Kamis, 29 April 2010

Suamiku Ingin Merebut Kembali Mahar Perkawinan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, sebelumnya saya minta maaf bila kata-kata saya terlalu “to the point”. Hal itu disebabkan karena saya tidak bisa merangkai kata-kata yang indah. Begini Pak Ustadz, saya terpaksa bercerai dengan suami saya karena dia telah pergi meninggalkan saya dan anak-anak demi wanita lain. Namun, dia mengajukan banding karena tidak puas dengan putusan hakim. Yang menjadi keberatannya adalah masalah “mahar”.
Pernikahan saya yang berujung pada perceraian ini merupakan pernikahan saya yang kedua kali dengannya. Sebelumnya saya pernah menikah dengannya, tepatnya pada tahun 1998. Alhamdulillah, kami dikaruniai 3 orang anak. Tapi karena sifatnya temperamental dan sering main perempuan, akhirnya kami pun bercerai pada tahun 2006. Pada perceraian kami yang pertama itu, ada satu hal yang unik. Saya tidak memperoleh nafkah iddah dan juga nafkah untuk anak-anak. Bahkan pembagian harta gono-gini mengalami proses yang rumit dan panjang.
Rumah yang kami tempati adalah rumah yang kami beli dari Mr. A setelah anak pertama kali lahir. Akan tetapi setelah sekian lama dibeli, sertifikat rumah itu belum juga dibalik-namakan olehnya, sehingga saya tidak bisa menuntut rumah itu sebagai harta gono-gini. Dia berkilah bahwa rumah itu bukan rumahnya, buktinya sertifikat rumah itu bukan atas namanya. Bahkan, sepertinya dia telah bersekongkol dengan mantan pemilik rumah itu, karena mantan pemilik rumah itu mengatakan bahwa suami saya hanya menumpang di rumahnya (ada pernyataan tertulis dari Mr. A). Hakim juga tidak memutuskan rumah tersebut milik siapa, karena suami saya sendiri tidak mengakui bahwa rumah tersebut sebagai miliknya. Saya sendiri tidak dapat membuktikan kebenarannya karena semua surat berharga disimpan oleh suami saya.
Setelah terjadi perceraian, saya dan anak-anak kembali ke rumah orangtua saya di Sumatera. Semua nafkah anak ditanggung oleh orangtua saya. Sementara suami saya dengan sukacitanya bisa menempati rumah itu bersama wanita lain yang dinikahinya secara sirri.
Awal tahun 2009, anak-anak ingin pergi berlibur ke Jakarta. Kebetulan saya memiliki saudara yang juga tinggal di Jakarta. Sebelum kami berangkat, orangtua saya berpesan kepada saya: “Coba hubungi ayah anak-anak, siapa tahu hati dan pikirannya terbuka saat melihat anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak pernah dia temui dan dia nafkahi.”
Sesampainya di Jakarta, saya pun menghubungi dia. Dari sinilah, anak-anak saya dapat bertemu kembali dengan ayahnya, bahkan hampir setiap hari. Mau ga mau, saya juga bertemu dengannya, karena anak-anak tidak mau bertemu dengan ayahnya kalau tidak ditemani oleh saya. Dia pun membawa anak-anak ke rumahnya, rumah yang dulu kami tempati bersama. Kebetulan menurutnya, dia sudah berpisah dengan isteri sirrinya.
Waktu liburan tidak lama, anak-anak pun harus kembali ke sekolah. Sebelum kami pulang ke Sumatera, mantan suami saya itu mengajak saya untuk bersatu kembali, katanya demi anak-anak. Saya tidak langsung mengiyakan, bahkan saya meminta dia untuk memikirkan kembali niatannya itu. Tetapi dia terus mengejar saya. Bahkan setiap hari, dia selalu menelpon saya. Dia meminta maaf kepada saya dan mengakui semua kesalahan yang pernah dia lakukan dulu, lalu dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan dia bersedia memberikan rumah yang dia tempati itu sebagai maskawin atau mahar untuk saya.
Akhirnya kami pun menikah kembali pada akhir Maret 2009 dengan maskawin sebuah rumah (tercatat dalam buku nikah). Namun sayangnya, baru dua minggu usia pernikahan kami, penyakit lama suami saya kambuh lagi. Dia berhubungan kembali dengan mantan isteri sirrinya itu. Bahkan 2 minggu kemudian, suami saya benar-benar pergi meninggalkan rumah dan tinggal bersama wanita tersebut. Saya sudah berusaha menyadarkan dan merayunya agar dia mau kembali, tapi dia malah mengatakan bahwa dia salah mengambil keputusan saat menikah lagi dengan saya. Katanya, dia tidak bisa berpisah dari wanita itu, lalu dia mengirim SMS yang isinya dia menceraikan saya.
Setelah 6 bulan menunggu, akhirnya saya mengajukan gugatan cerai ke pengadilan dengan proses yang cukup lama (sekitar 6 bulan). Hakim pun mengabulkan gugatan cerai saya, lalu dia menetapkan bahwa rumah itu menjadi milik saya karena sudah dijadikan maskawin.
Seperti yang saya sebutkan di awal, suami saya merasa keberatan dengan keputusan hakim tersebut. Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah memberikan rumah itu kepada saya karena rumah itu bukan miliknya. Padahal pada persidangan cerai, saya berhasil menemui Mr. A (si penjual rumah) dan mendapat pernyataan darinya bahwa rumah itu memang sudah dibeli oleh suami saya.
Sekarang suami saya sudah mengajukan memori banding ke PTA, lalu dia menemui Mr. A guna meminta agar Mr. A mau mencabut kembali pernyataannya yang mengatakan bahwa rumah itu sudah dibeli oleh suami saya. Saat ini, saya benar-benar mendapat tekanan dari dua pihak; pertama adalah dari suami saya yang mengajukan banding ke PTA dan mengklaim bahwa saya tidak berhak atas rumah itu, dan kedua adalah dari Mr. A yang menuduh saya telah menempati rumahnya tanpa izin. Lalu dia meminta saya untuk segera meninggalkan rumah itu, kalau tidak, dia akan menuntut saya dengan tuntutan pidana.
Pak Ustadz, saya benar-benar merasa tertekan dalam menghadapi masalah ini, walaupun saya tidak lupa untuk selalu memohon kepada ALLAH swt. agar Dia meringankan beban saya ini. Saya juga membutuhkan pencerahan dari Pak Ustadz. Langkah apa yang perlu saya lakukan? Lalu bagaimana pendapat Pak Ustadz mengenai status rumah tersebut?
Atas pencerahan dan penjelasan yang Ustadz berikan, saya ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, pertama saya ingin mengucapkan prihatin atas musibah yang menimpa Anda. Mudah-mudahan Anda diberi ketabahan dalam menghadapinya serta diberi kemudahan dan jalan keluar yang terbaik, amin. Dari cerita Anda yang cukup panjang dan mendetail itu, saya bisa membayangkan betapa tertekan dan terpukulnya hati Anda. “Sudah jatuh tertimpa tangga”, nampaknya itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang sedang Anda alami. Sebab, di samping harus menanggung rasa sakit akibat perlakuan suami yang tidak bertanggung jawab itu, Anda juga dihadapkan pada kasus perebutan rumah yang secara hukum telah menjadi milik Anda.
Saudariku, karena apa yang Anda sampaikan lebih banyak curhatnya daripada pertanyaan atau permohonan penjelasan, maka jawaban yang saya berikan pun tidak terlalu panjang. Namun demikian, saya berharap jawaban yang saya berikan ini dapat menjadi pencerahan bagi Anda dalam menghadapi masalah tersebut.
Bila ditinjau dari hukum Islam, rumah tersebut jelas telah menjadi milik Anda karena ia telah dijadikan sebagai maskawin untuk Anda. Sebagaimana diketahui, maskawin atau mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh seorang laki-laki kepada wanita yang dinikahinya, seperti yang difirmankan ALLAH swt.: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. Ali ‘Imran [4]: 4) Bila maskawin itu tidak dibayarkan oleh suami, maka ia akan menjadi hutang baginya sampai kapanpun kecuali bila sang isteri mengikhlaskannya.


Jadi, baik menurut agama ataupun hukum, ibu bisa menang, apalagi pernyataan bahwa rumah itu dijadikan mahar tertulis di buku nikah. Buku nikah merupakan bukti yang kuat di pengadilan. Inilah yang dijadikan landasan hukum bagi hakim di pengadilan agama untuk menetapkan keputusan bahwa rumah itu telah menjadi milik Anda. Mudah-mudahan hal ini juga akan menjadi bahan pertimbangan oleh hakim di PTA nanti, amin.
Saudariku, menurut saya apa yang sedang dilakukan oleh suami ibu dengan meminta kepada Mr. A hanyalah rekayasa belaka. Dia berusaha untuk mencari celah agar rumah itu menjadi miliknya lagi, baik dengan memberikan kesaksian (sumpah) palsu ataupun membuat bukti palsu. Hal seperti itu bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman Nabi Yusuf (Lihat tulisan saya yang berjudul “Budaya Sumpah dan Kesaksian Palsu”, dengan mengklik link berikut: http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/11/budaya-sumpah-dan-kesaksian-palsu.html ). Apalagi pada zaman sekarang ini, hal seperti itu sudah tidak asing lagi, bahkan ada di mana-mana, terutama di dunia peradilan. Keadilan seakan-akan sudah menjadi hal yang tidak penting lagi, yang penting adalah uang dan kepentingan.
Jadi saran saya, menghadapi hal seperti itu, serahkan sepenuhnya kepada ALLAH. Biarlah ALLAH yang mengaturnya, karena memang hanya Dia-lah Yang Maha Mengatur dan Maha Kuasa. Sering-seringlah shalat Hajat dan Dhuha. Kemudian berdoalah kepada-Nya dengan penuh kekhusyuan, usahakan sampai meneteskan air mata. Yakinlah bahwa bila kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada ALLAH swt., insya ALLAH ALLAH akan mengabulkannya. Kemudian, banyak-banyaklah berdzikir dan memohon ampunan kepada-Nya. Bacalah kalimat berikut ini "Laailaaha illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minazh-zhaalimiin” (Ya Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zhalim). Kalau bisa, baca terus kalimat tersebut, dimanapun Anda berada, termasuk saat berada di kendaraan, kecuali di kamar mandi atau toilet. Usahakan jangan berhenti berdzikir kepada ALLAH, insya ALLAH hati akan tenang dan hidup kita akan selalu dibimbing oleh ALLAH swt.
Bila Anda mau mengikuti saran saya ini, insya ALLAH Anda akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan sejati, walau apapun keputusan pengadilan nanti. Bahkan, mudah-mudahan Anda diberi jalan yang terbaik oleh ALLAH swt….Wallaahu A’lam…..

Kamis, 22 April 2010

Bolehkah Tinggal Satu Rumah Dengan Bapak Mertua?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Maaf Pak Ustadz, saya mau tanya. Bapak dan ibu mertua saya sudah bercerai karena bapak mertua menikah lagi tanpa sepengetahuan isterinya. Tapi sekarang dia sudah bercerai dengan isteri keduanya itu.
Sementara itu, ibu mertua saya tidak mau rujuk (bersatu kembali). Kebetulan rumah mereka sudah dijual karena saat bercerai dulu, bapak mertua ingin agar harta itu dibagi.
Sekarang ibu mertua hidup bersama adik ipar saya, sedangkan bapak mertua tinggal bersama saya dan adik ipar saya yang lainnya secara bergantian. Maaf Ustadz, mereka seperti sedang main kucing-kucingan. Jika bapak mertua sedang berada di tempat saya, maka ibu mertua berada di tempat adik ipar kedua itu. Hal itu disebabkan karena ibu mertua saya benar-benar tidak mau lagi bertatap muka dengan mantan suaminya itu.
Selain itu, meski sudah berumur tua seperti dia, bapak mertua saya masih memiliki libido yang cukup tinggi. Beberapa kali pembantu di rumah saya dilecehkan dengan kalimat yang tidak semestinya dia ucapkan. Saya pun risih mendengarnya.
Yang ingin saya tanyakan, bolehkah saya tinggal satu rumah dengannya, padahal saat ini suami saya sedang bekerja di luar kota dalam waktu yang cukup lama (kira-kira 3 bulan baru bisa pulang)?
Mohon penjelasannya Pak Ustadz. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X -……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, bila kita merujuk pada firman Allah swt. dalam QS. Al-Israa` (17): 23 yang berbunyi: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu….”, maka kita dapat menyimpulkan bahwa di antara kewajiban seorang anak adalah mengurus kedua orangtuanya saat mereka sudah lanjut usia (tidak mampu). Termasuk ke dalam katagori “mengurus” di sini adalah menyediakan tempat tinggal untuk mereka di saat mereka sudah tidak lagi memiliki tempat tinggal, seperti yang dialami oleh ibu dan bapak mertua Anda. Dalam kasus ini, yang berkewajiban untuk menyediakan tempat tinggal untuk kedua mertua Anda adalah anak-anak mereka, termasuk suami Anda. Ini berarti bahwa kedua mertua Anda atau salah satunya boleh tinggal di rumah suami Anda yang juga menjadi tempat tinggal Anda.
Kemudian, bila kita merujuk pada firman Allah swt. dalam QS. An-Nisaa` (4): 23 yang berbunyi: “(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)” maka kita dapat menyimpulkan bahwa menantu perempuan merupakan mahram (wanita yang tidak boleh dinikahi) oleh laki-laki yang menjadi mertuanya (dalam hal ini adalah bapak mertua Anda). Aturan yang telah ditetapkan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui ini mengisyaratkan bahwa menurut logika manusia normal, tidaklah mungkin dan tidaklah pantas bila seorang laki-laki berniat jahat terhadap menantu perempuannya yang merupakan isteri dari anaknya sendiri.
Namun perlu diingat, syetan akan menggunakan berbagai macam cara untuk menjerumuskan manusia ke neraka, seperti yang difirmankan Allah swt.: “(Iblis) menjawab: ‘Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri.’” (QS. Al-A’raaf [7]: 16-17)
Oleh karena itu, meskipun secara hukum, Anda boleh tinggal satu rumah dengannya karena dia merupakan ayah suami Anda sendiri, bahkan Anda pun boleh membuka sebagian aurat Anda (maksudnya jilbab Anda) di hadapannya, namun Anda harus tetap waspada agar tidak terjebak dalam bujuk rayu syetan. Selama masih tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan, maka hal itu tidak menjadi masalah. Namun, bila kira-kira ada gelagat yang mengkhawatirkan, maka Anda harus mengambil langkah-langkah preventif, salah satunya dengan cara tidak berada di rumah kecuali bila ada orang lain (orang ketiga). Bahkan bila gelagat itu semakin jelas, maka Anda dituntut untuk bersikap tegas. Sikap tegas dalam kondisi seperti ini dibolehkan agama, bahkan diwajibkan, karena upaya untuk menghindari terjadinya hal-hal yang negatif harus lebih didahulukan daripada upaya untuk mendatangkan hal-hal yang positif.
Demikian penjelasan dari saya, kurang lebihnya mohon maaf. Wallaahu A’lam…..
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kamis, 15 April 2010

Rumah Tanggaku Pernah Berantakan Gara-gara Ibu Mertua

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya mohon penjelasan dari Ustadz tentang masalah yang sedang saya hadapi, tentunya penjelasan menurut syariat Islam yang disertai dalil-dalil Al-Qur`an dan Hadits. Hal itu dimaksudkan agar saya bisa menyampaikannya kepada suami saya. Syukran katsiran atas bantuannya.
Ibu mertua saya tinggal bersama keluarga kecil saya. Sebetulnya hal itu tidak jadi masalah bagi saya, malah saya merasa senang karena –kebetulan- kedua orangtua saya sudah tiada. Ibu mertua saya masih punya suami (bapak mertua saya). Kata ibu mertua, bapak mertua tidak usah ikut tinggal bersama kami, alias tinggal di kampung saja. Maaf, ibu mertua saya sikapnya memang selalu meremehkan suaminya (bapak mertua saya). Sedangkan suami saya, otaknya seperti sudah dicuci oleh ibunya. Dia selalu menuruti kemauan ibunya. Di matanya, perkataan ibunya selalu benar.
Sebetulnya saya juga agak risih jika tinggal bersama ibu mertua saya, karena dia pernah menghancurkan mahligai pernikahan kami hingga dua kali. Dia pernah memerintahkan suami saya untuk selingkuh dan melakukan tindak kekerasan kepada saya. Ini adalah kali kedua kami rujuk (bersatu kembali). Semua kami lakukan semata-mata demi anak kami.
Setahu saya, jika jarang bertemu dengan ibunya, suami saya termasuk orang yang baik. Apalagi dia sering berteman dengan orang-orang yang shaleh. Tapi jika sudah bertemu dengan ibunya, semua menjadi gelap. Yang paling benar di matanya hanyalah perkataan ibunya. Saya takut bila ibu mertua saya ikut tinggal bersama kami, rumah tangga kami berantakan lagi. Bagaimana saya menyampaikan hal ini kepada suami saya, Ustadz?
Perlu diketahui, saat ibu mertua tinggal di kampung, kami selalu mengirim sejumlah uang untuknya. Menurut suami saya, ibunya menyuruh suami saya untuk melakukan balas budi karena sudah disekolahkan oleh sang ibu. Bahkan katanya, separoh uang gaji ibunya digunakan untuk biaya sekolah suami saya. Padahal kedua adiknya saja tahu bahwa sikap ibunya memang kurang baik. Karenanya, mereka tidak mau tinggal bersama ibu mertua saya, meskipun mereka berada dalam satu kota. Bagaimana menurut Ustadz?
Selain itu, suami saya kurang mengenal karakter ibunya, karena setelah lulus SMP, dia tidak serumah lagi dengan ibunya. Dia tinggal di kost karena sekolahnya agak jauh. Mohon sekali jawabannya Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebenarnya masalah yang Anda hadapi hampir mirip dengan masalah yang sudah saya bahas pada konsultasi minggu lalu, yaitu mengenai “Batasan Berbakti Kepada Orangtua”. Sebab, kedua masalah tersebut sama-sama berkaitan dengan upaya seorang anak untuk berbakti kepada ibunya dan juga sikap sang ibu yang dinilai pihak ketiga (dalam hal ini adalah istri sang anak) sebagai sikap yang kurang menyenangkan. Karena itu, saya sarankan Anda untuk membaca kembali pembahasan tersebut agar Anda lebih mengetahui tentang batasan-batasan dalam berbakti kepada orangtua sehingga Anda dapat menjelaskannya kepada suami Anda.
Yang ingin saya tekankan di sini adalah tentang kondisi rumah tangga Anda yang sudah dua kali berantarakan akibat campur tangan pihak ketiga (ibu mertua). Di atas, Anda mengatakan bahwa ibu mertua Anda pernah menghancurkan pernikahan Anda berdua hingga dua kali, tetapi kemudian Anda berdua rujuk (bersatu kembali). Ini berarti bahwa hanya tinggal satu kesempatan lagi bagi Anda dan suami untuk menggayuh bahtera rumah tangga, karena Anda dan suami telah melakukan talak sebanyak dua kali. Menurut hukum Islam, talak yang di dalamnya boleh dilakukan rujuk hanya dua kali. Bila sampai terjadi talak lagi, maka sepasang suami-isteri yang bercerai tidak boleh bersatu kembali kecuali setelah si isteri dinikahi oleh laki-laki lain dengan pernikahan yang sah, bukan main-main atau rekayasa. Hal ini seperti dijelaskan dalam firman Allah swt.:
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
“Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 230)
Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan terakhir ini sebaik-baiknya. Bila Anda benar-benar ingin tetap bersatu dengan suami Anda, terutama karena pertimbangan anak-anak, jelaskanlah masalah ini dan juga masalah “Batasan Berbakti Kepada Orangtua” kepada suami Anda. Carilah waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan suami, lalu diskusikanlah dengan menggunakan hati dan akal yang jernih. Ingat, jangan sampai ada emosi! Carilah solusi yang terbaik.
Sekedar masukan, ada beberapa alternatif yang mungkin bisa Anda berdua lakukan:
1. Ibu mertua masih tetap tinggal bersama keluarga kecil Anda. Tetapi ingat, Anda dan suami harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mempertahankan bahtera rumah tangga. Anda harus berusaha keras untuk bersabar, terutama bila ada sikap ibu mertua yang kurang menyenangkan. Sebab walau bagaimanapun, ibu suami Anda adalah ibu Anda juga, yang harus selalu dihormati dan dijaga perasaannya. Demikian pula dengan suami Anda, dia harus berani mengatakan “tidak” (menolak) kepada ibunya bila sang ibu menyuruhnya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah, seperti menyuruhnya untuk selingkuh, seperti yang Anda sebutkan di atas. Sebab, kepatuhan kepada orangtua hanya boleh dilakukan bila tidak mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya, penolakan tersebut harus disampaikan dengan cara yang baik agar tidak menyakiti hati sang ibu.
2. Suruhlah suami untuk merayu ibunya agar mau tinggal di kampung bersama suaminya (bapak mertua Anda). Bila Anda memilih alternatif ini, carilah waktu yang tepat dan cara yang baik untuk menyampaikannya kepada ibu mertua Anda. Jangan lupa, Anda berdua harus berkomitmen untuk membantu sang ibu. Buatlah agar dia merasa lebih nyaman tinggal di kampung bersama suaminya. Dalam hal ini, Anda berdua bisa meminta bantuan kepada adik-adik suami Anda.
Sebagai penutup, saya ingin kembali menekankan bahwa seperti apapun sikap orangtua kita atau orangtua suami/isteri kita, mereka tetaplah orangtua kita yang harus kita hormati dan kita jaga perasaannya. Sebagai anak, kita harus bersabar bila ada sikapnya yang mungkin kurang menyenangkan. Andaikata ada penolakan yang ingin disampaikan, carilah waktu yang tepat dan kemaslah penolakan itu dengan cara yang baik. Satu lagi, ingatlah bahwa setiap orang punya masalah; dan ketika masalah itu datang, kita harus menghadapinya dengan hati dan akal yang jernih. Untuk mendapatkan solusi yang terbaik, janganlah lupa untuk memohon petunjuk dan pertolongan Allah. Wallaahu A’lam…..

Kamis, 08 April 2010

Batasan Berbakti Kepada Orangtua

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam kenal, Pak! Bapak dan keluarga apa kabar? Pak, saya termasuk anggota Group Pecinta Qur’an dan Sunnah. Saya mau tanya sedikit, sebenarnya definisi berbakti kepada orangtua itu sebatas apa? Maksudnya, sejauhmana seorang anak harus berbakti kepada ibunya? Apakah semua permintaan dan kehendak ibunya harus dituruti agar tidak menjadi anak yang durhaka? Bukannya orangtua juga bisa salah, Pak? Apakah pada saat itu kita boleh memberi saran atau masukan?
Di sini, saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman pribadi teman saya. Suami teman saya takut sekali menolak kemauan ibunya ataupun menegur ibunya (bila sang ibu melakukan kesalahan), karena sang ibu gampang sekali melontarkan kata-kata “anak durhaka”. Terkadang untuk hal-hal yang sepele saja, kata-kata seperti itu sering keluar dari mulutnya. Kalau seperti itu bagaimana, Pak?
Bahkan untuk mendapatkan maaf dari sang ibu, suami teman saya itu harus mencium kaki ibunya dulu. Padahal –menurut saya- masalanya sepele sekali. Awalnya, sang ibu pergi ke pasar bersama suami teman saya itu. Di pasar, sang ibu menawar suatu barang dengan harga tertentu. Tapi setelah penjual menyetujui harga yang ditawar sang ibu, sang ibu malah menawar lagi dengan harga yang lebih murah. Melihat itu, suami teman saya pun langsung menegur ibunya karena dia khawatir sang penjual akan marah (dan nampaknya dia memang sudah marah). Maksud hati ingin mengingatkan sang ibu, eh malah sang ibu marah-marah kepada anaknya. Lalu dia melontarkan kata-kata “anak durhaka”.
Kisah di atas hanyalah salah satu contoh saja, Pak. Mungkin masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa yang sebenarnya berawal dari masalah-masalah sepele. Bagaimana kita harus menyikapi ibu seperti itu, Pak?
Selain itu, sang ibu tidak mau “lepas” dari anaknya. Dia terlalu manja kepada suami teman saya itu. Padahal untuk isteri dan anaknya saja, suami saya itu jarang punya waktu karena pekerjaannya sangat banyak, sampai-sampai jarang ada hari libur. Apa mungkin hal itu disebabkan karena ibunya sudah janda, jadi dia ingin bermanja-manjaan dengan anaknya? Kalau seperti itu, bagaimana caranya agar suami teman saya itu bisa bersikap adil dalam mengurus ibu, anak dan juga isterinya?
Oya Pak, ada satu pertanyaan lagi, apa benar dalam Al-Qur`an ada ayat yang menegaskan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya? Jika benar, lalu siapa yang berkewajiban menafkahi isteri dan anaknya? Mohon jawabannya, Pak! Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D-……

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Salam kenal juga, Bu. Alhamdulillah saya dan keluarga dalam keadaan sehat wal‘afiat. Si kecil yang beberapa hari lalu dirawat di rumah sakit pun sekarang sudah kembali ceria dan menyenangkan seperti sediakala. Mudah-mudahan ukhti dan keluarga juga demikian adanya, amin ya Robbal-‘alamin.
Seperti yang pernah saya singgung dalam salah satu konsultasi sebelumnya, birrul waalidain atau berbakti kepada orangtua merupakan amal kebajikan yang sangat besar nilainya di mata Allah swt.. Karenanya, dalam beberapa ayat Al-Qur`an, perintah untuk berbakti kepada orangtua disandingkan dengan perintah untuk menyembah Allah, seperti pada firman-Nya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)
Bila kita perhatikan, perintah untuk berbakti kepada orangtua dalam ayat tersebut bersifat umum. Belum ada batasan-batasan tertentu. Tetapi kemudian pengertian yang terkandung dalam ayat ini ditakhshish (dipersempit) dengan firman Allah pada ayat lain: “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orangtuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut [28]: 8)
Dari ayat kedua ini, dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’ Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.
Selain itu, pengertian firman Allah dalam QS. Al-Israa` (17): 23 juga ditakhshish (dipersempit) oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah.” Secara tegas, Hadits ini menjelaskan bahwa seorang Muslim dilarang untuk menaati perintah siapapun -termasuk orangtua- yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah, Sang Khaliq. Yang dimaksud dengan “maksiat” (kemaksiatan) adalah perbuatan mendurhakai atau tidak mematuhi perintah Allah (dan Rasul-Nya), atau melanggar aturan Allah. Dari sini, maka para ulama pun mendefinisikan term “birrul waalidain” (berbakti kepada orangtua) dengan definisi sebagai berikut: Berbakti kepada kedua orangtua adalah berbuat baik kepada mereka, memenuhi hak-hak mereka, dan menaati mereka dalam hal-hal yang bersifat sunah dan mubah, bukan pada hal-hal yang sifatnya wajib atau haram. Artinya, seorang anak harus menuruti perintah orangtuanya selama perintah itu tidak untuk meninggalkan perbuatan yang wajib hukumnya ataupun melakukan perbuatan yang diharamkan. Sebagai contoh, bila seorang ibu menyuruh anaknya untuk melakukan satu pekerjaan tertentu, yang dengannya dia harus meninggalkan shalat, maka sang anak wajib untuk menolak perintah tersebut. Demikian pula bila sang ibu menyuruh anak laki-lakinya meninggalkan begitu saja (menelantarkan) isteri dan anaknya agar dia menikah dengan wanita pilihan ibunya, maka sang anak harus menolak perintah tersebut, karena menelantarkan isteri dan anak merupakan perbuatan yang dilarang Allah swt..
Tetapi perlu diingat, andaikata seorang anak terpaksa harus menolak perintah orangtuanya karena perintah tersebut bertentangan dengan aturan Allah (yang bersifat wajib atau haram), maka penolakan itu harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik, meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15)
Saudariku yang terhormat, pada kasus yang Anda sebutkan, saya melihat bahwa sang anak belum wajib untuk menolak kemauan sang ibu. Sebab, masalah tawar menawar dalam jual beli merupakan satu hal yang sifatnya mubah (tidak terkait dengan hukum wajib ataupun haram seperti yang dijelaskan di atas). Apalagi dalam kajian fikih muamalah, dikenal istilah khiyar majlis, yaitu hak untuk meneruskan atau membatalkan akad (transaksi) selama kedua belah pihak belum berpisah dari tempat transaksi. Bahkan menurut Imam Syafi’I dan Hanbali, sang ibu masih boleh membatalkan transaksi yang dilakukannya itu meskipun sudah dilakukan ijab qabul (serah terima uang dan barang), selama mereka belum berpisah.
Menurut hemat saya, andaikata sang anak memang ingin memberikan masukan pada saat itu karena hal seperti itu dianggap tidak baik menurut adat/kebiasaan/etika (meskipun dibolehkan secara hukum), maka dia harus ektra hati-hati dan harus melihat kondisi sang ibu. Jangan sampai niat baiknya itu akan menyinggung perasaan sang ibu. Apalagi bila dia tahu bahwa ibunya termasuk tipe orang yang sangat sensitif.
Kalau saya boleh menilai, suami teman Anda itu termasuk orang yang sangat berhati-hati dan khawatir bila dirinya tidak bisa meraih ridha orangtua. Bahkan dia rela untuk mencium kaki sang ibu hanya untuk mendapatkan maaf darinya. Mungkin dia ingin mengamalkan Hadits Nabi saw.: “Ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orangtua.”
Tetapi dia juga harus ingat, jangan sampai hal itu menyebabkan dia melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Dia dituntut harus benar-benar bersikap adil sehingga tidak ada yang dikorbankan, meskipun dalam hal pelayanan, orangtua harus tetap didahulukan. Dalam sebuah Hadits shahih disebutkan sebuah kisah tentang 3 orang yang masuk ke dalam gua, tetapi kemudian pintu gua tersebut tertutup oleh batu. Batu itu baru bisa digeser setelah setiap orang di antara mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal kebajikannya masing-masing. Salah seorang di antara mereka adalah orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya. Dia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orangtua yang sudah lanjut usia, seorang isteri dan juga seorang anak. Aku menggembala untuk (menghidupi) mereka. Setelah aku mengandangkan ternak, aku memerah susunya. Lalu aku mulai memberikan susu itu kepada kedua orangtuaku sebelum aku memberikannya kepada anakku.” (HR. Muslim)
Dari penjelasan di atas, saya berani mengatakan bahwa bila suami teman Anda itu bisa bersikap seperti itu dengan tidak melalaikan kewajibannya sebagai suami dan ayah, maka teman Anda itu sangat beruntung. Dia seharusnya rela dan mendukung sikap suaminya itu. Sebab, bisa jadi saat tua nanti, dia dan juga suaminya itu akan diperlakukan seperti itu oleh anak dan menantunya.
Mengenai pertanyaan terakhir, saya tegaskan bahwa tidak ada satu ayat atau Hadits pun yang menyatakan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya. Memang ada satu riwayat yang mengisyaratkan bahwa seorang ayah boleh membelanjakan harta anaknya, tetapi itu merupakan kekhususan yang diberikan Allah kepada ayah, dan hal itu hanya boleh dilakukan secara tidak berlebihan dan tidak memudharatkan anaknya.Tapi dari segi hukum, harta itu tetap milik anaknya, bukan milik ayahnya. Oleh karenanya, ketika sang anak meninggal, maka harta itu harus dibagikan kepada semua ahli waris, termasuk ayah dan ibu. Bila anak laki-laki itu memiliki anak atau saudara, maka ibu hanya mendapat seperenam. Tetapi bila dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali ayah ibunya (yang masih hidup), maka sang ibu mendapat sepertiga bagian dari harta yang ditinggalkan (Lihat QS. An-Nisaa` [4]: 11)
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….