Assalamualaikum Wr. Wb.
Maaf Pak Ustadz, saya ingin berkonsultasi tentang keluarga saya. Mudah-mudahan Pak Ustadz bisa membantu saya, amin. Saya adalah anak sulung yang mempunyai 2 orang adik laki-laki. Adik pertama saya sekarang berusia 30 tahun. Sejak kecil, dia memang lebih nakal. Tapi biasa nakalnya anak kecil, hanya sebatas sulit dinasehati, suka membangkang dan di sekolah pun selalu ranking terakhir. Hal ini membuat orang tua saya, terutama bapak, sering memarahinya dan bersikap kasar kepadanya. Bapak saya juga termasuk orang yang tidak bisa menahan emosi. Jika marah kepada anak-anaknya, dia sering berbuat kasar kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
Karena adik saya yang pertama sering membantah, maka dialah yang paling sering dimarahi. Bahkan, meski adik saya telah menikah, bapak saya sering berselisih paham dengannya hingga berujung pada pertengkaran. Saya sering menasehati bapak agar beliau lebih dapat mengendalikan emosinya, apalagi adik-adik saya sudah dewasa sehingga tidak semestinya mereka masih sering dimarahi dan disalahkan.
Sebenarnya adik saya yang pertama termasuk anak yang baik. Namun karena sejak kecil kurang pintar, dia pun sering berbuat kesalahan, dan terkadang hal itu tidak ditolerir oleh bapak saya. Akhirnya, adik saya pun tumbuh menjadi pribadi yang tertutup dan mudah tersinggung. Kebetulan adik saya tersebut tinggal bersama orang tua di kampung, sementara saya dan adik kedua tinggal di Ciputat, bersama suami saya.
Pertengkaran antara adik pertama dan bapak masih sering terjadi, meskipun pada akhirnya mereka bisa saling memaafkan. Tapi dua bulan yang lalu, adik saya bertengkar lagi dengan bapak. Dia tersinggung dengan kata-kata bapak yang –katanya- cukup menyakitkan hatinya. Adik saya pun marah, sampai-sampai dia mengata-ngatai bapaknya dengan kata "monyet" (maaf). Mendengar itu, bapak saya pun berkata kepadanya: "Kamu durhaka kepada Bapak!"
Sejak kejadian itu, adik saya tidak mau shalat karena dia merasa sudah dikutuk oleh bapak sebagai anak durhaka. Menurutnya, percuma saja shalat karena anak durhaka pasti akan masuk neraka. Selama ini, adik saya merasa dianggap sebagai anak yang tidak dihargai. Dia juga merasa selalu disalahkan atas kesalahan-kesalahan sepele yang dilakukannya.
Melihat hal itu, ibu saya menyarankan kepada bapak agar bapak mau meminta maaf kepada adik saya itu, dan alhamdulillah bapak mau menuruti saran ibu tersebut. Ibu dan bapak pun akhirnya meminta maaf kepada adik saya karena selama ini sering menyakitinya. Menurut cerita ibu, sebenarnya adik saya sudah memaafkan bapak. Tapi anehnya, sampai sekarang adik saya masih tidak mau shalat. Ibu pun menjelaskan kepadanya bahwa kutukan atau kata-kata orangtua anaknya saat marah kepada anaknya akan dihapus oleh Allah jika keduanya (orangtua dan anak) sudah saling memaafkan.
Saya juga pelan-pelan menasehati adik saya untuk shalat, tapi nasehat saya tak pernah digubris olehnya. Hari ini saya mencoba menasehati lagi, tapi dia tetap pada pendirian bahwa dia sudah dikutuk jadi anak durhaka. "Jadi buat apa lagi shalat, toh anak durhaka pasti masuk neraka", katanya. Terus terang, mendengar jawaban adik saya itu, emosi saya mulai terpancing. Saya pun berkata kepadanya: "Kalau ga mau shalat, ya sudah, tapi jangan ngaku-ngaku sebagai orang Islam!"
Pak Ustadz, saya sangat sedih melihat sikap adik saya itu, apalagi sebentar lagi mau puasa. Saya benar-benar kehabisan akal dan bingung bagaimana cara menasehatinya lagi. Sekarang saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan membuka pintu hatinya. Saya akui, selama ini adik saya memang jarang sekali belajar tentang Islam. Dia jarang membaca buku-buku agama. Biasanya kalau shalat saja, setelah selesai salam dia langsung pergi, tanpa mau berdzikir ataupun berda terlebih dahulu. Dia juga jarang sekali membaca al-Qur`an, bahkan –bisa dikatakan- tidak pernah. Mungkin itu yang membuat hatinya menjadi keras.
Pak Ustadz, tolong beri solusi untuk permasalahan ini. Mudah-mudahan Pak Ustadz bisa membantu kesulitan keluarga kami. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
M-……..
Jawaban:
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, nampaknya masalah yang Anda dan keluarga hadapi sudah cukup rumit, dan –menurut penilaian saya- masalah ini muncul karena adanya kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya. Saya melihat, sikap orangtua Anda (baca: bapak) terlalu keras kepada adik Anda dan terkesan pandang bulu terhadapnya. Tanpa disadari, sikap ini telah mempengaruhi psikologi adik Anda dan ikut membentuk kepribadiannya hingga seperti yang Anda lihat sekarang. Apalagi di saat yang sama, adik Anda kurang mendapat pembekalan tentang pengetahuan agama, pengetahuan yang mengajarkan kepada kita bagaimana semestinya sikap seorang anak kepada kedua orangtuanya.
Seperti yang pernah saya bahas pada konsultasi berjudul "Batasan Berbakti Kepada Orangtua", seorang anak dituntut untuk selalu berbakti kepada kedua orangtuanya, termasuk bila ada sikap keduanya yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini, bukan berarti kita tidak boleh membantah. Kita boleh saja membantah atau menolak kemauan orangtua, namun bantahan atau penolakan itu harus tetap disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik, meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15) Jadi jelas, apa yang telah dilakukan adik Anda sangat bertentangan dengan apa yang terkandung dalam kedua ayat tersebut.
Namun, kita tidak bisa menyalahkan adik Anda seratus persen. Sebab berdasarkan cerita Anda, bisa jadi hal itu disebabkan karena sikap kasar bapak Anda kepadanya saat dia masih kecil yang ternyata telah memberikan andil besar dalam membentuk kepribadiannya yang keras. Hal itu juga bisa disebabkan karena sikap pilih kasih orangtua Anda atau juga kelalaian mereka untuk memberikan pendidikan agama kepadanya. Konon pada masa pemerintahan Umar bin Khathab ra., ada seorang lelaki yang datang kepada Umar. Lelaki itu mengeluhkan sikap durhaka yang dilakukan oleh anaknya. Umar pun memanggil anak dari lelaki tersebut, lalu dia memberi nasihat kepadanya agar tidak berbuat durhaka kepada ayahnya.
Namun anak itu justru berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, bukankah seorang anak itu juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi ayahnya?”
“Benar,” jawab Umar.
“Apa itu, wahai Amirul Mukminin?” tanya anak itu.
Umar menjawab: “Hendaknya dia memilih (wanita yang akan menjadi) ibu dari anaknya, memperbagus namanya, dan mengajarkan kepadanya al-Kitab (al-Qur`an).”
Anak itu berkata: “Wahai Amirul mu`minin, ayahku tidak pernah melakukan satupun dari ketiga hal itu. Ibuku adalah seorang wanita negro yang dulu pernah menjadi budak seorang Majusi. Ayahku menamaiku dengan Ju’ala (kumbang), lalu dia tidak pernah mengajarkan satu huruf al-Qur`an pun kepadaku.”
Mendengar itu, Umar menoleh ke arah lelaki tersebut, lalu dia bertanya kepadanya, “Kamu datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal kamu telah lebih dulu mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu, dan kamu telah lebih dulu menyakitinya sebelum dia menyakitimu?
Saudariku, kisah di atas sengaja saya kutipkan agar ketika kita menghadapi masalah seperti itu, kita mau melakukan koreksi diri. Mungkinkah sikap seperti itu disebabkan oleh kesalahan kita (orangtua), atau adakah faktor-faktor lain yang menyebabkannya seperti itu? Kita tidak mungkin dapat mempengaruhi atau merubah kepribadian adik Anda bila kita tidak mengetahui apa yang menyebabkan dia bersikap seperti itu. Menurut saya, pengetahuan tentang sebab-sebab itulah yang dapat membantu kita dalam menyusun langkah-langkah pendekatan kepada adik Anda yang menjadi objek dalam masalah ini. Bila memang sikap adik Anda itu lebih disebabkan karena sikap keras dan pilih kasih bapak Anda kepadanya, maka saya sarankan kepada orangtua Anda untuk menunjukkan perhatian lebih kepada adik Anda itu. Tidak cukup hanya dengan meminta maaf, karena orang seperti adik Anda, meskipun mulutnya sudah mengucapkan maaf tapi terkadang hatinya masih menyimpan rasa kesal atau dendam. Teruslah untuk melakukan pendekatan kepadanya hingga hatinya benar-benar luluh. Ingat, sifat keras tidak bisa dilawan dengan sifat keras pula, tetapi harus dengan sifat lembut.
Nasehatilah dia dengan bijak dan penuh kesabaran, serta hindari semaksimal mungkin penggunaan emosi. Tekankan lagi kepadanya bahwa ALLAH swt. Maha Pengampun. Sebesar apapun dosa seorang hamba, termasuk dosa durhaka kepada orangtua, ALLAH pasti akan mengampuninya asalkan dia benar-benar bertaubat kepada-Nya. Jadi tidak ada istilah "sudah kadung (terlanjur)" durhaka, ya sudah tidak perlu shalat lagi. Atau, "Buat apa shalat, toh akhirnya masuk neraka karena durhaka kepada orangtua."
Saudariku, meskipun masalah yang Anda hadapi cukup rumit, Anda tidak perlu pesimis. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Tentunya, semua itu sangat bergantung kepada upaya kita, yaitu asalkan kita mau benar-benar berusaha untuk menyelesaikannya serta tidak lupa selalu memohon pertolongan kepada Dzat Yang Maha Kuasa, ALLAH swt.. Yakinlah, bahwa bila ALLAH berkehendak untuk melembutkan hati seseorang, maka sekeras apapun hati itu, pasti akan mencair juga. Hanya Dia-lah Dzat Yang Maha Pemberi Hidayah dan Dzat Yang Membolak-balikkan hati manusia. Karena itu, banyak-banyaklah memohon kepada-Nya agar pintu hati adik Anda dibuka oleh-Nya. Memohonlah dengan sungguh-sungguh kepada-Nya, usahakan sampai meneteskan air mata, karena hanya Dia-lah Dzat Yang Maha Mengabulkan doa dan Dzat yang bisa mewujudkan hajat-hajat kita.
Saudariku, kasus yang Anda hadapi ini mengandung pelajaran yang berharga bagi para orangtua, yaitu bahwa mencetak anak-anak yang berbakti tidak semudah membalik tangan, melainkan membutuhkan perhatian yang serius dan kerja keras dari orangtua. Diantaranya adalah dengan membekali mereka dengan pendidikan agama termasuk pengetahuan tentang akhlak karimah (akhlak yang mulia), sesuai dengan sabda Nabi saw.: "Muliakanlah anak-anakmu dan perbaguslah akhlak mereka."
Selain itu, orangtua juga dituntut untuk memberikan tauladan yang baik kepada anaknya. Sebab, tauladan yang baik merupakan cara yang paling jitu dalam mencetak anak-anak yang shaleh dan berakhlak mulia. Namun sayangnya, banyak orangtua yang kurang memperhatikan hal ini. Mereka menginginkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang rajin shalat, tapi mereka sendiri jarang shalat. Mereka menginginkan anak-anaknya berakhlak mulia dan tidak berkata kasar, tapi mereka sendiri sering bersikap kasar kepada anak-anaknya dan sering melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan akhlak yang mulia di hadapan anak-anak mereka. Satu lagi, saya yakin tidak ada orangtua yang mau anaknya menjadi anak yang durhaka, namun sayangnya tidak sedikit orangtua yang mudah sekali memvonis anaknya dengan cap "durhaka", padahal vonis seperti itu bisa jadi akan menjadi doa yang tidak baik untuk anaknya. Padahal, doa orangtua untuk keburukan anaknya termasuk salah satu dari tiga doa yang mustajab, sesuai sabda Nabi saw.: "Ada tiga doa yang mustajab (dikabulkan ALLAH), tidak ada keraguan sedikitpun mengenai hal itu. Ketiga doa itu adalah doa orang yang teraniaya, doa musafir dan doa orangtua untuk (keburukan) anaknya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Wallaahu A'lam....
Jumat, 27 Agustus 2010
Rabu, 04 Agustus 2010
Haruskah Witir Dilakukan Setelah Tahajud?
(I)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau mengajukan beberapa pertanyaan:
1. Shalat Witir itu sebaiknya dilakukan setelah shalat Isya/Tarawih atau setelah shalat Tahajud? Jika sudah dilakukan setelah shalat Isya/Tarawih, apakah nanti shalat Tahajudnya tetap sah karena tanpa shalat Witir lagi?
2. Jika saya hanya melakukan shalat sunnah Rawatib sebelum Subuh dan sesudah Maghrib saja, bagaimana hukumnya Pak Ustadz? Maksudnya, apakah ibadah yang saya lakukan itu tetap berpahala ataukah sia-sia karena tidak dilakukan semuanya?
Demikian pertanyaan saya, mohon penjelasannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E -……..
(II)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya ingin bertanya tentang shalat tahajud di bulan Ramadhan. Begini Pak Ustadz, jika kita ingin shalat tahajud di bulan Ramadhan dengan Witir, apakah shalat Witir pada shalat Tarawih kita kerjakan juga ataukah tidak usah karena akan dikerjakan bersamaan dengan shalat Tahajud nanti? Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S -……
Jawaban:
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Saudari E dan S yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf karena baru sempat menjawab pertanyaan Anda berdua, terutama pertanyaan Saudari E yang sudah cukup lama dilontarkan. Mudah-mudahan keterlambatan ini tidak mengurangi nilai jawaban yang saya berikan. Pertanyaan Anda berdua sengaja saya muat secara bersamaan karena keduanya hampir mirip, yaitu mengenai shalat Witir, shalat Tarawih dan shalat Tahajud.
Ketiga shalat tersebut merupakan shalat-shalat sunnah yang dikerjakan di malam hari. Saya yakin pertanyaan Anda berdua di atas lebih disebabkan karena adanya kebiasaan mengerjakan shalat Witir setelah shalat Tarawih, dimana pada umumnya masyarakat kita terbiasa mengerjakan shalat Tarawih di awal waktu malam, sementara ada sebuah Hadits yang mengisyaratkan bahwa shalat Witir merupakan penutup shalat malam (termasuk shalat Tarawih dan shalat Tahajud). Padahal ada sebagian orang –termasuk Anda berdua- yang masih ingin mengerjakan shalat Tahajud yang pada umumnya dikerjakan di akhir waktu malam karena harus dikerjakan setelah tidur. Dari sinilah muncul kebingungan, apakah bila seseorang telah mengerjakan shalat Witir yang biasanya dijadikan satu paket dengan shalat Tarawih, lalu dia ingin mengerjakan shalat Tahajud di malam hari (setelah tidur), apakah dia harus menutup shalat Tahajudnya itu dengan shalat Witir lagi ataukah tidak, atau apakah dia tidak usah mengerjakan shalat Witir setelah selesai shalat Tarawih karena dia akan mengerjakannya setelah shalat Tahajud?
Saudari-saudariku yang terhormat, kebingungan yang Anda berdua rasakan juga pernah saya rasakan. Namun setelah melihat dan mengkaji dalil-dalil yang ada, saya dapat menyimpulkan bahwa istilah “shalat Witir adalah penutup shalat malam” tidak sepenuhnya benar. Sebab, ketika dikatakan sebagai penutup shalat malam, maka hal ini akan menimbulkan kesan bahwa seseorang tidak boleh melakukan Witir setelah shalat Tarawih/Isya bila dia ingin melakukan shalat Tahajud di akhir malam, atau seperti yang Anda tanyakan, bila seseorang tidak menutup shalat Tahajud dengan Witir maka shalat Tahajudnya tidak sah. Atau dengan ungkapan yang lebih singkat, melakukan shalat Witir di akhir semua shalat malam (termasuk Tahajud) adalah sebuah keharusan.
Istilah seperti itu muncul karena adanya sebuah Hadits yang berbunyi: “Jadikanlah Witir sebagai akhir shalat kalian di waktu malam". (HR. Bukhari) Meskipun disampaikan dengan menggunakan kata perintah, namun hal itu bukanlah sebuah keharusan, namun hanya sebatas anjuran. Artinya, seseorang boleh saja melakukan shalat Witir di awal waktu malam setelah shalat Tarawih/Isya, boleh di tengah waktu malam, dan boleh juga di akhir waktu malam yaitu setelah shalat Tahajud. Hanya saja, akan lebih disukai ALLAH bila shalat Witir itu dikerjakan di akhir semua shalat malam. Hal ini ditunjukkan oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: "Barang siapa takut tidak bangun di akhir malam, maka witirlah pada awal malam, dan barang siapa berkeinginan untuk bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena sesungguhnya shalat pada akhir malam masyhudah (disaksikan)" (HR. Muslim)
Hadits kedua ini jelas menegaskan bahwa waktu pelaksanaan shalat Witir sangat kondisional atau sangat tergantung pada kemampuan seseorang apakah bisa bangun di malam hari ataukah tidak. Bila hampir dapat dipastikan bahwa dia bisa bangun malam karena sudah menjadi kebiasaan baginya, maka shalat Witir lebih dianjurkan untuk dikerjakan setelah shalat Tahajud. Namun bila dia khawatir tidak bisa bangun malam, maka sebaiknya shalat Witir dilakukan setelah shalat Tarawih. Bila dia sudah mengerjakan shalat Witir setelah shalat Tarawih/Isya, lalu dia bisa mengerjakan shalat Tahajud di malam itu juga, maka dia tidak perlu mengerjakan shalat Witir lagi. Kesimpulannya, sama sekali tidak ada keharusan untuk melakukan shalat Witir setelah shalat Tahajud.
Untuk Saudari E, setiap shalat sunah Rawatib (ba’diyah ataupun qobliyah) adalah shalat yang terpisah dengan shalat-shalat sunah Rawatib lainnya, bukan satu paket yang harus dikerjakan semuanya. Jadi, bila Anda hanya mengerjakan shalat sunah qobliyah (sebelum) Subuh dan sunah ba’diyah (sesudah) Maghrib saja, maka apa yang Anda lakukan itu tetap berpahala atau tidak sia-sia, asalkan benar-benar dilakukan dengan ikhlas karena ALLAH swt.. Wallaahu A’lam….
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau mengajukan beberapa pertanyaan:
1. Shalat Witir itu sebaiknya dilakukan setelah shalat Isya/Tarawih atau setelah shalat Tahajud? Jika sudah dilakukan setelah shalat Isya/Tarawih, apakah nanti shalat Tahajudnya tetap sah karena tanpa shalat Witir lagi?
2. Jika saya hanya melakukan shalat sunnah Rawatib sebelum Subuh dan sesudah Maghrib saja, bagaimana hukumnya Pak Ustadz? Maksudnya, apakah ibadah yang saya lakukan itu tetap berpahala ataukah sia-sia karena tidak dilakukan semuanya?
Demikian pertanyaan saya, mohon penjelasannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E -……..
(II)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya ingin bertanya tentang shalat tahajud di bulan Ramadhan. Begini Pak Ustadz, jika kita ingin shalat tahajud di bulan Ramadhan dengan Witir, apakah shalat Witir pada shalat Tarawih kita kerjakan juga ataukah tidak usah karena akan dikerjakan bersamaan dengan shalat Tahajud nanti? Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S -……
Jawaban:
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Saudari E dan S yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf karena baru sempat menjawab pertanyaan Anda berdua, terutama pertanyaan Saudari E yang sudah cukup lama dilontarkan. Mudah-mudahan keterlambatan ini tidak mengurangi nilai jawaban yang saya berikan. Pertanyaan Anda berdua sengaja saya muat secara bersamaan karena keduanya hampir mirip, yaitu mengenai shalat Witir, shalat Tarawih dan shalat Tahajud.
Ketiga shalat tersebut merupakan shalat-shalat sunnah yang dikerjakan di malam hari. Saya yakin pertanyaan Anda berdua di atas lebih disebabkan karena adanya kebiasaan mengerjakan shalat Witir setelah shalat Tarawih, dimana pada umumnya masyarakat kita terbiasa mengerjakan shalat Tarawih di awal waktu malam, sementara ada sebuah Hadits yang mengisyaratkan bahwa shalat Witir merupakan penutup shalat malam (termasuk shalat Tarawih dan shalat Tahajud). Padahal ada sebagian orang –termasuk Anda berdua- yang masih ingin mengerjakan shalat Tahajud yang pada umumnya dikerjakan di akhir waktu malam karena harus dikerjakan setelah tidur. Dari sinilah muncul kebingungan, apakah bila seseorang telah mengerjakan shalat Witir yang biasanya dijadikan satu paket dengan shalat Tarawih, lalu dia ingin mengerjakan shalat Tahajud di malam hari (setelah tidur), apakah dia harus menutup shalat Tahajudnya itu dengan shalat Witir lagi ataukah tidak, atau apakah dia tidak usah mengerjakan shalat Witir setelah selesai shalat Tarawih karena dia akan mengerjakannya setelah shalat Tahajud?
Saudari-saudariku yang terhormat, kebingungan yang Anda berdua rasakan juga pernah saya rasakan. Namun setelah melihat dan mengkaji dalil-dalil yang ada, saya dapat menyimpulkan bahwa istilah “shalat Witir adalah penutup shalat malam” tidak sepenuhnya benar. Sebab, ketika dikatakan sebagai penutup shalat malam, maka hal ini akan menimbulkan kesan bahwa seseorang tidak boleh melakukan Witir setelah shalat Tarawih/Isya bila dia ingin melakukan shalat Tahajud di akhir malam, atau seperti yang Anda tanyakan, bila seseorang tidak menutup shalat Tahajud dengan Witir maka shalat Tahajudnya tidak sah. Atau dengan ungkapan yang lebih singkat, melakukan shalat Witir di akhir semua shalat malam (termasuk Tahajud) adalah sebuah keharusan.
Istilah seperti itu muncul karena adanya sebuah Hadits yang berbunyi: “Jadikanlah Witir sebagai akhir shalat kalian di waktu malam". (HR. Bukhari) Meskipun disampaikan dengan menggunakan kata perintah, namun hal itu bukanlah sebuah keharusan, namun hanya sebatas anjuran. Artinya, seseorang boleh saja melakukan shalat Witir di awal waktu malam setelah shalat Tarawih/Isya, boleh di tengah waktu malam, dan boleh juga di akhir waktu malam yaitu setelah shalat Tahajud. Hanya saja, akan lebih disukai ALLAH bila shalat Witir itu dikerjakan di akhir semua shalat malam. Hal ini ditunjukkan oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: "Barang siapa takut tidak bangun di akhir malam, maka witirlah pada awal malam, dan barang siapa berkeinginan untuk bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena sesungguhnya shalat pada akhir malam masyhudah (disaksikan)" (HR. Muslim)
Hadits kedua ini jelas menegaskan bahwa waktu pelaksanaan shalat Witir sangat kondisional atau sangat tergantung pada kemampuan seseorang apakah bisa bangun di malam hari ataukah tidak. Bila hampir dapat dipastikan bahwa dia bisa bangun malam karena sudah menjadi kebiasaan baginya, maka shalat Witir lebih dianjurkan untuk dikerjakan setelah shalat Tahajud. Namun bila dia khawatir tidak bisa bangun malam, maka sebaiknya shalat Witir dilakukan setelah shalat Tarawih. Bila dia sudah mengerjakan shalat Witir setelah shalat Tarawih/Isya, lalu dia bisa mengerjakan shalat Tahajud di malam itu juga, maka dia tidak perlu mengerjakan shalat Witir lagi. Kesimpulannya, sama sekali tidak ada keharusan untuk melakukan shalat Witir setelah shalat Tahajud.
Untuk Saudari E, setiap shalat sunah Rawatib (ba’diyah ataupun qobliyah) adalah shalat yang terpisah dengan shalat-shalat sunah Rawatib lainnya, bukan satu paket yang harus dikerjakan semuanya. Jadi, bila Anda hanya mengerjakan shalat sunah qobliyah (sebelum) Subuh dan sunah ba’diyah (sesudah) Maghrib saja, maka apa yang Anda lakukan itu tetap berpahala atau tidak sia-sia, asalkan benar-benar dilakukan dengan ikhlas karena ALLAH swt.. Wallaahu A’lam….
Langganan:
Postingan (Atom)