Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya ingin bertanya serta minta nasehat dan saran tetang apa yang harus saya lakukan. Begini ceritanya, salah satu keluarga saya ada yang mengalami kemasukan jin. Pada awal kemasukan, dia meminta kami semua mendoakan agar dia bisa kembali, karena katanya dia akan dibawa ke ‘arsy. Saya tidak mengerti apakah yang dia maksud itu adalah ‘arsy dalam al-Qur`an yang artinya singgasana ALLAH. Di sini saya sudah yakin, dia pasti kemasukan jin. Sebab sepengetahuan saya, tidak ada satupun makhluk yang bisa sampai ke sana.
Setelah kami semua berdoa, menurutnya dia pun turun dengan dibawa oleh dua malaikat. Setelah dia sadar (menurut versi orang-orang yang ada di sekitarnya kecuali saya), dia mengatakan bahwa dirinya melihat Malaikat Jibril. Anehnya lagi, jika ada orang yang membantahnya, dia malah mengaku dirinya sebagai Malaikat Malik. Dia juga merasa dirinya sebagai roh suci yang dikembalikan ke dunia. Setiap hari, kerjaannya selalu menasehati orang-orang yang ada di sekitarnya (baca: keluarga) setelah melakukan pengobatan, dengan mengatakan si A diguna-gunai oleh si B.
Ada salah satu saudaranya yang sudah termakan oleh perkataannya, yang mengatakan bahwa setelah selesai shalat tahajjud, dia mendapat ilham/petunjuk dari ALLAH. Tapi anehnya, petunjuknya itu selalu mengarah kepada fitnah dan adu domba. Karena itulah, saya sangat mengharapkan saran dan masukan dari Pak Ustadz mengenai hal itu.
Satu lagi, Pak Ustadz. Di sini, posisi saya adalah sebagai anak dari orang yang mengaku mendapat ilham setelah shalat tahajjud itu. Ketika saya membantah dengan mengatakan bahwa itu adalah kerjaan syetan, dia malah menganggap saya kesurupan. Saya sangat bingung, apakah saya dianggap sebagai anak yang durhaka bila saya membantahnya? Terima kasih, Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari X yang saya hormati, apa yang terjadi pada diri orang yang Anda ceritakan tersebut bukanlah hal baru. Tidak sedikit orang yang mengaku dirinya sebagai nabi ataupun malaikat, dan hal itu bisa disebabkan karena sejumlah faktor, diantaranya adalah ritual yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Ritual seperti itu sangat membuka peluang bagi syetan untuk masuk ke dalam diri seseorang, yang tujuannya tidak lain adalah untuk menjerumuskannya ke jalan yang sesat.
Dalam kasus di atas, saya pribadi sangat yakin bahwa apa yang dialami oleh orang tersebut juga merupakan perbuatan syetan. Apalagi seperti yang Anda katakan, nasehat yang dia berikan selalu mengarah kepada fitnah dan adu domba. ALLAH swt. telah menjelaskan hal itu dalam beberapa ayat, diantaranya:
“Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al-Maidah: 91)
“Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syetan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al Baqarah: 168)
“Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir)." (QS. al-Baqarah: 268)
Semua itu dilakukan syetan guna menjerumuskan manusia ke dalam neraka, sebagai wujud balas dendamnya kepada Adam yang menyebabkan dirinya diusir dari surga, seperti disebutkan dalam firman ALLAH: “Iblis berkata : ‘Karena Engkau telah memvonis aku sesat, pasti aku akan halangi mereka (yakni manusia ) dari jalan-Mu yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari sebelah kanan dan dari sebelah kirinya, lalu Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka orang-orang yang bersyukur.’” ( Qs. al-A’raf : 16 )
Dalam menjalankan misinya itu, syetan menggunakan berbagai macam cara. Bahkan, terkadang dengan menggunakan cara yang terkesan baik dalam pandangan manusia seperti dalam bentuk nasehat, atau melalui metode pengobatan yang gampang sekali untuk mempengaruhi orang. Karena itu, sebagai Muslim kita dituntut untuk selalu waspada terhadap tipu daya syetan.
Mengenai pertanyaan terakhir Anda, yakinlah bahwa penolakan Anda itu tidak dianggap sebagai sikap durhaka, karena kita tidak dibenarkan untuk menuruti kemauan orangtua yang mengandung kemaksiatan kepada ALLAH (termasuk kemusyrikan). “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut: 8)
Dari ayat ini, dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’ Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.
Namun perlu diingat, andaikata seorang anak terpaksa harus menolak perintah orangtuanya karena perintah tersebut bertentangan dengan aturan Allah (yang bersifat wajib atau haram), maka penolakan itu harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa`: 23) Selain itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik, meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Sabtu, 22 Januari 2011
Senin, 10 Januari 2011
Nazdar Haji
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya mau tanya tentang harta almarhum bapak saya. Beliau pernah menginginkan bila sawahnya terjual akan digunakan untuk berangkat haji. Namun sebelum sawah itu terjual, beliau keburu meninggal dunia. Alhamdulillah, sekarang sawah itu telah terjual. Mamah menginginkan agar harta itu digunakan untuk menghajikan almarhum bapak, diwakili oleh anaknya. Sementara uwak tidak setuju. Dia menginginkan harta itu dibagikan saja.
Sebaiknya bagaimana yah, Pak Ustadz? Mohon arahannya karena masalah ini menjadi masalah yang cukup serius bagi keluarga kami. Perlu diketahui, anak bapak semuanya berjumlah 9 orang, dan semuanya perempuan. Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
T-….
Jawaban:
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Saudari T yang saya hormati, keinginan ayah Anda untuk berangkat haji bila sawahnya terjual disebut dengan nadzar mu’allaq, yaitu suatu nadzar yang pelaksanaannya dikaitkan dengan sesuatu. Contoh nadzar mu’allaq adalah seperti dengan mengatakan: “Jika sawah saya laku, maka saya akan pergi haji”, atau “Jika saya sembuh, maka saya akan mensedekahkan separoh harta saya untuk fakir miskin.”
Hukum nadzar seperti ini wajib untuk dilaksanakan bila apa yang diinginkan itu benar-benar terwujud, tetapi dengan catatan nadzar tersebut tidak berkaitan dengan kemaksiatan kepada ALLAH swt.. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, hendaknya ia menaati-Nya, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah ia perturutkan untuk bermaksiat kepada-Nya.” (HR. Bukhari Muslim)
Bila seseorang bernadzar tetapi dia keburu meninggal dunia sebelum melaksanakan nadzarnya, maka ahli warisnya-lah yang berkewajiban untuk melaksanakan nadzar tersebut. Bila nadzar itu berkaitan dengan harta seperti nadzar untuk bersedekah, maka pelaksanaannya diambilkan dari harta yang ditinggalkan si mayyit. Sedangkan bila berkaitan dengan pelaksanaan satu ibadah seperti haji atau puasa, maka keluarganya-lah yang harus melaksanakan. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang menemui Nabi saw.. Dia bertanya: ”Sesungguhnya ibuku nadzar untuk haji, namun nadzar itu belum terlaksana sampai beliau meninggal dunia, apakah saya harus melakukan haji untuknya?" Nabi saw. pun menjawab, "Ya, bagaimana pendapatmu bila ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar." (HR. Bukhari)
Dalam kasus yang Anda tanyakan, pelaksanaan ibadah haji itu dilakukan dengan menggunakan biaya yang diambilkan dari harta waris ayahanda. Karena pelaksanaan nadzar itu dianggap sebagai hutang (kepada ALLAH), maka pelaksanaannya harus didahulukan sebelum pembagian harta waris, sesuai firman ALLAH swt. : “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisaa [4]: 12) Bila masih ada sisa, baru boleh dibagikan kepada ahli waris. Wallaahu A’lam…. Fatkhurozi
Ustadz, saya mau tanya tentang harta almarhum bapak saya. Beliau pernah menginginkan bila sawahnya terjual akan digunakan untuk berangkat haji. Namun sebelum sawah itu terjual, beliau keburu meninggal dunia. Alhamdulillah, sekarang sawah itu telah terjual. Mamah menginginkan agar harta itu digunakan untuk menghajikan almarhum bapak, diwakili oleh anaknya. Sementara uwak tidak setuju. Dia menginginkan harta itu dibagikan saja.
Sebaiknya bagaimana yah, Pak Ustadz? Mohon arahannya karena masalah ini menjadi masalah yang cukup serius bagi keluarga kami. Perlu diketahui, anak bapak semuanya berjumlah 9 orang, dan semuanya perempuan. Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
T-….
Jawaban:
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Saudari T yang saya hormati, keinginan ayah Anda untuk berangkat haji bila sawahnya terjual disebut dengan nadzar mu’allaq, yaitu suatu nadzar yang pelaksanaannya dikaitkan dengan sesuatu. Contoh nadzar mu’allaq adalah seperti dengan mengatakan: “Jika sawah saya laku, maka saya akan pergi haji”, atau “Jika saya sembuh, maka saya akan mensedekahkan separoh harta saya untuk fakir miskin.”
Hukum nadzar seperti ini wajib untuk dilaksanakan bila apa yang diinginkan itu benar-benar terwujud, tetapi dengan catatan nadzar tersebut tidak berkaitan dengan kemaksiatan kepada ALLAH swt.. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, hendaknya ia menaati-Nya, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah ia perturutkan untuk bermaksiat kepada-Nya.” (HR. Bukhari Muslim)
Bila seseorang bernadzar tetapi dia keburu meninggal dunia sebelum melaksanakan nadzarnya, maka ahli warisnya-lah yang berkewajiban untuk melaksanakan nadzar tersebut. Bila nadzar itu berkaitan dengan harta seperti nadzar untuk bersedekah, maka pelaksanaannya diambilkan dari harta yang ditinggalkan si mayyit. Sedangkan bila berkaitan dengan pelaksanaan satu ibadah seperti haji atau puasa, maka keluarganya-lah yang harus melaksanakan. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang menemui Nabi saw.. Dia bertanya: ”Sesungguhnya ibuku nadzar untuk haji, namun nadzar itu belum terlaksana sampai beliau meninggal dunia, apakah saya harus melakukan haji untuknya?" Nabi saw. pun menjawab, "Ya, bagaimana pendapatmu bila ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar." (HR. Bukhari)
Dalam kasus yang Anda tanyakan, pelaksanaan ibadah haji itu dilakukan dengan menggunakan biaya yang diambilkan dari harta waris ayahanda. Karena pelaksanaan nadzar itu dianggap sebagai hutang (kepada ALLAH), maka pelaksanaannya harus didahulukan sebelum pembagian harta waris, sesuai firman ALLAH swt. : “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisaa [4]: 12) Bila masih ada sisa, baru boleh dibagikan kepada ahli waris. Wallaahu A’lam…. Fatkhurozi
Langganan:
Postingan (Atom)