Kamis, 11 Maret 2010

Suami Menuduh Isterinya “Pelacur”

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ustadz, keponakan saya ada masalah dengan rumah tangganya. Saat ini dalam situasi yang perlu mendapat pandangan agar dapat diselesaikan dengan jalan yang baik dan benar, terutama menurut agama.
Mereka menikah 2 tahun yang lalu. Setengah tahun usia pernikahan itu, mereka menghadapi goncangan karena suami tidak dapat mengendalikan perkataannya yang mengatakan istrinya "Pelacur" saat ada perselisihan kecil. Bahkan saat istrinya mengandung pernah melontarkan perkataan bahwa "Janin yang dikandung itu mungkin bukan anaknya". Menurut cerita, kata-kata tersebut sangat menyakitkan hati keponakan saya, sehingga hampir setiap hari ada perselisihan dan pertengkaran. Pada puncaknya orang tua terlibat dalam masalah tersebut. Di hadapan Orang Tua Wanita, sang suami mengatakan bahwa dirinya menceraikan istrinya. Saat itu istrinya sedang hamil.
Mereka pisah rumah, dan sepakat akan menyelesaikan secara hukum dan agama setelah kelahiran anaknya.
Suami tidak lagi membiayai istrinya, bahkan biaya kelahiran anaknya dan semua biaya sampai saat ini dipikul oleh istri dan orang tuanya. Setelah kelahiran anaknya suami tidak pernah memberikan nafkah lahir dan bathin. Tapi dia tidak mau melanjutkan proses perceraian. Bahkan pernah mengancam akan membanting bayinya atau membawa lari. Hal itu tentu sangat menyusahkan dan membuat ketakutan istrinya dan keluarga lainnya. Suami baru mau melanjutkan proses perceraian jika diberi ganti rugi dalam bentuk materi dan uang. Katanya aturan itu ada dalam agama, sebab yang minta cerai pihak wanita. Sebagai tambahan dapat diinformasikan bahwa uang yang diserahkan pihak lelaki saat akan pernikahan juga sudah diambil kembali untuk modal usaha sang suami.
Sampai saat ini, rumah tangga mereka dalam status yang tidak ada kepastian, sementara keluarga telah mencoba untuk merukunkan mereka kembali tapi si wanita sudah sangat trauma dengan rangkaian kejadian yang secara tidak nyaman dialaminya dan begitu menakutkan. Apalagi bila suaminya datang, selalu saja timbul keributan. Sang isteri pun merasa terancam.
Mereka telah memiliki seorang putera yang sekarang berusia 1 tahun.
Rumah dan semua harta benda yang dimiliki oleh istri adalah miliknya sendiri dari orang tua istri. Mohon pandangan dari Ustadz.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

X - ……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, masalah yang dihadapi keponakan Anda sangat kompleks dan rumit, dan hal ini semakin menipiskan harapan bagi kedua belah pihak (suami-isteri) untuk berdamai kembali. Tapi bukan berarti hal itu tidak mungkin, hanya saja upaya untuk mempersatukan mereka kembali membutuhkan adanya komitmen yang kuat dari kedua belah pihak (terutama suami) untuk merajut kembali benang-benang cinta yang telah terurai, menambah kekurangan-kekurangan yang ada, serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Rumitnya masalah tersebut disebabkan karena suami telah melakukan sejumlah pelanggaran berat yang tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim terhadap isterinya. Bahkan bila pelanggaran-pelanggaran seperti itu memang benar dilakukan oleh suami keponakan Anda, maka terus terang saya berani mengatakan bahwa dia bukan tipe suami yang baik atau shaleh, yang patut untuk dijadikan sebagai teman hidup. Sebab suami yang baik tidak mungkin tega untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan juga nilai-nilai kemanusiaan.
Pelanggaran-pelanggaran yang saya maksud adalah:
1. Dia telah menganggap isterinya sendiri sebagai pelacur atau menganggap anak yang dikandung isterinya bukan anaknya yang sah, tanpa bukti-bukti yang kuat. Ini berarti bahwa dia menuduh isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Meskipun terlihat begitu ringan kata-kata tersebut keluar dari mulut (begitu mudahnya diucapkan), tetapi ia memiliki dampak hukum yang luar biasa.
Dalam Islam, bila seorang Muslim menuduh orang lain berbuat zina, maka dia harus bisa membuktikannya dengan mendatangkan empat orang saksi. Bila tidak, maka dia sendiri yang akan terancam hukuman had (dicambuk sebanyak 80 kali). Allah swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.” (QS. An-Nuur [24]: 4)
Hukum seperti ini semestinya juga berlaku dalam hubungan antara suami isteri. Hanya saja karena rahmat Allah, Allah memberikan alternatif solusi yang bertujuan agar suami yang melakukan hal seperti itu tidak dikenai hukuman had tersebut. Alternatif yang dimaksud adalah Li’an. Li’an adalah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami, bahwa isterinya telah berzina dengan orang lain, atau bahwa suami menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya. Setelah suami mengucapkan sumpah seperti itu, maka sang isteri pun diminta untuk bersumpah bahwa tuduhan suaminya itu tidak benar.
Hukum li’an ini telah dijelaskan Allah swt. dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah (bahwa) sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur [24]: 6-9).
Bila kedua belah pihak sudah sama-sama mengucapkan sumpah, maka berlakulah hukum-hukum sebagai berikut:
- Kedua belah pihak (suami-isteri) harus diceraikan.
- Keduanya diharamkan untuk rujuk kembali.
- Wanita yang melakukan li’an berhak memiliki mahar.
- Anak yang lahir dari isteri yang melakukan li’an harus diserahkan kepada isteri (ibunya).
- Isteri yang melakukan li’an berhak menjadi ahli waris anaknya, dan demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka jelaslah bahwa perkataan yang begitu mudahnya keluar dari mulut suami keponakan Anda itu ternyata bukan perkataan yang sepele, melainkan perkataan yang memiliki dampak hukum yang sangat besar. Oleh karena itu, maka kita pun dituntut untuk berhati-hati terhadapnya.

2. Suami telah melanggar janji (ikrar) yang telah diucapkannya atau ditandatanginya sesaat setelah melakukan akad nikah. Ikrar tersebut dapat dilihat pada sighat ta’lik talak yang dicantumkan dalam buku nikah. Bunyi sighat ta’lik tersebut adalah sebagai berikut:
“Saya membaca shighat taklik atas isteri saya sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:
- Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,

- Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,

- Atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya,

- Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya,

kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah thalak saya satu kepadanya.” (Dikutip dari Buku Nikah)

Penjelasan secara rinci mengenai hal ini dapat dilihat kembali pada artikel berjudul: “Ditelantarkan Suami, Apakah Jatuh Thalak?”
Menurut saya, suami keponakan Anda telah melakukan salah satu dari poin-poin yang disebutkan dalam sighat ta’lik talak tersebut. Karena itu, bila sang isteri tidak ridha, maka dia berhak mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama dengan ketentuan seperti yang disebutkan di atas.

3. Dia telah membuat nasib atau status keponakan Anda terkatung-katung. Dia tidak menahannya dan tidak pula menceraikannya. Meskipun secara agama sudah jatuh talak, tetapi secara hukum negara (hukum perkawinan) mereka masih berstatus sebagai suami isteri. Hal ini disebabkan karena proses perceraian mereka belum diurus hingga selesai. Tentunya hal ini menyebabkan status keponakan Anda menjadi tidak jelas, dan hal itu akan menyulitkannya bila dia ingin menikah lagi dengan laki-laki lain. Hal ini seperti ini tidak dibolehkan dalam agama karena dapat menzhalimi pihak wanita. Allah swt. berfirman: “Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu) lalu sampai (akhir) iddahnya, maka tahanlah (mereka) dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzhalimi mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 231)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya pribadi lebih menyarankan agar keduanya dipisahkan saja. Tapi tentunya semua kembali kepada kedua belah pihak (suami isteri) dan juga keluarga mereka. Sekarang di hadapan keponakan Anda ada dua pilihan:
- Bersatu kembali: Hal ini juga masih bisa dilakukan, tetapi harus melalui akad nikah baru, karena secara agama sudah jatuh talak 1 dan sudah habis massa iddahnya (karena isteri sudah melahirkan). Selain itu, karena suami telah menuduh isterinya berzina dengan orang lain, maka dia harus bertaubat dulu atas tuduhan itu dan harus berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, kecuali bila dia bisa membuktikan tuduhan tersebut. Bila pilihan ini yang diambil, maka kedua belah pihak harus diminta untuk meluruskan niat dan komitmennya masing-masing dalam menggayuh bahtera rumah tangga.
- Keduanya dipisahkan: Bila pilihan ini yang diambil, maka keponakan Anda dan keluarganya tidak perlu khawatir bila pihak suami akan meminta ganti rugi dalam jumlah besar dengan dalih di dalam agama ada aturan seperti itu. Memang aturan tersebut ada dalam agama, namun hal itu berlaku bila tidak ada pelanggaran terhadap ta’lik talak. Bila ada pelanggaran, maka ‘iwadh (pengganti) yang diberikan adalah seperti disebutkan dalam sighat ta’lik talak tersebut. Bahkan –menurut saya-, karena suami pernah menjatuhkan talak, maka permasalahan yang sebaiknya diajukan di Pengadilan nanti bukanlah gugatan cerai (khulu’), tetapi melanjutkan proses thalak yang sudah jatuh menurut agama. Pelanggaran-pelanggaran yang saya sebutkan di atas tadi hanya akan menjadi bahan pertimbangan oleh hakim apakah keduanya bisa dipersatukan kembali ataukah tidak. Bila memang pilihan ini yang diambil, maka datang saja ke Pengadilan Agama untuk memproses perceraian lebih lanjut.
Tapi perlu diingat, kita hanyalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam menentukan pilihan. Karena itu, sebelum menentukan pilihan, sebaiknya keponakan Anda melakukan istikharah terlebih dahulu. Suruhlah dia untuk memohon petunjuk langsung kepada Allah swt., Dzat Yang Maha Mengetahui. Wallaahu A’lam…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda