Rabu, 29 Juni 2011

Hukum Budidaya Kodok Untuk Dijual

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Mau tanya, Pak Ustadz, apa hukum dari memelihara kodok untuk dijual, halal atau haram? Terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

A-….

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Hukum memelihara kodok untuk dijual sangat tergantung pada hukum kodok itu sendiri. Bila Anda meyakini bahwa kodok itu haram, maka memeliharanya untuk dijual juga haram. Demikian pula sebaliknya, bila Anda meyakini bahwa kodok itu halal, maka memeliharanya untuk dijual juga halal. Sengaja saya menggunakan kata "Bila Anda meyakini", karena dalam masalah hukum kodok, ada dua pendapat seperti yang pernah saya bahas pada konsultasi berjudul "Apakah Kodok Halal?". Berikut kutipannya:

“Sama seperti hukum kepiting, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum swike atau kodok. Sebagian besar ulama mengharamkan kodok dengan dalil hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy:


Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy, bahwa ada seorang tabib (dokter) yang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah saw. melarang membunuhnya. (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i).

Berdasarkan hadits ini, para ulama mengharamkan kodok. Sebab dalam hadits tersebut, Rasulullah saw. melarang untuk membunuhnya. Sebuah kaidah mengatakan bahwa hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh, hukumnya haram dimakan. Seandainya boleh dimakan, niscaya Rasulullah tidak akan mengeluarkan larangan tersebut. Ada juga ulama yang mengharamkan kodok, karena bagi kebanyakan orang, kodok termasuk ke dalam katagori hewan yang menjijikkan. Ada pula yang mengharamkannya karena kodok termasuk binatang yang bisa hidup di dua alam.

Berbeda dengan ulama di atas, Imam Malik menghalalkan hewan kodok. Imam Malik berpendapat seperti itu karena hadits di atas tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa kodok termasuk hewan yang najis atau diharamkan. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan, selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkan binatang tertentu, maka hukumnya halal dan boleh dimakan.

Tetapi perlu diingat, bila sudah diketahui bahwa ada jenis kodok yang mengandung racun, maka hukumnya haram. Sebab, binatang seperti itu merupakan binatang yang membahayakan manusia. Padahal segala sesuatu yang membahayakan manusia, dihukumi sebagai sesuatu yang haram.

Pertanyaannya, kita mau ikut pendapat yang mana? Apakah pendapat pertama yang mengharamkan kodok ataukah pendapat kedua yang menghalalkannya? Menurut saya, semua kembali kepada masing-masing individu. Yang terpenting, kita tahu alasan atau dasar hukumnya. Sebab, permasalahan seperti ini merupakan permasalahan ijtihadi yang tidak patut dibesar-besarkan, apalagi dijadikan alasan untuk menyudutkan satu kelompok Islam hingga menyebabkan terjadinya perselisihan atau perpecahan di kalangan umat Islam.”

Mengenai hukum budidaya kodok, MUI sendiri membolehkannya selama tujuan budi daya itu hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena menurut MUI, mengutip masalah jumhur ulama, semua binatang yang hidup tidak najis, dan boleh dimanfaatkan kulitnya (dimasak), kecuali anjing dan babi. Wallaahu A’lam….

Kamis, 16 Juni 2011

Suami Impoten, Isteri Tuntut Cerai

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pertanyaan saya singkat saja, Pak Ustadz. Bolehkah seorang isteri menuntut cerai bila tiba-tiba suaminya menderita impoten, padahal dulunya tidak? Apakah bila dia menuntut cerai, dia akan dikatagorikan sebagai wanita yang munafik? Syukron katsiron atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

X-…

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari X yang saya hormati, di antara tujuan pernikahan –seperti yang sering kita dengar- adalah untuk membangun rumah tangga yang dilandasi oleh perasaan cinta, sayang dan tenteram. Hal ini seperti ditegaskan ALLAH swt. dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Ruum [30 ]: 21)

Namun dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga seringkali muncul ombak-ombak besar yang mungkin akan mempengaruhi kondisi psikologis salah satu pihak, atau bahkan kedua-duanya. Hal ini biasanya menyebabkan salah satu pihak akan mengambil keputusan (atau meminta) untuk tidak meneruskan perjalanan tersebut. Salah satu ombak besar yang saya maksud adalah munculnya penyakit impoten yang diderita suami.

Dalam banyak kasus, kondisi seperti itu memang akan mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena kebutuhan akan seks bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga milik perempuan. Karena itulah maka Islam sangat memperhatikan hal tersebut, bahkan mengatagorikannya sebagai hak isteri yang harus diperhatikan oleh suami. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash: “Wahai Abdullah, aku mendengar berita bahwa kamu bangun di malam hari dan berpuasa di siang hari, benarkah itu?" Abdullah bin ‘Amr menjawab: "Benar." Rasulullah saw. pun bersabda: "Jangan kamu lakukan itu; tetapi tidur dan bangunlah, berpuasa dan berbukalah, karena sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu, kedua matamu memiliki hak atas dirimu, tamumu memiliki hak atas dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu.” (HR. Bukhari)

Bahkan masalah impotensi ini telah dibahas oleh para ahli fikih zaman dulu. Setidaknya, ada dua pendapat mengenai hal tersebut:

  1. Bila suami impoten, maka tidak jatuh faskh (pembatalan pernikahan). Ini adalah pendapat Hakam bin ‘Uyainah dan Daud yang didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa dia berkata: “Suatu ketika isteri Rifa'ah datang menemui Nabi saw. Ia berkata : ‘Dulu aku adalah isteri Rifa'ah, tetapi dia telah menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain) (maksudnya, terlalu lembek sehingga tidak bisa digunakan untuk berhubungan badan-ed).’ Rasulullah saw. pun tersenyum mendengarnya, lalu beliau bersabda : ‘Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa'ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya (Abdurrahman) dan ia pun merasakan madumu….’” (HR. Muslim)
  2. Impotensi merupakan aib (cacat) yang dapat menyebabkan jatuhnya faskh, tentunya setelah si suami diberi tenggang waktu untuk mencoba melakukan hubungan intim lagi, agar terbukti bahwa dirinya benar-benar impoten. Pendapat ini merupakan pendapat Umar, Utsman, Mughirah bin Tsu’bah, Sa’id bin Musayyab, Atha`, serta para ulama berikutnya termasuk Imam Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Menurut mereka, hadits yang diriwayatkan Muslim tersebut tidak menunjukkan bahwa laki-laki tersebut impoten, karena jika benar-benar impoten, maka Rasulullah tidak mungkin mengatakan “Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya (Abdurrahman) dan ia pun merasakan madumu….” Sebab, orang yang benar-benar impoten tidak mungkin dapat mewujudkan hal tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh beberapa riwayat lain yang menunjukkan bahwa wanita tersebut berdusta karena ingin kembali kepada suaminya yang pertama.

Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat kedua. Karena itu, -menurut saya- isteri berhak untuk menentukan pilihan, apakah dia akan meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya ataukah tidak. Hal ini disebabkan karena hubungan seksual termasuk salah satu tiang penting dalam membina rumah tangga. Namun dalam hal ini, isteri tetap dituntut untuk bijaksana. Jika memang hanya masalah ini yang menjadi penghambat keharmonisan rumah tangga, maka dia harus memberikan kesempatan kepada suaminya untuk berobat, karena bisa jadi penyakit tersebut hanya bersifat sementara. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud: “Diberikan waktu satu tahun. Apabila ia mampu mendatangi (mampu menjimai kembali) istrinya, (maka pernikahan itu diteruskan). Jika tidak, maka (boleh) dipisahkan (cerai) antara keduanya.” (HR Daruquthni) Bahkan alangkah mulianya lagi bila ternyata isteri tidak mau menggunakan haknya sama sekali atau dia terus memberikan dukungan moral dan doa agar suaminya sembuh dari penyakit tersebut, karena yang dia butuhkan hanyalah cinta dan kasih sayang suami, atau mungkin karena pertimbangan lain seperti karena pertimbangan anak.

Namun, bila ternyata penyakit impoten yang diderita suami tidak kunjung sembuh, meskipun sudah diberi tenggang waktu untuk berobat, sementara si isteri tidak tahan dengan kondisi seperti itu, maka dia berhak menggunakan haknya, dan dia tidak dikatagorikan sebagai wanita munafik seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi saw.: “Para istri yang minta cerai (pada suaminya) adalah wanita-wanita munafik.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud). Dalam kondisi seperti ini, hakim pun berhak untuk menjatuhkan faskh. Wallahu A’lam…

Sabtu, 11 Juni 2011

Surat Rumah Warisan Ayah Atas Nama Ibu

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Begini Pak Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai (harta) waris:

1. Apa definisi dari (harta) waris itu?
2. Apa sajakah yang termasuk (harta) waris itu?
3. Jika surat-surat rumah atau tanah peninggalan ayah semuanya atas nama ibu (ibu masih ada / belum meninggal), apakah juga termasuk (harta) waris ayah? Sebab, sampai sekarang ibu beranggapan bahwa jika surat-surat rumah dan tanah itu atas namanya, maka rumah dan tanah itu telah menjadi miliknya dan tidak termasuk (harta) waris.
4. Apakah hukumnya jika (harta) waris tersebut dijual tanpa sepengetahuan salah seorang anak, meskipun anak-anak yang lain mengetahuinya?

Mohon penjelasannya Ustadz, sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-…..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara A yang saya hormati, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu:
  1. Definisi harta waris: Menurut bahasa, harta waris (atau dalam bahasa arabnya “al-miiraats”) berasal dari kata waratsa yaritsu irtsan miiraatsan, yang berarti “berpindahnya sesuai dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu kaum kepada kaum yang lain”. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan waris atau miiraats adalah berpindahnya hak kepemilikan atas sesuatu dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.

  2. Berdasarkan pengertian di atas, maka yang termasuk katagori harta waris adalah segala sesuatu yang menjadi hak milik orang yang meninggal dunia, baik berupa materi seperti uang, rumah, tanah dan lain-lain, ataupun berupa hak dan manfaat seperti hak cipta dari suatu karya, manfaat dari rumah yang disewakan dan lain-lain. Khusus untuk harta yang berupa “hak dan manfaat” ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah ia bisa diwariskan ataukah tidak.

  3. Jawaban dari pertanyaan ketiga hampir sama dengan jawaban yang saya berikan pada konsultasi berjudul “Curhat Soal Warisan Orangtua”. Dalam konsultasi tersebut, saya menegaskan bahwa berdasarkan kaidah, “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka semestinya rumah dan tanah tersebut telah menjadi hak milik ibu, bukan ayah. Namun di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri, karena pada saat pengurusan surat itu sebenarnya suami tidak berniat untuk menghibahkannya kepada sang isteri. Karenanya, perlu dicek kembali apakah ayah benar-benar telah menghibahkan rumah dan tanah tersebut kepada ibu dengan bukti pencantuman nama ibu dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka? Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila ayah benar-benar telah menghibahkannya kepada ibu, maka tanah tersebut telah menjadi milik ibu sehingga ia tidak menjadi harta warisan ayah saat ayah meninggal dunia. Ia hanya akan menjadi harta waris setelah ibu meninggal dunia. Namun, bila ternyata ayah belum menghibahkannya kepada ibu, maka ia termasuk harta waris dari sang ayah yang harus dibagikan kepada semua ahli waris yang ada, termasuk ibu (isteri ayah) dan anak-anaknya. Hal itu disebabkan karena pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut?

  4. Bila ada harta waris yang dijual oleh orangtua (ayah atau ibu yang masih hidup) tanpa sepengetahuan salah seorang anaknya (padahal anak tersebut sudah baligh dan dianggap mampu memanage sendiri harta miliknya), maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang melanggar aturan Islam. Sebab dalam kondisi seperti itu, terutama bila masing-masing ahli waris belum mendapatkan kepastian bagiannya, maka semua ahli waris masih berserikat atas kepemilikan harta tersebut. Oleh karena itu, bila ada salah seorang ahli waris yang ingin menjualnya, dia harus memberitahukannya kepada semua ahli waris yang berserikat atas kepemilikan harta tersebut. Hal ini perlu diperhatikan karena persoalan warisan merupakan persoalan yang sangat sensitif, yang dapat merusak hubungan antara seseorang dengan kerabatnya, saudaranya atau bahkan dengan orangtuanya sendiri. Karena itu, hendaknya seorang Muslim mengikuti aturan-aturan waris yang telah ditetapkan oleh Islam. Saran saya, bicarakan baik-baik mengenai hal ini kepada ibu. Mudah-mudahan Anda akan mendapatkan solusi yang terbaik dan sesuai aturan syariat. Wallaahu A’lam….
Fatkhurozi

Minggu, 05 Juni 2011

Sengketa Tanah Warisan Ayah

Sengketa Tanah Warisan Ayah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya punya surat tanah warisan orangtua (ayah). Di dalam surat tanah tersebut tertulis nama almarhum ayah saya sebagai pemiliknya. Sekarang di atas tanah tersebut didirikan pasar, dan selama ini saya yang ambil uang pasarnya.
Namun belum lama ini, kakak ayah saya datang kepada saya. Dia menyuruh saya untuk menyerahkan surat tanah tersebut kepadanya, karena –menurutnya- tanah itu adalah milik orangtuanya (kakek saya). Lalu dia akan mengusir saya bila saya tidak menyerahkan surat tanah tersebut kepadanya. Menurut Pak Ustadz, bagaimana solusi yang terbaik? Apakah kakak ayah saya itu memang berhak mendapat bagian? Lalu andaikata tanah itu benar milik orangtuanya (kakek saya), apakah saya juga berhak mendapat bagian. Mohon jawabannya, Pak Ustadz!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Y-….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Y yang saya hormati, menurut hukum waris Islam, bila ada anak laki-laki maka paman (saudara ayah) akan menjadi mahjub (terhalang), alias dia tidak berhak menerima bagian dari harta waris yang ditinggalkan ayah Anda. Jadi, secara hukum, posisi Anda lebih kuat daripada paman Anda. Apalagi surat tanah tersebut atas nama ayah Anda. Artinya, bila masalah ini dibawa ke pengadilan agama, maka kemungkinan besar Anda bisa menang.
Namun, ada kebiasaan di masyarakat kita, dimana mereka biasa meminjam nama orang lain dalam surat-surat penting. Ada kemungkinan kakek Anda (sebelum meninggal), menghibahkan harta itu untuk anak-anaknya, hanya saja diatasnamakan satu orang (yaitu ayah Anda). Atau bisa jadi, setelah kakek Anda meninggal, ahli-ahli waris yang ada (termasuk ayah dan paman Anda) tidak langsung membagi tanah peninggalan kakek Anda itu. Mereka sepakat untuk berserikat atas tanah tersebut, namun hanya nama ayah Anda saja yang disebutkan dalam surat tanah tersebut. Menurut analisa saya, salah satu dari dua kemungkinan inilah yang dijadikan alasan paman Anda untuk merebut surat tanah tersebut dari Anda. Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi, walaupun secara hukum sangat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan terjadinya perselisihan di kemudian hari.
Karena itu, ada baiknya Anda cari informasi terlebih dahulu, apakah ada wasiat dari ayah Anda mengenai status kepemilikan harta tersebut, atau adakah bukti-bukti atau saksi-saksi yang menyatakan bahwa sebenarnya harta itu adalah harta kakek Anda yang diwariskan kepada anak-anaknya, hanya saja menggunakan nama ayah Anda. Bila memang ada bukti-bukti yang memperkuat perkataan paman Anda, maka cobalah bicarakan masalah ini baik-baik dengan paman Anda. Walau bagaimana pun, Anda masih punya hak di sana, yaitu hak waris dari bagian waris yang seharusnya diterima ayah Anda dari sang kakek (tentunya ini sangat tergantung pada kondisi dan jumlah ahli waris dari kakek Anda).
Namun bila tidak ada wasiat mengenai status kepemilikan harta tersebut dan tidak ada pula bukti-bukti ataupun saksi-saksi, maka 100% Anda dan saudara-saudara Anda (kalau ada) berhak atas harta tersebut, dan sama sekali tidak ada hak sang paman. Bila memang demikian adanya, sebaiknya selesaikan masalah ini secara kekeluargaan terlebih dahulu. Jelaskan baik-baik kepada paman Anda mengenai status kepemilikan tanah tersebut dan mengenai hukum waris yang berkaitan dengannya (seperti yang telah saya jelaskan di atas). Bila perlu, hadirkan tokoh masyarakat atau tokoh agama yang disegani paman Anda. Namun bila dia masih bersikeras, maka Anda bisa saja mengajukan masalah ini ke pengadilan agama bila Anda tidak ridha terhadap apa yang dilakukan paman Anda. Wallaahu A'lam....
Fatkhurozi

Zakat Untuk Orangtua Yang Sudah Meninggal

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya; Orang tua kami (ayah) sudah meninggal dunia sekitar 2 bulan yang lalu. Saya pribadi sebagai anak tertua, berkeinginan untuk mengeluarkan zakat harta ayahanda sebelum harta waris yang ditinggalkan dibagi kepada ahli waris yang berhak menerima. Hal itu saya lakukan karena saya khawatir barangkali ayahanda belum menunaikan kewajiban untuk mengeluarkan zakat hartanya itu, sementara beliau tidak meninggalkan pesan mengenai hal itu. Apakah yang ingin saya lakukan itu dibolehkan? Terima kasih sebelumnya atas jawaban dan penjelasan yang Ustadz berikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

N-….



Jawaban:



Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara N yang saya hormati, memang tidak ada dalil yang secara khusus menjelaskan tentang kewajiban membayar zakat bagi orang yang sudah meninggal dunia. Yang ada hanyalah dalil-dalil yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti kewajiban haji, kewajiban puasa, kewajiban membayar kaffarah dan kewajiban membayar hutang. Sementara di satu sisi, ada dalil yang menyatakan bahwa semua amal perbuatan manusia akan terputus bila dia telah meninggal dunia, yaitu sabda Nabi saw. : “Apabila seorang anak cucu Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim) Dari sini, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai permasalahan yang Anda tanyakan, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Ulama yang tidak membolehkan lebih mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut.

Sementara ulama yang membolehkan berpendapat bahwa harta orang yang sudah meninggal harus dikeluarkan zakatnya apabila kewajiban untuk mengeluarkan zakat itu belum dilakukan olehnya, dan hal ini harus dilakukan sebelum pembagian harta waris. Dalam hal ini, kewajiban membayar zakat disamakan dengan kewajiban membayar hutang, karena pada hakekatnya bila seseorang belum membayar zakat, maka dia dianggap berhutang kepada ALLAH. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw. dan berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia sementara masih ada kewajiban puasa yang belum ditunaikannya, apakah saya boleh menggantikan puasa untuknya?” Rasulullah saw. pun menjawab: “Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarkannya?” Orang itu menjawab: “Ya, saya akan membayarnya.” Rasulullah saw. bersabda: “Hutang kepada ALLAH lebih berhak untuk dibayarkan.” (HR. Muslim)

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama, baik dari kalangan madzhab Syafi’i, Maliki ataupun Hanbali. Pendapat ini juga dianut oleh Ibnu Qutaibah, menurutnya: “Jika seseorang meninggal dunia sementara ada kewajiban zakat yang belum ia tunaikan, maka hendaklah zakat itu diambil dari harta peninggalannya.” Saya pribadi lebih condong pada pendapat yang membolehkan, Wallaahu A’lam….

Source: www.ddtravel.co.id