Kamis, 25 Maret 2010

Hukum Bisnis Tarik Tunai

Hukum Bisnis Tarik Tunai
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, ada hal yang ingin saya tanyakan mengenai bisnis tarik tunai melalui mesin EDC atau yang lebih kita kenal dengan nama mesin gesek kartu kredit. Jika kita mempunyai kartu kredit yang diterbitkan oleh salah satu bank lokal atau internasional, lalu saat kita membutuhkan dana untuk suatu keperluan, maka kita akan memakai kartu kredit tersebut untuk tarik tunai dengan tujuan untuk mendapatkan uang tunai.
Di sini, kartu kredit tersebut tidak dipakai untuk membeli barang, tapi untuk tarik tunai dengan tujuan untuk mendapatkan uang tunai. Seandainya saya membuka usaha ini dengan ilustrasi sebagai berikut: Saya mendapatkan mesin EDC (merchant) atau mesin gesek kartu kredit dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan salah satu bank, dengan dikenai potongan sebesar 2,5%. Jika seseorang bertransaksi sebesar Rp. 1.000.000,- menggunakan kartu kredit, maka dana yang akan dikembalikan bank kepada saya sebesar Rp. 975.000,- Dalam jangka waktu 3 hari sebelum bank mengembalikan dana tersebut, saya terlebih dahulu memberikan uang tunai kepada si pemilik kartu kredit. Jika si pemilik kartu kredit tersebut bertransaksi sebesar Rp. 1.000.000,-, maka uang tunai yang diberikan kepadanya sebesar Rp. 975.000,-. Jadi, pemilik kartu kredit tersebut mempunyai hutang sebesar Rp. 1.000.000,- kepada Bank penerbit kartu kredit, sementara keuntungan yang saya peroleh Rp. 5.000,-
Yang ingin saya tanyakan, apakah keuntungan yang saya peroleh itu termasuk kategori riba? Sebab, di zaman modern dengan tekhnologi serba canggih seperti ini, banyak kesempatan yang bisa diraih. Tapi saya takut melanggap apa yang telah Allah haramkan kepada kita semua. Mohon petunjuk dari Pak Ustadz. Terima kasih….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
P - …..

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, di zaman yang serba canggih ini, memang banyak peluang atau kesempatan yang bisa kita raih. Namun sebagai Muslim, kita dituntut untuk tetap berhati-hati agar tidak ada uang haram yang masuk ke dalam tubuh kita dan juga keluarga kita. Setidaknya, pertanyaan yang Anda lontarkan di atas mencerminkan adanya kehati-hatian seperti itu dalam diri Anda. Sungguh tidak sedikit orang yang sudah tidak care lagi alias masa bodoh terhadap masalah tersebut. Mereka tidak lagi memikirkan halal atau haram. Bagi mereka yang terpenting adalah: asal perut kenyang, asal anak isteri girang, atau asal babeh senang. Na’uudzu billaah min dzaalik…
Saudaraku, sebenarnya transaksi yang Anda tanyakan di atas terdiri dari 3 macam transaksi, yaitu:
1. Transaksi antara pihak bank yang mengeluarkan kartu kredit dengan pihak pemilik merchant. Transaksi ini menggunakan sistem jaminan atau penjaminan. Artinya, bank menjamin akan membayar uang yang dibayarkan oleh pihak pemilik merchant kepada pemegang kartu kredit.
2. Transaksi antara pihak pemilik merchant dengan pemegang kartu kredit. Transaksi ini menggunakan sistem ijarah (jasa/sewa). Artinya, pihak pemilik merchant berfungsi sebagai mediator pencairan uang, yang akan mendapat upah atas jasa yang telah diberikan.
3. Transaksi antara pihak bank dengan pemegang kartu. Transaksi ini menggunakan sistem jaminan, penjaminan dan peminjaman. Pihak pemegang kartu berhutang kepada bank dan harus melunasinya pada waktu yang telah ditentukan dan sesuai ketentuan yang ditetapkan pihak bank.
Yang menjadi inti permasalahan ini adalah hukum transaksi pertama dan kedua, karena kedua transaksi tersebut berkaitan langsung dengan pihak pemilik merchant, berbeda dengan transaksi ketiga yang hanya terjadi antara pihak bank dengan pemegang kartu kredit. Di sini, kami tidak akan mengulas kembali pembahasan mengenai hukum transaksi ketiga. Anda bisa melihat kembali pembahasan tersebut pada artikel berjudul “Hukum Bunga Bank”, “Hukum Meminjam Modal Ke Bank Konvensional” dan “Hukum Rentenir”.
Transaksi antara pemilik merchant dengan pemegang kartu kredit menggunakan sistem ijarah (jasa/sewa), sebuah transaksi yang pada prinsipnya dibolehkan selama memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan syariat Islam. Hanya saja dalam bisnis tarik tunai ini, transaksi berbasis ijarah tersebut dikaitkan dengan transaksi lain yang –menurut sebagian ulama- mengandung unsur riba. Seandainya tidak dikaitkan dengan transaksi yang mengandung unsur riba tersebut, maka kemungkinan besar para ulama sepakat untuk membolehkan bisnis tarik tunai ini. Namun, karena ada kaitannya dengan transaksi lain, yaitu transaksi ketiga yang mengandung riba, maka para ulama berbeda pendapat:
1. Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat bahwa pengambilan kelebihan uang yang dianggap sebagai uang administrasi dalam bisnis tersebut dibolehkan, karena pada prinsipnya bisnis ini menggunakan akad ijarah (jasa/sewa). Uang administrasi inilah yang akan digunakan untuk menutup biaya operasional. Pendapat inilah yang diambil oleh Lembaga Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania.
2. Sebagian ulama yang lain mengharamkannya karena proses penarikan uang tersebut bersifat hutang atau peminjaman yang diberikan kepada pihak pemegang kartu. Maka, uang yang dihasilkan dari transaksi tersebut dan merupakan kelebihan atas pokok pinjaman itu pun dianggap sebagai riba. Pendapat inilah yang diambil oleh Bank Ar-Rajhi.
Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat kedua, apalagi meskipun terdiri dari 3 macam transaksi, tetapi pada hakekatnya bisnis tarik tunai ini merupakan satu kesatuan proses transaksi. Karena salah satu bagiannya mengandung unsur riba, maka yang lain pun ikut terkena dampaknya. Wallaahu A’lam….

1 komentar:

  1. saya kurang paham ustad tentang Gestun ini, yang pasti apapun bentuknya kita selalu hati-hati dengan tipu daya dunia. islam diserang dalam segala sisi, sehingga nilai-nilai islam tidak lagi dipakai bersyukur kepada akhi yang bertanya semoga keluarga kita semua terjauh dari finah dunia... amin

    BalasHapus

Terima kasih atas komentar Anda