Kamis, 04 Maret 2010

Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Di Luar Nikah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Apa kabar Ustadz? Semoga Ustadz dan keluarga selalu sehat dan selalu dalam lindungan Allah swt., aamiin…
Ustadz yang saya hormati, saya ingin bertanya tentang satu hal kepada Ustadz, yaitu tentang status anak di luar nikah. Saya pernah mendengarkan pengajian yang –kalau tidak salah- disampaikan oleh Ustadzah Hj. Luthfiah Sungkar. Kemudian sewaktu akan melangsungkan pernikahan, saya juga mendapat nasehat pernikahan yang isinya antara sebagai berikut:
1. Perempuan yang hamil di luar nikah tidak boleh dinikahi, dan boleh dinikahi jika telah melahirkan dan melewati masa nifasnya.
2. Anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, jika laki-laki maka ia tidak mempunyai hak waris, dan jika perempuan, maka ayahnya tidak boleh bertindak sebagai wali pernikahannya kelak.
Ustadz, dua hal tersebut sangat saya yakini kebenarannya karena disampaikan oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan agama yang sangat dalam, sehingga sewaktu saya menerima pengetahuan tersebut, saya tidak berusaha untuk menghafalkan di surat apa dan ayat berapa dicantumkan perkara ini, atau hadits apa yang menerangkannya.
Tapi seiring berjalannya waktu, beberapa kali saya menghadapi orang-orang yang salah dalam melaksanakan perkara ini. Namun, karena keterbatasan pengetahuan yang saya miliki, saya pun sulit untuk mempertahankan pendapat saya. Misalnya:
1. Ada orangtua yang buru-buru menikahkan anaknya yang hamil di luar nikah dengan alasan untuk menutupi aib keluarga. Tapi mereka tidak menikahkannya kembali saat sang anak telah melahirkan.
2. Ada orangtua (ayahnya) yang menjadi wali saat menikahkan anak perempuannya yang merupakan anak hasil hubungan di luar nikah.
Tentu saja, kedua kejadian tersebut membuat pasangan-pasangan yang menikah itu hidup secara zina di mata Allah. Hal inilah yang membuat saya ingin memastikan kepada Ustadz tentang kebenaran yang saya yakini itu. Surat-surat apa sajakah dalam Al-Qur`an yang memuat tentang perkara-perkara di atas dan hadits-hadits apa sajakah yang menerangkannya, sehingga ketika saya bertemu dengan kejadian seperti ini lagi, saya dapat menerangkannya dengan lebih jelas apa yang saya yakini itu.
Selain itu, bagaimana cara agar saat menyampaikan hal itu kepada orang lain tidak menyinggung perasaan orang tersebut. Itu saja yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz. Mohon maaf jika ada kata-kata yang salah. Atas kemurahn hati Ustadz untuk menjawabnya, sebelum dan sesudahnya saya haturkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
R -……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Alhamdulillah saya dan keluarga dalam keadaan sehat wal’afiat. Terima kasih juga atas doanya, semoga Anda juga demikian adanya.
Saudariku yang terhormat, pendapat yang Anda yakini kebenarannya itu bukanlah satu-satunya pendapat yang ada dalam masalah hukum menikahi wanita yang hamil di luar nikah dan juga status anak hasil hubungan di luar nikah. Ada banyak pendapat dalam masalah tersebut. Ada ulama yang menutup pintu rapat-rapat, ada yang mau membukanya tetapi hanya sedikit saja sebagai wujud kehati-hatiannya, dan ada yang membukanya cukup lebar. Namun perlu diketahui, pendapat mereka itu bukan pendapat asal-asalan, melainkan pendapat yang didasarkan pada dalil-dalil dan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Sebelum menuju inti permasalahan yang Anda tanyakan, terlebih dahulu saya akan menjelaskan tentang hukum kedua masalah tersebut secara umum.

A. Hukum Menikahi Wanita Hamil Di Luar Nikah
Bila seorang wanita hamil di luar nikah, berarti dia telah melakukan perbuatan zina. Mengenai hukum menikahi wanita yang pernah berzina itu, sedikitnya ada 3 pendapat:
1. Sebagian ulama termasuk sebagian sahabat seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas’ud, berpendapat bahwa wanita yang pernah berzina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang baik (bukan pezina). Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt.: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nuur [24]: 3) Berdasarkan dalil tersebut pula, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa seorang isteri yang berzina harus diceraikan oleh suaminya.
2. Jumhur (mayoritas) ulama termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab berpendapat bahwa wanita tersebut boleh dinikahkan, baik dengan orang yang menzinahinya ataupun dengan orang lain. Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah swt. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24]: 32) Dalam hal ini, bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi atau menghamilinya, maka tidak perlu ada istibra`. Istibra` adalah upaya untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita telah benar-benar bersih dari air mani laki-laki yang telah menggaulinya. Masa istibra` ini adalah 6 bulan. Tujuan istibra` ini adalah untuk mendapat kepastian nasab. Untuk tujuan ini pula, maka Islam mensyariatkan adanya masa iddah. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang benar-benar menghamilinya, maka hal itu dibolehkan dan tidak perlu menunggu hingga melahirkan.
Lain halnya bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya, maka pernikahan itu haram dilakukan kecuali setelah wanita itu melahirkan bayi yang dikandungnya dan telah melewati masa nifas. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw.: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menuangkan air (maninya) pada tanaman milik orang lain.” (HR. Abu Daud)
Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya, sang wanita tetap harus menunggu hingga melahirkan, dengan dalil: “sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq [64]: 4)
3. Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ahmad. Beliau mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Tapi bila sudah bertaubat, maka pernikahan itu dibolehkan.
Saudariku yang terhormat, nampaknya pendapat yang Anda sampaikan di atas merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang membolehkan wanita yang pernah berzina untuk dinikahi. Hanya saja pendapat tersebut tidak membolehkan wanita itu tidak boleh dinikahi saat sedang hamil dengan dalil seperti yang telah disebutkan di atas. Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat yang membolehkannya asalkan dia dinikahi oleh orang yang benar-benar menghamilinya dan memang hanya dia yang menggaulinya.

B. Status Anak Di Luar Nikah
Adapun mengenai status anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, memang ada yang berpendapat seperti pendapat yang Anda sebutkan. Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang berbunyi: “(Status) seorang anak adalah bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah (kerugian dan penyesalan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan firasy adalah kasur. Jadi, makna hadits tersebut adalah bahwa nasab (garis keturunan) seorang anak akan dinisbatkan kepada pemilik firasy atau laki-laki yang menggauli ibunya secara sah. Bila pemilik firasy itu adalah suami yang sah, maka nasab anak tersebut berhak dinisbatkan kepadanya. Namun bila pemilik firasy itu bukan suami yang sah, maka nasab anak yang lahir tidak boleh dinisbatkan kepadanya.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa bila anak itu lahir 6 bulan setelah pernikahan antara ibunya dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak itu merupakan anak yang sah tanpa harus ada ikrar (pengakuan) dari laki-laki yang menghamilinya itu. Sedangkan bila dia lahir di bawah 6 bulan setelah pernikahan, maka sah atau tidaknya nasab sang anak tergantung pada ikrar laki-laki yang menghamilinya.

Mengingat adanya perbedaan pendapat pada kedua masalah tersebut, maka bila ada kasus serupa, sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu kepada orang yang bersangkutan, apakah dia tahu tentang hukumnya ataukah tidak. Bila tahu, maka –menurut saya- hal itu tidak jadi masalah. Sebab perbedaan pendapat tersebut merupakan perbedaan pendapat (ikhtilaf) pada masalah-masalah furu’iyyah (cabang) yang tidak semestinya menimbulkan perpecahan. Apalagi masing-masing pendapat merupakan hasil ijtihad para ulama yang didasarkan pada dalil-dalil tertentu. Lain halnya, bila orang yang bersangkutan tidak mengetahui hukumnya, maka Anda bisa menjelaskan pendapat yang Anda yakini kebenarannya dengan dalil-dalil seperti yang saya sebutkan di atas.
Tapi apapun pendapat yang kita yakini, yang terpenting bagi kita sekarang adalah menghindari agar kasus seperti itu tidak terjadi, yaitu dengan cara menjaga diri kita dan juga anak-anak kita dari perbuatan zina. Sebab, mencabut akar-akar dari pohon yang berbahaya adalah jauh lebih baik daripada hanya sekedar memotong dahan-dahannya saja. Sekedar mengingatkan, perbuatan zina merupakan perbuatan dosa besar, bahkan termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dihindari oleh seorang Muslim.
Dalam Al-Qur`an, Allah swt. melarang kita untuk melakukan perbuatan zina, bahkan mendekatinya (seperti dengan berpacaran) saja tidak dibolehkan. Allah swt. berfirman: “Dan janganlah kamu dekati zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk” (Al-Isra’:32)
Demikian yang bisa saya jelaskan, kurang lebihnya mohon maaf. Wallaahu A’lam….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda