Kamis, 22 April 2010

Bolehkah Tinggal Satu Rumah Dengan Bapak Mertua?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Maaf Pak Ustadz, saya mau tanya. Bapak dan ibu mertua saya sudah bercerai karena bapak mertua menikah lagi tanpa sepengetahuan isterinya. Tapi sekarang dia sudah bercerai dengan isteri keduanya itu.
Sementara itu, ibu mertua saya tidak mau rujuk (bersatu kembali). Kebetulan rumah mereka sudah dijual karena saat bercerai dulu, bapak mertua ingin agar harta itu dibagi.
Sekarang ibu mertua hidup bersama adik ipar saya, sedangkan bapak mertua tinggal bersama saya dan adik ipar saya yang lainnya secara bergantian. Maaf Ustadz, mereka seperti sedang main kucing-kucingan. Jika bapak mertua sedang berada di tempat saya, maka ibu mertua berada di tempat adik ipar kedua itu. Hal itu disebabkan karena ibu mertua saya benar-benar tidak mau lagi bertatap muka dengan mantan suaminya itu.
Selain itu, meski sudah berumur tua seperti dia, bapak mertua saya masih memiliki libido yang cukup tinggi. Beberapa kali pembantu di rumah saya dilecehkan dengan kalimat yang tidak semestinya dia ucapkan. Saya pun risih mendengarnya.
Yang ingin saya tanyakan, bolehkah saya tinggal satu rumah dengannya, padahal saat ini suami saya sedang bekerja di luar kota dalam waktu yang cukup lama (kira-kira 3 bulan baru bisa pulang)?
Mohon penjelasannya Pak Ustadz. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X -……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, bila kita merujuk pada firman Allah swt. dalam QS. Al-Israa` (17): 23 yang berbunyi: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu….”, maka kita dapat menyimpulkan bahwa di antara kewajiban seorang anak adalah mengurus kedua orangtuanya saat mereka sudah lanjut usia (tidak mampu). Termasuk ke dalam katagori “mengurus” di sini adalah menyediakan tempat tinggal untuk mereka di saat mereka sudah tidak lagi memiliki tempat tinggal, seperti yang dialami oleh ibu dan bapak mertua Anda. Dalam kasus ini, yang berkewajiban untuk menyediakan tempat tinggal untuk kedua mertua Anda adalah anak-anak mereka, termasuk suami Anda. Ini berarti bahwa kedua mertua Anda atau salah satunya boleh tinggal di rumah suami Anda yang juga menjadi tempat tinggal Anda.
Kemudian, bila kita merujuk pada firman Allah swt. dalam QS. An-Nisaa` (4): 23 yang berbunyi: “(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)” maka kita dapat menyimpulkan bahwa menantu perempuan merupakan mahram (wanita yang tidak boleh dinikahi) oleh laki-laki yang menjadi mertuanya (dalam hal ini adalah bapak mertua Anda). Aturan yang telah ditetapkan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui ini mengisyaratkan bahwa menurut logika manusia normal, tidaklah mungkin dan tidaklah pantas bila seorang laki-laki berniat jahat terhadap menantu perempuannya yang merupakan isteri dari anaknya sendiri.
Namun perlu diingat, syetan akan menggunakan berbagai macam cara untuk menjerumuskan manusia ke neraka, seperti yang difirmankan Allah swt.: “(Iblis) menjawab: ‘Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri.’” (QS. Al-A’raaf [7]: 16-17)
Oleh karena itu, meskipun secara hukum, Anda boleh tinggal satu rumah dengannya karena dia merupakan ayah suami Anda sendiri, bahkan Anda pun boleh membuka sebagian aurat Anda (maksudnya jilbab Anda) di hadapannya, namun Anda harus tetap waspada agar tidak terjebak dalam bujuk rayu syetan. Selama masih tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan, maka hal itu tidak menjadi masalah. Namun, bila kira-kira ada gelagat yang mengkhawatirkan, maka Anda harus mengambil langkah-langkah preventif, salah satunya dengan cara tidak berada di rumah kecuali bila ada orang lain (orang ketiga). Bahkan bila gelagat itu semakin jelas, maka Anda dituntut untuk bersikap tegas. Sikap tegas dalam kondisi seperti ini dibolehkan agama, bahkan diwajibkan, karena upaya untuk menghindari terjadinya hal-hal yang negatif harus lebih didahulukan daripada upaya untuk mendatangkan hal-hal yang positif.
Demikian penjelasan dari saya, kurang lebihnya mohon maaf. Wallaahu A’lam…..
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda