Kamis, 25 Maret 2010

Hukum Bisnis Tarik Tunai

Hukum Bisnis Tarik Tunai
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, ada hal yang ingin saya tanyakan mengenai bisnis tarik tunai melalui mesin EDC atau yang lebih kita kenal dengan nama mesin gesek kartu kredit. Jika kita mempunyai kartu kredit yang diterbitkan oleh salah satu bank lokal atau internasional, lalu saat kita membutuhkan dana untuk suatu keperluan, maka kita akan memakai kartu kredit tersebut untuk tarik tunai dengan tujuan untuk mendapatkan uang tunai.
Di sini, kartu kredit tersebut tidak dipakai untuk membeli barang, tapi untuk tarik tunai dengan tujuan untuk mendapatkan uang tunai. Seandainya saya membuka usaha ini dengan ilustrasi sebagai berikut: Saya mendapatkan mesin EDC (merchant) atau mesin gesek kartu kredit dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan salah satu bank, dengan dikenai potongan sebesar 2,5%. Jika seseorang bertransaksi sebesar Rp. 1.000.000,- menggunakan kartu kredit, maka dana yang akan dikembalikan bank kepada saya sebesar Rp. 975.000,- Dalam jangka waktu 3 hari sebelum bank mengembalikan dana tersebut, saya terlebih dahulu memberikan uang tunai kepada si pemilik kartu kredit. Jika si pemilik kartu kredit tersebut bertransaksi sebesar Rp. 1.000.000,-, maka uang tunai yang diberikan kepadanya sebesar Rp. 975.000,-. Jadi, pemilik kartu kredit tersebut mempunyai hutang sebesar Rp. 1.000.000,- kepada Bank penerbit kartu kredit, sementara keuntungan yang saya peroleh Rp. 5.000,-
Yang ingin saya tanyakan, apakah keuntungan yang saya peroleh itu termasuk kategori riba? Sebab, di zaman modern dengan tekhnologi serba canggih seperti ini, banyak kesempatan yang bisa diraih. Tapi saya takut melanggap apa yang telah Allah haramkan kepada kita semua. Mohon petunjuk dari Pak Ustadz. Terima kasih….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
P - …..

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, di zaman yang serba canggih ini, memang banyak peluang atau kesempatan yang bisa kita raih. Namun sebagai Muslim, kita dituntut untuk tetap berhati-hati agar tidak ada uang haram yang masuk ke dalam tubuh kita dan juga keluarga kita. Setidaknya, pertanyaan yang Anda lontarkan di atas mencerminkan adanya kehati-hatian seperti itu dalam diri Anda. Sungguh tidak sedikit orang yang sudah tidak care lagi alias masa bodoh terhadap masalah tersebut. Mereka tidak lagi memikirkan halal atau haram. Bagi mereka yang terpenting adalah: asal perut kenyang, asal anak isteri girang, atau asal babeh senang. Na’uudzu billaah min dzaalik…
Saudaraku, sebenarnya transaksi yang Anda tanyakan di atas terdiri dari 3 macam transaksi, yaitu:
1. Transaksi antara pihak bank yang mengeluarkan kartu kredit dengan pihak pemilik merchant. Transaksi ini menggunakan sistem jaminan atau penjaminan. Artinya, bank menjamin akan membayar uang yang dibayarkan oleh pihak pemilik merchant kepada pemegang kartu kredit.
2. Transaksi antara pihak pemilik merchant dengan pemegang kartu kredit. Transaksi ini menggunakan sistem ijarah (jasa/sewa). Artinya, pihak pemilik merchant berfungsi sebagai mediator pencairan uang, yang akan mendapat upah atas jasa yang telah diberikan.
3. Transaksi antara pihak bank dengan pemegang kartu. Transaksi ini menggunakan sistem jaminan, penjaminan dan peminjaman. Pihak pemegang kartu berhutang kepada bank dan harus melunasinya pada waktu yang telah ditentukan dan sesuai ketentuan yang ditetapkan pihak bank.
Yang menjadi inti permasalahan ini adalah hukum transaksi pertama dan kedua, karena kedua transaksi tersebut berkaitan langsung dengan pihak pemilik merchant, berbeda dengan transaksi ketiga yang hanya terjadi antara pihak bank dengan pemegang kartu kredit. Di sini, kami tidak akan mengulas kembali pembahasan mengenai hukum transaksi ketiga. Anda bisa melihat kembali pembahasan tersebut pada artikel berjudul “Hukum Bunga Bank”, “Hukum Meminjam Modal Ke Bank Konvensional” dan “Hukum Rentenir”.
Transaksi antara pemilik merchant dengan pemegang kartu kredit menggunakan sistem ijarah (jasa/sewa), sebuah transaksi yang pada prinsipnya dibolehkan selama memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan syariat Islam. Hanya saja dalam bisnis tarik tunai ini, transaksi berbasis ijarah tersebut dikaitkan dengan transaksi lain yang –menurut sebagian ulama- mengandung unsur riba. Seandainya tidak dikaitkan dengan transaksi yang mengandung unsur riba tersebut, maka kemungkinan besar para ulama sepakat untuk membolehkan bisnis tarik tunai ini. Namun, karena ada kaitannya dengan transaksi lain, yaitu transaksi ketiga yang mengandung riba, maka para ulama berbeda pendapat:
1. Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat bahwa pengambilan kelebihan uang yang dianggap sebagai uang administrasi dalam bisnis tersebut dibolehkan, karena pada prinsipnya bisnis ini menggunakan akad ijarah (jasa/sewa). Uang administrasi inilah yang akan digunakan untuk menutup biaya operasional. Pendapat inilah yang diambil oleh Lembaga Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania.
2. Sebagian ulama yang lain mengharamkannya karena proses penarikan uang tersebut bersifat hutang atau peminjaman yang diberikan kepada pihak pemegang kartu. Maka, uang yang dihasilkan dari transaksi tersebut dan merupakan kelebihan atas pokok pinjaman itu pun dianggap sebagai riba. Pendapat inilah yang diambil oleh Bank Ar-Rajhi.
Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat kedua, apalagi meskipun terdiri dari 3 macam transaksi, tetapi pada hakekatnya bisnis tarik tunai ini merupakan satu kesatuan proses transaksi. Karena salah satu bagiannya mengandung unsur riba, maka yang lain pun ikut terkena dampaknya. Wallaahu A’lam….

Rabu, 17 Maret 2010

Orangtua Masuk Neraka Gara-gara Anaknya

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya pernah mendengar cerita tentang orangtua yang sudah divonis masuk surga, tetapi kemudian dibatalkan hingga akhirnya dia masuk neraka bersama anaknya. Hal itu disebabkan karena anaknya menuntut kalau orangtuanya tidak pernah memperhatikan agamanya sewaktu di dunia, sementara orangtuanya sibuk dengan urusan ibadahnya sendiri. Boleh saya tahu Ustadz, apakah cerita tersebut shahih ataukah tidak? Apakah cerita tersebut ada dalam hadits Nabi Muhammad saw.?
Dulu saya sempat penasaran dengan cerita yang pernah disampaikan oleh KH Zaenuddin MZ melalui taushiahnya di salah satu radio tersebut. Karena itu, saya pun ingin menanyakannya kepada Ustadz. Syukron katsiron atas penjelasannya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
M - ....

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, saya juga pernah mendengar cerita seperti itu, namun saya belum tahu siapa yang meriwayatkannya dan bagaimana kualitas riwayatnya. Setelah saya berusaha untuk mencarinya, saya tidak menemukan riwayat yang berkaitan dengan cerita tersebut, yang periwayatnya disebutkan secara jelas, sehingga saya tidak bisa menganalisa kualitas riwayatnya. Saya hanya menemukan atsar (perkataan sahabat atau tabi'in) dalam sebuah buku, tetapi itu pun tidak disebutkan siapa periwayatnya, hanya disebutkan sumber kutipannya saja. Riwayat yang saya maksud adalah sebagai berikut:
"Telah dikabarkan kepada kami bahwa seorang anak akan tergantung di leher ayahnya pada hari kiamat nanti. Lalu dia berkata: 'Wahai Rabbku, ambillah hakku dari orang yang menzhalimiku ini!' Sang ayah berkata: 'Bagaimana aku menzhalimimu, sedangkan aku telah memberimu makan dan pakaian?' Sang anak berkata: 'Benar, engkau telah memberiku makan dan pakaian, tetapi engkau melihatku melakukan maksiat dan engkau tidak melarangku.'" (Dikutip dari Majalah Az-Zahur, Sya'ban 1420 H)
Terlepas dari pembahasan mengenai kualitas riwayat tersebut, shahih ataukah tidak, tetapi yang jelas makna yang terkandung di dalamnya sama sekali tidak bertentangan dengan makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur`an dan hadits-hadits shahih. Dalam QS. At-Tahriim (66): 6, Allah swt. berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka."
Mengenai tafsir ayat ini, Qatadah berkata: "Perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan laranglah mereka dari perbuatan maksiat kepada-Nya. Bantulah mereka untuk mengerjakan perintah Allah. Apabila kamu melihat mereka melakukan kemaksiatan, maka tegurlah!"
Ibnu Jarir juga berkata: "Kita wajib untuk mengajarkan anak-anak kita tentang agama Islam, kebaikan dan adab!" Sedangkan Ibnu Umar berkata: "Didiklah anakmu, karena kelak kamu akan ditanya tentang pendidikan dan pengajaran seperti apa yang telah kamu berikan kepada anakmu. Anakmu juga akan ditanya tentang bagaimana dia berbakti dan berlaku taat kepadamu."
Dari penjelasan para mufassir tersebut, dapat difahami bahwa ayat ke-6 dari
QS. At-Tahriim itu merupakan sebuah perintah tegas kepada seorang Muslim untuk menjaga keluarganya dari siksa api neraka, yaitu dengan cara memperhatikan pendidikan agama mereka dan selalu memperhatikan tindak-tanduk mereka. Karena sebuah kewajiban, maka bila perintah tersebut tidak dipatuhi atau tidak dijalankan dengan baik oleh seorang Muslim, maka tentunya ada konsekuensi yang akan dia dapatkan di akhirat nanti.
Hal senada juga dapat difahami dari hadits shahih yang berbunyi: "Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa bila seorang Muslim tidak mendidik anaknya dengan baik, maka kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas tugasnya di dunia itu, dan tentunya ada konsekuensi yang akan dia dapatkan.
Selain itu, ada juga hadits yang menegaskan bahwa seorang hamba akan diangkat
derajatnya di surga karena permohonan ampunan untuknya yang dilakukan oleh anaknya yang shaleh. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad, dan dianggap shahih oleh Ibn Katsir. Bila seorang hamba mendapatkan hasil yang baik karena dia telah mendidik anaknya dengan baik sehingga menjadi anak yang shaleh yang memohonkan ampunan untuknya, maka dapat difahami secara mafhum mukhalafah (pengertian terbalik), bahwa seorang hamba juga akan mendapatkan hasil yang tidak baik bila dia lalai dalam memperhatikan dan mendidik anaknya sewaktu di dunia. Wallaahu A'lam.....

Kamis, 11 Maret 2010

Suami Menuduh Isterinya “Pelacur”

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ustadz, keponakan saya ada masalah dengan rumah tangganya. Saat ini dalam situasi yang perlu mendapat pandangan agar dapat diselesaikan dengan jalan yang baik dan benar, terutama menurut agama.
Mereka menikah 2 tahun yang lalu. Setengah tahun usia pernikahan itu, mereka menghadapi goncangan karena suami tidak dapat mengendalikan perkataannya yang mengatakan istrinya "Pelacur" saat ada perselisihan kecil. Bahkan saat istrinya mengandung pernah melontarkan perkataan bahwa "Janin yang dikandung itu mungkin bukan anaknya". Menurut cerita, kata-kata tersebut sangat menyakitkan hati keponakan saya, sehingga hampir setiap hari ada perselisihan dan pertengkaran. Pada puncaknya orang tua terlibat dalam masalah tersebut. Di hadapan Orang Tua Wanita, sang suami mengatakan bahwa dirinya menceraikan istrinya. Saat itu istrinya sedang hamil.
Mereka pisah rumah, dan sepakat akan menyelesaikan secara hukum dan agama setelah kelahiran anaknya.
Suami tidak lagi membiayai istrinya, bahkan biaya kelahiran anaknya dan semua biaya sampai saat ini dipikul oleh istri dan orang tuanya. Setelah kelahiran anaknya suami tidak pernah memberikan nafkah lahir dan bathin. Tapi dia tidak mau melanjutkan proses perceraian. Bahkan pernah mengancam akan membanting bayinya atau membawa lari. Hal itu tentu sangat menyusahkan dan membuat ketakutan istrinya dan keluarga lainnya. Suami baru mau melanjutkan proses perceraian jika diberi ganti rugi dalam bentuk materi dan uang. Katanya aturan itu ada dalam agama, sebab yang minta cerai pihak wanita. Sebagai tambahan dapat diinformasikan bahwa uang yang diserahkan pihak lelaki saat akan pernikahan juga sudah diambil kembali untuk modal usaha sang suami.
Sampai saat ini, rumah tangga mereka dalam status yang tidak ada kepastian, sementara keluarga telah mencoba untuk merukunkan mereka kembali tapi si wanita sudah sangat trauma dengan rangkaian kejadian yang secara tidak nyaman dialaminya dan begitu menakutkan. Apalagi bila suaminya datang, selalu saja timbul keributan. Sang isteri pun merasa terancam.
Mereka telah memiliki seorang putera yang sekarang berusia 1 tahun.
Rumah dan semua harta benda yang dimiliki oleh istri adalah miliknya sendiri dari orang tua istri. Mohon pandangan dari Ustadz.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

X - ……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, masalah yang dihadapi keponakan Anda sangat kompleks dan rumit, dan hal ini semakin menipiskan harapan bagi kedua belah pihak (suami-isteri) untuk berdamai kembali. Tapi bukan berarti hal itu tidak mungkin, hanya saja upaya untuk mempersatukan mereka kembali membutuhkan adanya komitmen yang kuat dari kedua belah pihak (terutama suami) untuk merajut kembali benang-benang cinta yang telah terurai, menambah kekurangan-kekurangan yang ada, serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Rumitnya masalah tersebut disebabkan karena suami telah melakukan sejumlah pelanggaran berat yang tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim terhadap isterinya. Bahkan bila pelanggaran-pelanggaran seperti itu memang benar dilakukan oleh suami keponakan Anda, maka terus terang saya berani mengatakan bahwa dia bukan tipe suami yang baik atau shaleh, yang patut untuk dijadikan sebagai teman hidup. Sebab suami yang baik tidak mungkin tega untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan juga nilai-nilai kemanusiaan.
Pelanggaran-pelanggaran yang saya maksud adalah:
1. Dia telah menganggap isterinya sendiri sebagai pelacur atau menganggap anak yang dikandung isterinya bukan anaknya yang sah, tanpa bukti-bukti yang kuat. Ini berarti bahwa dia menuduh isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Meskipun terlihat begitu ringan kata-kata tersebut keluar dari mulut (begitu mudahnya diucapkan), tetapi ia memiliki dampak hukum yang luar biasa.
Dalam Islam, bila seorang Muslim menuduh orang lain berbuat zina, maka dia harus bisa membuktikannya dengan mendatangkan empat orang saksi. Bila tidak, maka dia sendiri yang akan terancam hukuman had (dicambuk sebanyak 80 kali). Allah swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.” (QS. An-Nuur [24]: 4)
Hukum seperti ini semestinya juga berlaku dalam hubungan antara suami isteri. Hanya saja karena rahmat Allah, Allah memberikan alternatif solusi yang bertujuan agar suami yang melakukan hal seperti itu tidak dikenai hukuman had tersebut. Alternatif yang dimaksud adalah Li’an. Li’an adalah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami, bahwa isterinya telah berzina dengan orang lain, atau bahwa suami menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya. Setelah suami mengucapkan sumpah seperti itu, maka sang isteri pun diminta untuk bersumpah bahwa tuduhan suaminya itu tidak benar.
Hukum li’an ini telah dijelaskan Allah swt. dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah (bahwa) sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur [24]: 6-9).
Bila kedua belah pihak sudah sama-sama mengucapkan sumpah, maka berlakulah hukum-hukum sebagai berikut:
- Kedua belah pihak (suami-isteri) harus diceraikan.
- Keduanya diharamkan untuk rujuk kembali.
- Wanita yang melakukan li’an berhak memiliki mahar.
- Anak yang lahir dari isteri yang melakukan li’an harus diserahkan kepada isteri (ibunya).
- Isteri yang melakukan li’an berhak menjadi ahli waris anaknya, dan demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka jelaslah bahwa perkataan yang begitu mudahnya keluar dari mulut suami keponakan Anda itu ternyata bukan perkataan yang sepele, melainkan perkataan yang memiliki dampak hukum yang sangat besar. Oleh karena itu, maka kita pun dituntut untuk berhati-hati terhadapnya.

2. Suami telah melanggar janji (ikrar) yang telah diucapkannya atau ditandatanginya sesaat setelah melakukan akad nikah. Ikrar tersebut dapat dilihat pada sighat ta’lik talak yang dicantumkan dalam buku nikah. Bunyi sighat ta’lik tersebut adalah sebagai berikut:
“Saya membaca shighat taklik atas isteri saya sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:
- Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,

- Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,

- Atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya,

- Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya,

kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah thalak saya satu kepadanya.” (Dikutip dari Buku Nikah)

Penjelasan secara rinci mengenai hal ini dapat dilihat kembali pada artikel berjudul: “Ditelantarkan Suami, Apakah Jatuh Thalak?”
Menurut saya, suami keponakan Anda telah melakukan salah satu dari poin-poin yang disebutkan dalam sighat ta’lik talak tersebut. Karena itu, bila sang isteri tidak ridha, maka dia berhak mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama dengan ketentuan seperti yang disebutkan di atas.

3. Dia telah membuat nasib atau status keponakan Anda terkatung-katung. Dia tidak menahannya dan tidak pula menceraikannya. Meskipun secara agama sudah jatuh talak, tetapi secara hukum negara (hukum perkawinan) mereka masih berstatus sebagai suami isteri. Hal ini disebabkan karena proses perceraian mereka belum diurus hingga selesai. Tentunya hal ini menyebabkan status keponakan Anda menjadi tidak jelas, dan hal itu akan menyulitkannya bila dia ingin menikah lagi dengan laki-laki lain. Hal ini seperti ini tidak dibolehkan dalam agama karena dapat menzhalimi pihak wanita. Allah swt. berfirman: “Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu) lalu sampai (akhir) iddahnya, maka tahanlah (mereka) dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzhalimi mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 231)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya pribadi lebih menyarankan agar keduanya dipisahkan saja. Tapi tentunya semua kembali kepada kedua belah pihak (suami isteri) dan juga keluarga mereka. Sekarang di hadapan keponakan Anda ada dua pilihan:
- Bersatu kembali: Hal ini juga masih bisa dilakukan, tetapi harus melalui akad nikah baru, karena secara agama sudah jatuh talak 1 dan sudah habis massa iddahnya (karena isteri sudah melahirkan). Selain itu, karena suami telah menuduh isterinya berzina dengan orang lain, maka dia harus bertaubat dulu atas tuduhan itu dan harus berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, kecuali bila dia bisa membuktikan tuduhan tersebut. Bila pilihan ini yang diambil, maka kedua belah pihak harus diminta untuk meluruskan niat dan komitmennya masing-masing dalam menggayuh bahtera rumah tangga.
- Keduanya dipisahkan: Bila pilihan ini yang diambil, maka keponakan Anda dan keluarganya tidak perlu khawatir bila pihak suami akan meminta ganti rugi dalam jumlah besar dengan dalih di dalam agama ada aturan seperti itu. Memang aturan tersebut ada dalam agama, namun hal itu berlaku bila tidak ada pelanggaran terhadap ta’lik talak. Bila ada pelanggaran, maka ‘iwadh (pengganti) yang diberikan adalah seperti disebutkan dalam sighat ta’lik talak tersebut. Bahkan –menurut saya-, karena suami pernah menjatuhkan talak, maka permasalahan yang sebaiknya diajukan di Pengadilan nanti bukanlah gugatan cerai (khulu’), tetapi melanjutkan proses thalak yang sudah jatuh menurut agama. Pelanggaran-pelanggaran yang saya sebutkan di atas tadi hanya akan menjadi bahan pertimbangan oleh hakim apakah keduanya bisa dipersatukan kembali ataukah tidak. Bila memang pilihan ini yang diambil, maka datang saja ke Pengadilan Agama untuk memproses perceraian lebih lanjut.
Tapi perlu diingat, kita hanyalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam menentukan pilihan. Karena itu, sebelum menentukan pilihan, sebaiknya keponakan Anda melakukan istikharah terlebih dahulu. Suruhlah dia untuk memohon petunjuk langsung kepada Allah swt., Dzat Yang Maha Mengetahui. Wallaahu A’lam…..

Kamis, 04 Maret 2010

Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Di Luar Nikah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Apa kabar Ustadz? Semoga Ustadz dan keluarga selalu sehat dan selalu dalam lindungan Allah swt., aamiin…
Ustadz yang saya hormati, saya ingin bertanya tentang satu hal kepada Ustadz, yaitu tentang status anak di luar nikah. Saya pernah mendengarkan pengajian yang –kalau tidak salah- disampaikan oleh Ustadzah Hj. Luthfiah Sungkar. Kemudian sewaktu akan melangsungkan pernikahan, saya juga mendapat nasehat pernikahan yang isinya antara sebagai berikut:
1. Perempuan yang hamil di luar nikah tidak boleh dinikahi, dan boleh dinikahi jika telah melahirkan dan melewati masa nifasnya.
2. Anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, jika laki-laki maka ia tidak mempunyai hak waris, dan jika perempuan, maka ayahnya tidak boleh bertindak sebagai wali pernikahannya kelak.
Ustadz, dua hal tersebut sangat saya yakini kebenarannya karena disampaikan oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan agama yang sangat dalam, sehingga sewaktu saya menerima pengetahuan tersebut, saya tidak berusaha untuk menghafalkan di surat apa dan ayat berapa dicantumkan perkara ini, atau hadits apa yang menerangkannya.
Tapi seiring berjalannya waktu, beberapa kali saya menghadapi orang-orang yang salah dalam melaksanakan perkara ini. Namun, karena keterbatasan pengetahuan yang saya miliki, saya pun sulit untuk mempertahankan pendapat saya. Misalnya:
1. Ada orangtua yang buru-buru menikahkan anaknya yang hamil di luar nikah dengan alasan untuk menutupi aib keluarga. Tapi mereka tidak menikahkannya kembali saat sang anak telah melahirkan.
2. Ada orangtua (ayahnya) yang menjadi wali saat menikahkan anak perempuannya yang merupakan anak hasil hubungan di luar nikah.
Tentu saja, kedua kejadian tersebut membuat pasangan-pasangan yang menikah itu hidup secara zina di mata Allah. Hal inilah yang membuat saya ingin memastikan kepada Ustadz tentang kebenaran yang saya yakini itu. Surat-surat apa sajakah dalam Al-Qur`an yang memuat tentang perkara-perkara di atas dan hadits-hadits apa sajakah yang menerangkannya, sehingga ketika saya bertemu dengan kejadian seperti ini lagi, saya dapat menerangkannya dengan lebih jelas apa yang saya yakini itu.
Selain itu, bagaimana cara agar saat menyampaikan hal itu kepada orang lain tidak menyinggung perasaan orang tersebut. Itu saja yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz. Mohon maaf jika ada kata-kata yang salah. Atas kemurahn hati Ustadz untuk menjawabnya, sebelum dan sesudahnya saya haturkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
R -……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Alhamdulillah saya dan keluarga dalam keadaan sehat wal’afiat. Terima kasih juga atas doanya, semoga Anda juga demikian adanya.
Saudariku yang terhormat, pendapat yang Anda yakini kebenarannya itu bukanlah satu-satunya pendapat yang ada dalam masalah hukum menikahi wanita yang hamil di luar nikah dan juga status anak hasil hubungan di luar nikah. Ada banyak pendapat dalam masalah tersebut. Ada ulama yang menutup pintu rapat-rapat, ada yang mau membukanya tetapi hanya sedikit saja sebagai wujud kehati-hatiannya, dan ada yang membukanya cukup lebar. Namun perlu diketahui, pendapat mereka itu bukan pendapat asal-asalan, melainkan pendapat yang didasarkan pada dalil-dalil dan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Sebelum menuju inti permasalahan yang Anda tanyakan, terlebih dahulu saya akan menjelaskan tentang hukum kedua masalah tersebut secara umum.

A. Hukum Menikahi Wanita Hamil Di Luar Nikah
Bila seorang wanita hamil di luar nikah, berarti dia telah melakukan perbuatan zina. Mengenai hukum menikahi wanita yang pernah berzina itu, sedikitnya ada 3 pendapat:
1. Sebagian ulama termasuk sebagian sahabat seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas’ud, berpendapat bahwa wanita yang pernah berzina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang baik (bukan pezina). Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt.: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nuur [24]: 3) Berdasarkan dalil tersebut pula, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa seorang isteri yang berzina harus diceraikan oleh suaminya.
2. Jumhur (mayoritas) ulama termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab berpendapat bahwa wanita tersebut boleh dinikahkan, baik dengan orang yang menzinahinya ataupun dengan orang lain. Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah swt. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24]: 32) Dalam hal ini, bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi atau menghamilinya, maka tidak perlu ada istibra`. Istibra` adalah upaya untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita telah benar-benar bersih dari air mani laki-laki yang telah menggaulinya. Masa istibra` ini adalah 6 bulan. Tujuan istibra` ini adalah untuk mendapat kepastian nasab. Untuk tujuan ini pula, maka Islam mensyariatkan adanya masa iddah. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang benar-benar menghamilinya, maka hal itu dibolehkan dan tidak perlu menunggu hingga melahirkan.
Lain halnya bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya, maka pernikahan itu haram dilakukan kecuali setelah wanita itu melahirkan bayi yang dikandungnya dan telah melewati masa nifas. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw.: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menuangkan air (maninya) pada tanaman milik orang lain.” (HR. Abu Daud)
Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya, sang wanita tetap harus menunggu hingga melahirkan, dengan dalil: “sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq [64]: 4)
3. Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ahmad. Beliau mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Tapi bila sudah bertaubat, maka pernikahan itu dibolehkan.
Saudariku yang terhormat, nampaknya pendapat yang Anda sampaikan di atas merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang membolehkan wanita yang pernah berzina untuk dinikahi. Hanya saja pendapat tersebut tidak membolehkan wanita itu tidak boleh dinikahi saat sedang hamil dengan dalil seperti yang telah disebutkan di atas. Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat yang membolehkannya asalkan dia dinikahi oleh orang yang benar-benar menghamilinya dan memang hanya dia yang menggaulinya.

B. Status Anak Di Luar Nikah
Adapun mengenai status anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, memang ada yang berpendapat seperti pendapat yang Anda sebutkan. Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang berbunyi: “(Status) seorang anak adalah bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah (kerugian dan penyesalan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan firasy adalah kasur. Jadi, makna hadits tersebut adalah bahwa nasab (garis keturunan) seorang anak akan dinisbatkan kepada pemilik firasy atau laki-laki yang menggauli ibunya secara sah. Bila pemilik firasy itu adalah suami yang sah, maka nasab anak tersebut berhak dinisbatkan kepadanya. Namun bila pemilik firasy itu bukan suami yang sah, maka nasab anak yang lahir tidak boleh dinisbatkan kepadanya.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa bila anak itu lahir 6 bulan setelah pernikahan antara ibunya dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak itu merupakan anak yang sah tanpa harus ada ikrar (pengakuan) dari laki-laki yang menghamilinya itu. Sedangkan bila dia lahir di bawah 6 bulan setelah pernikahan, maka sah atau tidaknya nasab sang anak tergantung pada ikrar laki-laki yang menghamilinya.

Mengingat adanya perbedaan pendapat pada kedua masalah tersebut, maka bila ada kasus serupa, sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu kepada orang yang bersangkutan, apakah dia tahu tentang hukumnya ataukah tidak. Bila tahu, maka –menurut saya- hal itu tidak jadi masalah. Sebab perbedaan pendapat tersebut merupakan perbedaan pendapat (ikhtilaf) pada masalah-masalah furu’iyyah (cabang) yang tidak semestinya menimbulkan perpecahan. Apalagi masing-masing pendapat merupakan hasil ijtihad para ulama yang didasarkan pada dalil-dalil tertentu. Lain halnya, bila orang yang bersangkutan tidak mengetahui hukumnya, maka Anda bisa menjelaskan pendapat yang Anda yakini kebenarannya dengan dalil-dalil seperti yang saya sebutkan di atas.
Tapi apapun pendapat yang kita yakini, yang terpenting bagi kita sekarang adalah menghindari agar kasus seperti itu tidak terjadi, yaitu dengan cara menjaga diri kita dan juga anak-anak kita dari perbuatan zina. Sebab, mencabut akar-akar dari pohon yang berbahaya adalah jauh lebih baik daripada hanya sekedar memotong dahan-dahannya saja. Sekedar mengingatkan, perbuatan zina merupakan perbuatan dosa besar, bahkan termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dihindari oleh seorang Muslim.
Dalam Al-Qur`an, Allah swt. melarang kita untuk melakukan perbuatan zina, bahkan mendekatinya (seperti dengan berpacaran) saja tidak dibolehkan. Allah swt. berfirman: “Dan janganlah kamu dekati zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk” (Al-Isra’:32)
Demikian yang bisa saya jelaskan, kurang lebihnya mohon maaf. Wallaahu A’lam….