Tetapi bila kita memang tidak memiliki kelonggaran seperti itu sehingga kita tidak bisa menyedekahkannya, maka setidaknya kita dituntut untuk memberikan keringanan, bukan mempersulit seperti yang dilakukan si O. Wallaahu a'lam....
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat, amin.
Apa kabar Ustadz? Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam lindungan Allah swt.. Ustadz, saya ingin memohon bantuan Ustadz untuk masalah yang sedang dihadapi keluarga kami yang sebenarnya sudah cukup lama terjadi namun hingga sekarang masih mengganjal di hati kami.
Sebenarnya saya agak bingung mau mulai dari mana. Begini Ustadz, almarhum ayah saya kira2 tahun 1995 (tidak terlalu yakin) menjual tanah milik beliau kepada 3 orang pembeli. Karena berdasarkan rencana tata kota, tanah tersebut akan dijadikan jalan by pass dan batas DMJ jalan (istilahnya konsilidiasi), maka masih ada kelebihan tanah. Sebenarnya ayah saya ingin menjual seluruh tanah tersebut, tapi salah satu pembeli (si O) yang membeli tanah di posisi pinggir jalan yang sebenarnya juga berminat membeli seluruhnya, tidak mau mengambil tanah tersebut, dengan alasan takut nanti tanah yang dibelinya akan banyak terpakai untuk rencana tata kota tersebut. Karena itulah dibuat perjanjian di atas segel antara ayah dan si O tersebut,
bahwa si O akan membeli sisa tanah tersebut setelah selesai masalah konsilidiasi rencana tata kota tersebut dengan harga yang sama saat si O membeli tanah yang telah dibeli sebelumnya yaitu dengan harga Rp. 40.000/m2, (perjanjian ini kami ketahui setelah ayah tiada). Padahal harga tanah saat konsilidasi selesai melonjak menjadi 10 kali lipat.
Kira-kira tahun 1997/1998, ayah saya sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit ibu kota provinsi tempat saya tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Karena tidak ingin terlalu merepotkan kami, anak2 beliau, tanpa sepengetahuan kami, ternyata ayah meminjam uang untuk tambahan biaya rumah sakit kepada si O yang
diantarkan beliau saat menjenguk ayah di rumah sakit. Pada saat itu si O menyerahkan kwitansi tanda terima uang sebesar
Rp. 2.000.000,- yang ditanda tangani oleh ayah saya sebagai tanda terima uang pinjaman. Waktu itu kami sekeluarga benar2
berlinangan air mata, karena tidak menyangka ayah akan berbuat seperti itu, dan kami benar2 tidak merasa enak kepada ayah.
April 1999, ayah kami berpulang ke Rahmatullah. Tentu sebagai ahli waris Alharmahum, kami pun berkewajiban untuk menyelesaikan
utang piutang Almarhum yang masih ada, termasuk masalah uang pinjaman ayah kepada si O. Pada saat kami mendatangi Si O untuk membayar utang ayah, si O tidak mau menerima uang itu dengan 2 alasan:
1. Si O ingin membeli sisa tanah yang ia beli dulu dengan utang Almarhum ayah dengan harga sama, yaitu Rp 40.000,
dengan alasan ayah kami dulu telah berjanji dan janji ayah adalah merupakan utang. Sebagai ahli waris kami merasa
keberatan, apalagi bagaimana si O menghargai tanah tersebut. Kami pun memutuskan untuk tidak akan menjual tanah tersebut.
2. Si O mengatakan bahwa uang yang dipinjamkan kepada ayah kami adalah merupakan hasil penjualan kalung emasnya, dan si O pun ingin kami menggantinya dengan emas sebanyak yang ia jual dulu. Hal ini tidak disebutkan dalam perjanjian sebelumnya, bahkan tidak dicantumkan dalam kwitansi. Tapi demi lunasnya utang ayah, kami bersedia membayarnya dengan emas. Pada saat itu kami pergi ke toko emas guna menanyakan: "Dengan uang 2 juta rupiah di tahun 1997, berapa gram emaskah
yang didapat pada saat itu?" Sesuai dengan informasi itulah, akhirnya kami membeli perhiasan emas dengan harga di tahun 1999
(harganya lebih dari 2 kali lipat).
Tapi walaupun telah kami belikan perhiasan emas, namun si O tetap tidak mau menerimanya. Dia tetap bersikeras ingin dikompensasikan ke sisa tanah warisan ayah kami dengan harga Rp 40.000 per meter, dan kurang lebihnya akan diperhitungkan kemudian. Yang ingin saya tanyakan:
1. Dengan tidak maunya kami menjual tanah tersebut, apakah berarti almarhum ayah kami masih terikat utang?
2. Dengan tidak bersedianya si O menerima piutangnya, bagaimanakah nasib ayah kami di mata Allah berkaitan dengan utang tersebut?
Ustadz, kami mohon bantuan bagaimana jalan keluar dari masalah kami ini, agar ayah kami tenang. Karena tepat bulan April tahun ini,
telah 11 tahun ayah pergi meninggalkan kami. Kami ingin Mendiang tenang di alam sana. Atas perhatian dan jawabannya, kami haturkan
ribuan terima kasih....
Wassalamualaikum Wr. Wb.
R-....
Jawaban:
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Ibu R yang saya hormati, setelah menganalisa masalah yang dialami keluarga Anda dan -tentunya- setelah memohon petunjuk ALLAH swt.,
akhirnya saya beranikan diri untuk menjawabnya. Di antara kewajiban seorang anak terhadap orangtuanya setelah orangtua meninggal dunia
adalah melaksanakan janji-janji yang belum dipenuhinya dan melunasi hutang-hutangnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu 'Usaid Malik bin Rabi'ah As-Sa'idi ra., bahwa Abu 'Usaid berkata: "Ketika kami sedang berada di dekat Rasulullah, tiba-tiba seorang lelaki dari Bani Salamah datang kepada beliau, lalu dia
berkata: 'Wahai Rasulullah, masih adakah (kewajiban) berbakti kepada kedua orangtuaku setelah keduanya meninggal dunia?'
Rasulullah saw. pun menjawab: 'Ya (masih ada), yaitu mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan
janji keduanya setelah keduanya meninggal dunia, membina silaturahim dengan saudara-saudaranya dan memuliakan sahabat keduanya."
(HR. Abu Daud)
Hadits ini jelas menegaskan bahwa upaya untuk melaksanakan janji-janji yang pernah diucapkan oleh orangtua semasa hidupnya
namun belum sempat dilaksanakannya hingga ajal menjemputnya, merupakan kewajiban anaknya, bahkan dikatagorikan sebagai
upaya untuk berbakti kepada orangtua setelah dia meninggal dunia. Termasuk ke dalam katagori melaksanakan janji orangtua tersebut
adalah melunasi hutang-hutangnya. Ini merupakan satu hal yang sangat penting karena menyangkut nasib orangtua di akhirat,
seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi berjudul: "Meninggal Tapi Masih Punya Hutang". Dalam konsultasi tersebut, saya menyebutkan beberapa hadits, antara lain:
1. Dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah disebutkan bahwa suatu ketika, ada jenazah seorang laki-laki yang dibawa ke hadapan
Rasulullah saw. untuk dishalatkan. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian saja yang menyalatkan sahabat kalian itu, sebab dia masih memiliki hutang.” Mendengar itu, Abu Qatadah berkata: “Hutang itu aku yang menanggungnya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya: “Apakah sampai lunas?” Abu Qatadah menjawab: “Ya, sampai lunas.” Rasulullah saw. pun menyalatkan jenazah tersebut.
2. Pada riwayat yang lain, Rasulullah saw. bersabda: “Jiwa (ruh) seorang Mukmin akan tergantung (terkatung-katung) selama
dia masih memiliki hutang.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Berdasarkan hadits-hadits ini, maka dalam prosesi pengurusan jenazah, biasanya pihak keluarga si mayyit mengatakan:
"Apabila ada masalah hutang piutang yang berkaitan dengan almarhum, maka mohon segera disampaikan kepada kami, pihak keluarga."
Hal ini dimaksudkan agar di mata ALLAH, si mayit bisa terbebas dari berbagai macam tanggungan, termasuk hutang piutang.
Bahkan bila tidak ada pihak keluarga yang siap menanggungnya, maka dianjurkan kepada siapapun yang memiliki kemampuan,
untuk menanggungnya. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Abu Qatadah.
Berdasarkan hal ini, maka ibu tidak perlu khawatir akan nasib ayahanda. Sebab, seperti yang ibu katakan tadi, ibu dan ahli waris
lainnya siap untuk menanggung semua hutang dan janji yang belum dilaksanakan oleh ayahanda. Dengan demikian, maka ayahanda
pun terbebas dari segala macam tanggungan duniawi (hutang piutang). Sekarang tinggal doakan saja ayahanda agar dosa-dosanya
diampuni ALLAH swt. dan amal kebajikannya diterima oleh-Nya, kemudian selesaikanlah semua tanggungan dan janji yang masih ada.
Namun, melihat apa yang pernah terjadi antara ayahanda dengan si O, ada beberapa hal penting yang ingin saya jelaskan agar
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Anda dan keluarga dalam menyelesaikan masalah hutang piutang dan janji ayahanda.
1. Masalah janji yang dilakukan antara ayahanda dengan si O mengenai jual beli tanah, dari segi hukum janji tersebut batal (tidak sah).
Setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor penyebab batalnya perjanjian tersebut:
Pertama: Perjanjian tersebut merupakan perjanjian jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi). Sebab, kedua belah pihak
(terutama pembeli) tidak tahu persis kondisi barang yang akan dibeli, baik menyangkut kuantitas ataupun nilai jualnya pasca terjadinya konsolidasi tersebut. Bisa jadi tanah itu lebih sedikit dari harapan sehingga dapat merugikan pihak pembeli, atau malah harganya yang melonjak tinggi seperti kenyataan yang terjadi sehingga dapat merugikan pihak penjual.
Apalagi dengan kondisi seperti itu, harga sudah ditetapkan terlebih dahulu, bukan disesuaikan dengan kondisi yang akan datang.
Jual beli seperti ini dilarang karena dapat merugikan salah satu pihak, padahal Islam sangat menjaga hak pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi (akad). Sebagai dalil mengenai diharamkannya jual beli yang mengandung unsur gharar ini, saya kutipkan sabda Nabi saw. sebagai berikut:
"Jangan kamu membeli ikan yang masih berada di dalam air, karena jual beli seperti itu adalah jual beli tipuan." (HR. Ahmad,
Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi). Jual beli ikan seperti ini dianggap mengandung gharar karena belum diketahui pasti sifat-sifat
ikan tersebut, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Kedua: Jual beli tersebut dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli: "Saya jual kereta ini bulan depan,
setelah gajian." Menurut jumhur (mayoritas) ulama, jual beli seperti ini batal karena mengandung unsur ketidakpastian.
Dari kedua alasan tersebut, maka meskipun telah terjadi perjanjian antara ayahanda dengan si O untuk menjual tanah tersebut pasca konsolidasi, menurut saya pribadi isi perjanjian itu sudah batal sejak awal sehingga tidak perlu dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan hadits lain yang menyatakan bahwa persyaratan yang ditetapkan (dalam suatu akad) akan batal bila bertentangan dengan ketentuan syariat. Nabi saw. bersabda:
“Seorang muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi, Daruquthni, Baihaqi dan Ibnu Majah)
2. Mengenai hutang yang akan dibayarkan kepada si O, menurut hukum Islam, apa yang dilakukan oleh si O sama sekali tidak
benar. Andaikata dia memang memberikan pinjaman uang itu setelah menjual emasnya, maka yang seharusnya diserahterimakan
kepada ayahanda adalah emas. Adapun permasalahan penjualan emas itu atas perintah ayahanda, tidak termasuk ke dalam akad tersebut. Dengan demikian, bila yang diserahkan emas, maka harus diganti dengan emas (atau nilainya dari emas tersebut). Tapi bila yang diserahkan uang,
maka harus diganti pula dengan uang. Kecuali, bila memang ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa pada saat itu si O tidak
memiliki uang, hanya emas. Kemudian hasil penjualan emas itulah yang diserahkan kepada ayahanda sebagai pinjaman untuknya.
Menanggapi sikap si O pada kedua masalah di atas, ada satu hal yang ingin kembali saya tekankan di sini, dengan tujuan agar dapat menjadi
pelajaran yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim. Yaitu, bahwa Islam memerintahkan kepada kita untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan ketika kita hendak melakukan penuntutan hak, termasuk dalam masalah hutang piutang. Artinya, kita harus memperhatikan kondisi orang yang akan kita tuntut dan juga harus memberikan keringanan, bukan malah mempersulitnya. Sebab, walau bagaimanapun, orang yang meminjam uang itu (bila Muslim), maka dia juga merupakan saudara kita. Allah swt. berfirman: “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: "Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".
Ini mengisyaratkan bahwa apabila kita masih diberi kelonggaran oleh ALLAH, maka kita dianjurkan untuk menyedekahkan piutang kita. Tetapi bila kita memang tidak memiliki kelonggaran seperti itu sehingga kita tidak bisa menyedekahkannya, maka setidaknya kita dituntut untuk memberikan keringanan, bukan mempersulit seperti yang dilakukan si O. Wallaahu a'lam....
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat, amin.
Langganan:
Postingan (Atom)